Ustadz Najmi: Tak Ada Guna, Walau Engkau Seorang Habib...

Tak Ada Guna, Walau Engkau Seorang Habib

Habib artinya yang dikasihi atau dicintai. Gelar ini disandarkan kepada orang yang mengaku sebagai keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun sebutan itu tidak ada keterangannya di dalam syariat.

Tapi apakah benar mereka itu berasal dari keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Mana buktinya ? Adakah para ulama besar yang telah menyatakannya ? Kalaupun benar, lalu apa manfaatnya berbangga-bangga, ujub dan menyombongkan diri dengannya ?

Allah Ta’ala berfirman :

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا
"Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan" (QS. Al-An’aam [6]: 132 dan Al-Ahqaf [46]: 19).

Ayat ini menunjukkan bahwa amalanlah yang menaikkan derajat hamba menjadi mulia di akhirat. Nasab tak ada guna, walaupun ia keturunan Nabi.

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ
"Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya" (QS. Al-Mu’minun [23]: 101).

Siapa yang lamban amalnya, maka itu tidak bisa mengejar kedudukan mulia di sisi Allah, walau ia memiliki nasab (keturunan) yang mulia. Nasabnya itu tidak bisa mengejar derajat mulia di sisi Allah. Karena kedudukan mulia di sisi Allah adalah timbal balik dari amalan yang baik, bukan dari nasab.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
"Barangsiapa yang lamban amalnya, maka nasabnya tidak bisa mengejarnya" (HR. Muslim no. 2699, hadits dari Abu Hurairah).

Imam Nawawi rahimahullah berkata :

"Barangsiapa yang amalnya itu kurang, maka kedudukan mulianya tidak bisa menolong dirinya. Oleh karenanya, jangan terlalu berharap dari nasab atau silsilah keturunan dan keutamaan nenek moyang, akhirnya sedikit dalam beramal" (Syarah Shahih Muslim 17/21).

Berlombalah dalam kebaikan, meraih ampunan dan rahmat Allah dengan amalan. Berlomba di sini bukan karena engkau keturunan Nabi atau orang shalih, namun yang dipandang adalah siapa yang paling baik amalnya. Karena demikianlah yang Allah perintahkan dalam berbagai ayat :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" (QS. Ali Imran [3]: 133-134).

Jadi berlomba-lombalah dengan beramal. Beramal pun bukan asal-asalan. Beramal itu harus sesuai tuntunan. Seandainya seorang habib merekayasa suatu amalan yang tidak pernah ada dasarnya, maka jelas amalan habib seperti ini tertolak. Karena nasab tidak ada arti saat itu, namun siapa saja "yang paling ikhlas dan sesuai tuntunan", itulah yang paling mulia dan diterima amal shalihnya.

Fathimah putri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) saja tidak bisa ditolong ayahnya.

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata :

قَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ ) قَالَ « يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ – أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا – اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ ، لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا بَنِى عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِى مَا شِئْتِ مِنْ مَالِى لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا »
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri ketika turun ayat : "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat" (QS. Asy-Syu’ara: 214).

Lalu beliau berkata : "Wahai orang Quraisy -atau kalimat semacam itu-, selamatkanlah diri kalian sesungguhnya aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Bani ‘Abdi Manaf, sesungguhnya aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Shofiyah bibi Rasulullah, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Fathimah puteri Muhammad, mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah" (HR. Bukhari no. 2753 dan Muslim no. 206).

Jika Fatimah saja puteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa ditolong oleh ayahnya sendiri, bagaimanakah dengan keturunan di bawahnya, apalagi jika cuma "pengakuan saja" sebagai keturunannya.

Padahal ada yang sekedar “ngaku”, namun kenyataannya dari keturunan Persia (bukan Quraisy) karena cuma sekedar bermodal hidung mancung dan tampang Arab.

Jika demikian, ritual tanpa dalil atau tanpa dasar yang biasa disuarakan para habib dan merekalah yang jadi front terdepan dalam membelanya tidak boleh diikuti.

Karena perlu dipahami bahwa habib bukanlah Nabi, sehingga mereka tidak bisa membuat syari’at. Apalagi seandainya mereka berbuat maksiat seperti merokok, judi, berzina, biasa mencukur habis jenggot dll, tentu mereka tidak pantas jadi panutan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa" [QS. An-Najm [53]: 32]

Tidakkah takut dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda :

"Pada masa Musa ada dua orang yang saling menyebutkan asal keturunannya. Salah seorang dari keduanya berkata : "Aku adalah fulan bin fulan.......(hingga ia menyebutkan 9 keturunan), maka siapakah dirimu yang tidak mempunyai ibu ?". Orang yang satunya menjawab : "Aku adalah fulan bin fulan bin Islam". Maka Allah pun mewahyukan kepada Musa agar berkata kepada dua orang itu : "Adapun engkau wahai orang yang bernasab atau menisbahkan keturunannya kepada 9 keturunan adalah di Neraka dan engkau adalah keturunan yang ke-10. Sedangkan engkau wahai orang yang menasabkan keturunannya kepada 2 orang adalah di Surga dan engkau adalah orang ketiga dari keduanya" (HR.Ahmad V/128, lihat Silsilah ash-Shahiihah no.1270)

Seorang pembesar berkata kepada Muthorrif bin Abdillah rahimahullah :

قَالَ: أَوَ مَا تَعْرِفُنِي؟
"Tidakkah engkau tahu siapa saya ?"

قَالَ: بَلَى، أَوَّلُكَ نُطْفَةٌ مَذِرَةٌ، وَآخِرُكَ جِيْفَةٌ قَذِرَةٌ، وَأَنْتَ بَيْنَ ذَلِكَ تَحْمِلُ العَذِرَةَ
Muthorrif berkata : "Tentu saya tahu, engkau yang awalnya adalah setetes mani yang kotor dan akhirmu adalah bangkai yang busuk dan antara kedua kondisi tersebut engkau membawa kotoran" (Siyar A'laam an-Nubalaa' IV/505)

Ali bin al-Husain rahimahullah berkata :

عجبت للمتكبر الفخور الذي كان بالامس نطفة ثم هو غدا جيفة
"Aku heran dengan orang yang sombong lagi suka membanggakan diri, padahal kemarin ia hanyalah setetes sperma dan ia esok menjadi bangkai" (Shifatus Shafwah II/95 oleh Ibnul Jauzi).

Semoga Allah memberikan hidayah dan taufik...

Ust Najmi Umar Bakkar

Tidak ada komentar: