Jika Sedang Berpuasa Saat Diundang Jamuan

Bagaimana jika kita diundang makan, namun kita sedang puasa? Apa tetap undangan tersebut dihadiri atau kita sengaja batalkan puasa kita?

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
“Jika salah seorang di antara kalian diundang makan, maka penuhilah undangan tersebut. Jika dalam keadaan berpuasa, maka do’akanlah orang yang mengundangmu. Jika dalam keadaan tidak berpuasa, santaplah makanannya.”
(HR. Muslim no. 1431).
Jika Sedang Berpuasa Saat Diundang Jamuan
kabarmakkah.com
Menurut jumhur ulama -mayoritas ulama-, maksud “falyusholli” adalah doakanlah orang yang mengundang makan dengan ampunan, keberkahan dan semisalnya. Karena asalnya makna “shalat” adalah berdo’a. Imam Nawawi rahimahullah berkata, khusus untuk orang yang berpuasa, tidak wajib ia makan saat diundang makan seperti itu, lebih-lebih jika itu puasa wajib karena puasa wajib tidak boleh dibatalkan.

Sedangkan puasa sunnah boleh dibatalkan saat diundang makan seperti itu.

Imam Nawawi juga berkata, jika sampai orang yang mengundang merasa berat jika orang yang diundang tetap berpuasa, maka hendaklah ia batalkan puasanya. Jika tidak ada perasaan seperti itu, maka tidak mengapa tidak membatalkan puasa saat itu.

Lihat penjelasan Imam Nawawi ini dalam Syarh Shahih Muslim, 9: 210.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan, ada tiga keadaan saat seseorang diundang:

  1. Jika diundang dalam keadaan tidak berpuasa, maka nikmatilah hidangan makan yang ada.
  2. Jika diundang dalam keadaan berpuasa wajib, maka tidak makan saat itu dan tidak membatalkan puasa [cukup mendo’akan kebaikan pada yang mengundang sebagaimana diterangkan dalam hadits di atas].
  3. Jika diundang dalam keadaan berpuasa sunnah, maka punya pilihan saat itu. Jika ingin membatalkan puasa, santaplah hidangan saat itu. Jika tidak ingin batalkan, juga tidak mengapa namun kabarkan pada yang mengundang.

Namun hendaknya memilih mana yang lebih maslahat. Jika dianggap bahwa membatalkan puasa saat itu baik, maka batalkanlah dan nikmati hidangan saat itu. Jika tidak, maka meneruskan puasa itu lebih utama. Wallahu a’lam. (Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 204).

Referensi:
- Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon Riyadh, cetakan ketiga, tahun 1427 H.
- Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal pengurus rumaysho.com

Tidak ada komentar: