SOLUSI ISLAM DALAM MENGENTASKAN KEMISKINAN

Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Islam juga menjelaskan dan memberikan solusi terhadap seluruh problematika kehidupan, baik dalam masalah ’akidah, ibadah, moral, akhlak, muamalah, rumah tangga, bertetangga, politik, kepemimpinan, mengentaskan kemiskinan dan lainnya. Pembahasan kali ini adalah Islam mengentaskan kemiskinan.
SOLUSI ISLAM DALAM MENGENTASKAN KEMISKINAN

Dalam memberikan jaminan bagi umat Islam menuju taraf hidup yang terhormat, Islam menjelaskan berbagai cara dan jalan. Di antaranya sebagai berikut:

1. BEKERJA.

Setiap orang yang hidup dalam masyarakat Islam diwajibkan bekerja atau mencari nafkah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” [al-Mulk/67:15]

Mencari nafkah merupakan senjata utama untuk mengatasi kemiskinan. Ia adalah sarana pokok untuk memperoleh kekayaan serta merupakan faktor dominan dalam memakmurkan dunia. Demikian, setiap anggota masyarakat Islam harus bertanggung jawab mengatasi segala rintangan agar terwujud kesejahteraan hidup baik secara individual maupun untuk masyarakat.

Di antara bentuk tanggung jawab itu adalah mengusahakan terbukanya lapangan kerja di semua bidang yang selalu didambakan seluruh umat setiap saat. Mereka juga berkewajiban mempersiapkan tenaga-tenaga ahli untuk mengurus dan memeliharanya.

Ini semua adalah kewajiban bersama (fardhu kifâyah) bagi umat Islam. Bila sebagian telah melaksanakannya, lepaslah dosa dan tanggung jawab seluruh umat. Tetapi, bila tidak ada seorang pun yang melaksanakannya maka seluruh umat memikul dosanya, khususnya pemerintah (ulil amri) dan orang-orang kaya (konglomerat).

2. MENCUKUPI KELUARGA YANG LEMAH


Salah satu konsep syari’at Islam adalah bahwa setiap individu harus menanggulangi kemiskinan dengan mempergunakan senjatanya, yaitu dengan berusaha. Namun di balik itu, juga harus ada usaha untuk menolong orang-orang lemah yang tidak mampu bekerja.

Konsep yang dikemukakan untuk menanggulangi hal itu ialah dengan adanya jaminan antar anggota keluarga. Islam memerintahkan anggota keluarga saling menjamin dan mencukupi. Sebagian meringankan penderitaan anggota yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, : ”...Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah...” [al-Anfâl/8:75]

Islam mewajibkan orang-orang kaya agar memberikan nafkah kepada keluarganya yang miskin. Ini berarti Islam telah meletakkan modal pertama bagi terciptanya jaminan sosial. Nafkah itu bukan hanya sekedar anjuran yang baik, tapi merupakan satu kewajiban dari Allah Azza wa Jalla untuk dilakasanakan. Syari’at Islam juga telah merinci ketentuan-ketentuannya dalam bab nafkah kepada keluarga. Hal ini tidak terdapat pada syari’at-syari’at yang terdahulu, juga tidak terdapat dalam undang-undang modern dewasa ini.

Karena itu, sebagian hak setiap orang miskin yang Muslim adalah mengajukan tuntutan nafkah kepada keluarganya yang kaya. Hal ini didukung oleh undang-undang dan peraturan-peraturan Islam, yang sampai saat ini kedudukannya masih berpengaruh di forum persidangan dan mahkamah-mahkamah syar’iyyah.

3. ZAKAT.

Islam tidak bersikap acuh tak acuh dan membiarkan nasib fakir miskin terlantar. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menetapkan bagi mereka suatu hak tertentu yang ada pada harta orang-orang kaya, dan suatu bagian yang tetap dan pasti yaitu zakat. Sasaran utama zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang miskin.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana. [at-Taubah/9:60]

Fakir miskin merupakan kelompok yang harus diutamakan dalam pembagian zakat. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kelompok lain yang berhak atas zakat tersebut. Fakir miskinlah sasaran utamanya. Ketika Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu ditugaskan ke Yaman untuk berdakwah,

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. (Pada lafazh lainnya: ‘Maka yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah semata.)

(Pada lafazh lainnya lagi: ‘Supaya mereka menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi). Apabila mereka mentaatimu karena yang demikian itu (dalam riwayat lain: ”apabila mereka telah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla ), maka beritahukanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam.

Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah yang diambil dari orang-orang yang kaya di antara mereka; lalu dibagikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka.

Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka jauhilah olehmu harta-harta mereka yang baik dan takutlah kamu terhadap do’a orang yang dizhalimi, karena tidak ada hijab antara do’a orang yang dizhalimi dengan Allah.”

[ Shahîh: HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa sedekah (zakat) yang wajib ini harus dipungut dari orang-orang kaya kemudian dibagikan kepada orang-orang miskin dari kalangan mereka itu juga. Dalam hadits ini juga terdapat isyarat bahwa dalam pengelolaan zakat itu perlu ada petugas khusus untuk memungutnya dari orang-orang kaya dan membagikan kepada orang-orang miskin.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, ”Berdasarkan hadits tersebut, Imamlah (penguasa) yang berwenang untuk mengelola urusan zakat, memungut, dan menyalurkannya secara langsung ataupun dengan perantaraan wakil-wakilnya. Barangsiapa di antara mereka menolak, maka bisa dipungut secara paksa.”[ Fathul Bâri (III/360)]

Usaha Islam dalam menanggulangi kemiskinan itu bukanlah suatu usaha yang sambil lalu, temporer, atau setengah-setengah. Pemberantasan kemiskinan, bagi Islam, justru merupakan salah satu asas yang khas dengan sendi-sendi yang kokoh. Tidak mengherankan kalau zakat yang telah dijadikan oleh Allah sebagai sumber jaminan hak-hak orang-orang fakir miskin itu tersebut ditetapkan sebagai rukun Islam yang ketiga.

4. KEHARUSAN MEMENUHI HAK-HAK SELAIN ZAKAT

Di samping zakat, masih ada hak-hak material yang lain, yang wajib dipenuhi oleh orang Islam, karena berbagai sebab dan hubungan. Hak bertetangga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak patut dinamakan orang yang beriman, orang yang tidur malam dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya yang berada di sampingnya menderita lapar, padahal ia mengetahuinya”.[ Shahîh: HR. al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Dzar Radhiyallahu anhu,

“Apabila engkau memasak sop, perbanyaklah kuahnya, kemudian engkau perhatikan di antara keluarga tetanggamu, lalu antarkanlah sebagian kepadanya.[ Shahîh: HR. Muslim]

5. SEDEKAH SUKARELA DAN KEBAJIKAN INDIVIDU MUSLIM

Pribadi yang mulia dan Muslim sejati adalah insan yang suka memberikan lebih dari apa yang diminta, suka mendermakan lebih dari apa yang diminta. Ia suka memberikan sesuatu, kendati tidak diminta. Ia suka berderma (memberikan infak) di kala senang maupun susah, secara diam-diam maupun secara terang-terangan. Ia melakukannya bukan karena cinta kemegahan atau kepopuleran dan bukan pula karena takut adanya hukuman dari pihak penguasa.

Sifat-sifat ini serta hal-hal yang memotivasi agar memiliki sifat ini banyak didapatkan dalam al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

“Siapakah di antara kalian yang mencintai harta ahli warisnya lebih daripada mencintai hartanya sendiri? Mereka menjawab, ”Wahai Rasulullah! Tidak ada seorang pun di antara kami melainkan lebih mencintai hartanya sendiri.”

lalu beliau bersabda, ”Sesungguhnya hartanya sendiri itu ialah apa yang telah dipergunakannya (disedekahkannya) dan harta ahli warisnya ialah apa yang ditinggalkannya.[ Shahîh: HR. al-Bukhâri]

6.WAKAF SOSIAL

Di antara sedekah yang dicintai Islam adalah sedekah jâriyah, sebab kekal penggunaannya dan abadi manfaatnya. Karena itu, kekal pula pahala yang mengalir kepada si pemberinya, selama sedekah itu masih dimanfaatkan, meski pemberinya sudah meninggal dunia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.[27]

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu bahwa ayahnya (‘Umar bin al-Khaththâb) ketika mendapat sebidang tanah dari perkampungan Khaibar, ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Saya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar, dan selama ini saya tidak pernah mendapat kekayaan yang lebih daripada ini, apa perintah Anda kepadaku dengan tanah itu?” kemudian Nabi menjawab,

“Bila engkau suka, tahanlah pokoknya, dan engkau sedekahkan dia (wakafkan).

Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu melaksanakan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Ia menyedekahkan tanah itu, dengan ketentuan tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, dan disediakan untuk kepentingan orang-orang fakir dan kaum kerabatnya, untuk keperluan memerdekakan budak, untuk mencukupi orang-orang lemah, ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal), dan orang-orang yang mengurusnya diperbolehkan mengambil bagiannya dengan cara yang patut, serta menikmatinya dengan tidak berlebih-lebihan. (dalam riwayat lain dinyatakan: Boleh mengambil, asal tidak untuk menumpuk-numpuk kekayaannya.)” [Shahîh: HR. al-Bukhâri, Muslim]

Dengan demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meletakkan “Dasar Wakaf Sosial” yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat Islam sepanjang masa. Peristiwa ini juga merupakan bukti yang nyata, betapa dalamnya rasa kesadaran suka berbuat baik di kalangan kaum Muslimin. Mereka tidak sampai hati membiarkan kekurangan-kekurangan yang diderita oleh masyarakat sehingga mereka mewakafkan sebagian hartanya.

KESIMPULAN

Demikianlah metode-metode yang ditempuh Islam dalam memecahkan problem kemiskinan, yang kemudian disimpulkan menjadi tiga metode:

Metode pertama: Jalan yang khusus, yang harus ditempuh oleh pihak fakir miskin itu sendiri. Fakir miskin wajib melakukan usaha, selama ia masih mempunyai kemampuan dan kesanggupan untuk bekerja. Dalam hal ini, pihak masyarakat, orang yang mampu dan pemerintah berkewajiban memberikan bantuan.

Metode kedua: Jalan ini berpangkal kepada kesediaan masyarakat Islam untuk membantu. Mereka mempunyai tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan fakir miskin, baik yang merupakan sumbangan wajib misalnya zakat dan kafarat, maupun yang tidak wajib misalnya wakaf dan sedekah.

Metode ketiga: Jalan khusus, yang harus dilakukan oleh orang kaya dan pihak pemerintah. Secara syari’at, pemerintah berkewajiban mencukupi kebutuhan fakir miskin, baik ia seorang Muslim atau bukan (kafir dzimmi), selama ia masih berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam. Sumber-sumber yang dapat dipakai untuk mencukupi kebutuhan ini ialah zakat, ghanimah, harta fa’i, jizyah, barang-barang tidak bertuan, kekayaan negara dari sumber alamnya. Di samping itu juga sumbangan wajib yang ditentukan oleh pemerintah terhadap orang-orang kaya, manakala pemasukan zakat dan sumber-sumber lainnya mengalami kemerosotan.

Oleh:Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1430/2011M.

Tidak ada komentar: