GENERASI SINETRON, potret nyata negeriku saat ini

GENERASI SINETRON, potret nyata negeriku saat ini
Apa yang baru-baru menimpa kita ini adalah bukti kemelaratan moral kondisi bangsa kita.

Membantu seseorang itu baik & mulia.
Benar! Baik DAN Mulia!
Namun apa jadinya jika seseorang dibantu justru karena melanggar aturan?
Bukan hanya masyarakat, bahwa petinggi-petinggi Negri pun ikut membantu kedukaan yang terjadi akibat melanggar aturan.

Baiklah, Satpol PP memang salah dengan sikap mereka pada yang bersangkutan. Dan itu sudah diakui oleh Pemda yang bersangkutan.

Namun kesalahan Satpol PP tak lantas menjadikan melanggar aturan jadi benar.
Sebagaimana kesalahan sebagian oknum Polisi Lalu-Lintas tak menjadikan anda jadi boleh ugal-ugalan di jalan tak menghormati pengendara lain yang hati-hati & taat aturan.

Benar, moral..
Kita katakan moral karena diluar sana masih banyak bapak/ibu & anak-anak miskin yang JUJUR DAN TAAT ATURAN yang lebih dari sekedar "pantas" untuk mendapatkan bantuan masyarakat lainnya, khususnya petinggi-petinggi Negri.

Apresiasi berupa bantuan ratusan juta itu jauh lebih pantas ditujukan pada orang-orang jujur dan taat aturan, bukan orang yang melanggar aturan.

Belum lagi kondisi masyarakat Indonesia Timur yang SEMANGAT BELAJAR & INGIN MEMAJUKAN NEGRI, namun mayoritas masih terjebak dalam sempitnya kemajuan wilayah mereka, dimana anak sekolah harus berjuang berkilo-kilometer untuk sampai ke sekolahannya, BERJALAN KAKI.

Atau sebagian besar masyarakat timur yang kesulitan mendapatkan air karena teknologi yang kurang & biaya yang tak memadai untuk membuat sumur yang banyak & dalam. Dll..

Kita jadi teringat kasus Darsem.
Siapa yang tak kenal Darsem?
Mantan tahanan Saudi yang membunuh majikannya karena emosi belum dibolehkan pulang karena si majikan yang masih merasa kerepotan.

Saat mendengar vonis Qishosh Darsem, awak media berlomba-lomba mengesankan hukuman untuk Darsem itu berlebihan & disertai mengungkit-ungkit masalah beberapa TKW sebelumnya di Saudi.
Masyarakat Indonesia yang terpancing emosinya pun akhirnya berlomba-lomba mengumpulkan uang untuk membebaskan Darsem dari tahanan Kepolisian Saudi, tak ayal waktu itu Negara sampai ikut menggelontorkan jutaan rupiah untuk membebaskan Darsem dari tahanan.
Uang Milyaran terkumpul sampai Darsem bisa menebus kematian majikannya dengan memberi ganti rugi pada keluarga korban, namun uang yang tersisa masih Milyaran rupiah juga. Uang yang tersisa sekian banyaknya itupun mau tak mau menjadi hak milik Darsem, karena memang uang itu diperuntukkan untuknya. Dan sekarang kita bisa melihat Darsem dengan perhiasan emasnya, seorang TKW pembunuh majikan yang pulang sebagai Milyarder.

Disaat yang sama, banyak guru di Indonesia Timur yang selama puluhan tahun bertahan sebagai pengajar honorer.
Iya.. Honorer, dengan kemampuan & kapasitas kerja yang seimbang dengan PNS namun gajinya setara dengan penjaga Warnet.

Ada juga bapak-bapak miskin dengan anak-anak brilian, yang setiap hari menyapu bersih jalanan Ibukota dari kilometer satu sampai Sepuluh hingga tak satupun sampah tersisa, namun uang yang ia terima tak sampai jumlah sejuta.

Atau anak-anak kecil yang setiap hari bertarung dengan jembatan rusak dan berjalan belasan kilo untuk sampai ke sekolah yang atapnya masih bocor & temboknya sudah reot.

Apalagi para Petani beras yang berjuang agar pangan di Negri ini terus pada tingkat mencukupi, dengan harga jual dagangan mereka yang tak seberapa & kebutuhan pokok yang kian naik harganya.

Masyarakat & petinggi-petinggi kita sepertinya lebih suka Sinetron ala awak berita, yang berfalasi bahwa melanggar aturan itu lebih pantas dibantu selama ia terlihat kasian, daripada akar-akar hidup penguat bangsa diatas.

Tepat.
Karena moral kita telah mati.
Karena kita hidup ditengah Generasi yang dibesarkan oleh Sinetron.

Tidak ada komentar: