hukum menikahi putri hasil zina sendiri

Apabila seseorang berzina dengan wanita, lalu wanita tersebut hamil dan melahirkan anak wanita, apakah boleh bagi laki-laki tersebut untuk menikah dengan putri yang dilahirkan itu ?

jawaban

Ada sedikit pebedaan ulama’ mengenai hal ini :

Imam Malik dan Syafi’I dalam madzhab yang masyhur dari beliau [5] bahwa boleh baginya untuk menikah dengan anak putri tersebut. (Lihat Al Majmu’ Imam Nawawi 17/386, At Tamhid Imam Ibnu Abdil Bar 8/1910)

Dalil mereka adalah :
Bahwasannya anak wanita itu bukan putrinya secara syar’I, dengan bukti bahwa keduanya tidak saling mewarisi, dan tidak wajib memberi nafkah, tidak boleh menjadi wali dalam pernikahannya juga tidak dikenai hukum nasab lainnya. Dan kalau dia bukan merupakan anaknya secara syar’I maka tidak masuk dalam keumuman firman Alloh Ta’ala :

“Di haramkan bagi kalian (untuk menikahi) ibu-ibu kalian, anak perempuan kalian,…” (QS. An Nisa’ : 23)

Namun masuknya dalam keumuman wanita yang halal dinikahi, sebagaimana firman Alloh Ta’ala

“Dan dihalalkan (menikah) dengan wanita selain mereka.” (QS. An Nisa’ : 24)

Akan tetapi jumhur ulama’ diantaranya Imam Abu Hanifah dan Ahmad mengatakan bahwa haram menikah dengan wanita hasil perbuatan zinanya. (Lihat Al Mughni 9/529, Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 32/134, Bada’I Ash Shona’I 3/1358)

Mereka berdalil dengan keumuman firman Alloh Ta’ala :

“Diharamkan atas kalian (menikah) dengan ibu-ibu kalian dan anak-anak perempuan kalian …” (QS. An Nisa’ : 23)

Lafadl Banatikum (anak-anak peremuan kalian) mencakup semua anak wanita baik secara hakikat maupun majaz, dan memang anak ini adalah anaknya yang tercipta dari air maninya, sama saja apakah ada hak saling mewarisi ataukah tidak.

Pendapat yang rajih –Wallahu A’lam- adalah pendapat jumhur. Adapun mengenai dalil yang dipakai oleh madzhab yang membolehkannya, maka kita katakan bahwa tidak adanya sebagian hukum nasab yaitu tidak saling mewarisi, tidak boleh menjadi wali dan lainnya tidak menafikan bahwa dia itu memang anaknya, sebagaimana juga tidak bisa saling mewaris karena sebab salah satu menjadi budak atau berbeda agama. (Lihat Al Mughni 9/530)

Demikian juga keumuman ayat tahrim (ayat yang menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi yaitu An Nisa’ : 23,24) bukan seperti keumuman ayat warisan (An Nisa’ 11,12,176) dari tiga segi :

1. Ayat tahrim mencakup anak wanita, putri anak laki-laki, putri anak wanita, sebagaimana lafadl bibi juga mencakup bibinya bapak, bibinya ibu serta bibinya kakek, demikian juga anak wanita dari saudara wanita dan anak wanita dari keponakan. Keumuman seperti ini tidak terdapat dalam ayat warisan maupun ayat lainnya yang ada hubungannya dengan bab nasab.

2. Sesungguhnya diharamkannya menikah itu bisa cuma dengan sekedar adanya sebab susuan, sebagaimana disabdakan oleh Rosululloh :

يحرم  من الرضاع ما يحرم من النسب
“Diharamkan dari sebab persusuan sebagaimana diharamkan karena sebab nasab.”  (HR. Bukhori 3/222, Muslim 2/1068)

Alloh Ta’ala mengharamkan seorang wanita untuk menikah dengan anak yang disusukannya, atau menikah dengan anak keturunannya, begitu juga haram atas ibu maupun bibinya. Bahkan diharamkan bagi anak wanita untuk menikah dengan suami ibu susunya, karena dialah yang yang menjadi sebab adanya air susu tersebut.

Oleh karena itu kalau memang seseorang dilarang menikah dengan anak wanita susuannya, padahal tidak ada hukum nasab apapaun selain keharaman menikah dan yang semisalnya, lalu bagaimana mungkin dihalalkan menikah dengan anak wanita yang terlahir dari air maninya ? ini lebih jelas lagi keharamannya berdasarkan keumuman khithob dan qiyas aulawi (hukum yang dikiaskan lebih dari asal nya)

3. Alloh Ta’ala berfirman :

“dan istri-istri anak kandung yang dari tulang rusuk kalian..” (QS. An Nisa’ : 23)

Lafadl “ashlabikum” (anak kandung yang dari tukang rusuk kalian) untuk mengeluarkan anak angkat, sebagimana firman Nya :

“Supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (menikah) dengan istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari mereka.” (QS. Al Ahzab : 37)

Padahal telah diketahui bersama bahwa orang-orang pada zaman jahiliyah mengaku anak dari hasil zina itu lebih berat dari pada menjadikan anak angkat. Maka apabila Alloh mengkhususkan menantu hanya dari anak kandung, maka lafadl “Banat” yang umum mencakup semua yang termasuk anak perempuan. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 32/135 dengan sedikit perubahan)

Ust. Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

Tidak ada komentar: