Hakikat memuliakan seseorang adalah dengan memenuhi keinginannya

*Bulan Mendefiniskan Ulang Rasa Cinta*

Seorang sahabat sekamar (ketika Dauroh Masyaikh Yordan, Trawas 2015), Ust. Achmad Handika, Lc. hafizhāhullāh (alumni lipia-jakarta), pernah berkisah; perihal seorang tamu istimewa yang mengunjunginya.

Tentu saja sebagai orang Timur yang menjunjung tinggi tradisi memuliakan tamu dengan jamuan, Ust. Achmad sangat berhasrat memuaskan tamu istimewanya ini dengan jamuan yang tak kalah istimewa. Namun tamu yang satu ini ternyata lebih istimewa dari yang dibayangkan. Dia menolak semua jamuan terkecuali jika semua biaya atas tanggungan dia.

Saya membayangkan (lagi-lagi sebagai orang Timur) wajah Ust. Achmad yang imut itu tiba-tiba berubah jadi wajah memelas; agar dia saja yang mentraktir. Alih-alih merasa sang tamu akan kecewa karena rencana "memuliakannya" tak sesuai harapan, sang tamu istimewa ini justru berucap:

إكرام النفس هواها يا أحمد
"Achmad...!! Hakikat memuliakan seseorang adalah dengan memenuhi keinginannya".
meja hidangan
***
Bertolak dari kisah di atas, renungan saya tiba-tiba hinggap di bulan ini. Bulan yang sarat ungkapan "Cinta Rasūl", Rabīul Awwal. Ya, ada perayaan maulid di bulan ini. Perayaan yang disebut-disebut sebagai simbol ungkapan syukur dan rasa cinta pada Rasūl. Sebagian orang menganggapnya ritual ibadah. Terbukti, banyak hadits-hadits "Nabi" tentang maulidan yang dijadikan sandaran motivasi. Kendati tak satupun hadits-hadits tersebut, shahih di mata muhadditsīn.

Namun, apakah perayaan maulid layak disebut ritual ibadah yang disyariatkan? Sementara Rasūlullāh ﷺ tidak pernah mengajarkannya? Demikian pula para Sahabat dan Imam Mazhab yang Empat tidak pernah mengamalkannya? Betul, kita ingin memuliakan Nabi (yang juga berarti memuliakan Allāh). 

Namun apakah Nabi dan Allāh senang untuk "dimuliakan" dengan ritual maulid? Jika senang, mengapa Allāh tidak mensyariatkannya? Kenapa Rasūl tidak mengajarkannya? Jelas ada kebengkokan logika beragama yang perlu diluruskan di sini.

Konsep bagaimana memuliakan & mencintai Allāh dan Rasul-Nya, haruslah menuruti keinginan Allāh dalam bingkai keteladanan Rasul-Nya, bukan menurut keinginan dan persepsi kita. Jika demikian yang terjadi, tanpa sadar sebenarnya kita telah memaksa Allāh turun dari derajat keTuhanan-Nya untuk sejenak menyesuaikan diri dengan hasrat kita, makhluk-Nya yang rendah ini. Maha Suci Allāh dalam ketinggian-Nya.

Ketika Allāh ‎ﷻ menurunkan syariat-Nya, ketika Rasūlullāh ﷺ menjabarkan aturan agama-Nya, banyak di antara kita justru berlebih-lebihan, berinovasi dalam agama (baca: bid'ah), tidak terkecuali dalam urusan "mengungkap rasa cinta pada Rasūl", kita berinisiatif dan melangkah tanpa dalil. Melakukan amalan yang tidak pernah beliau ﷺ ajarkan, yang justru mengeluarkan kita dari garis aturan-Nya.

Tentu Allāh ‎ﷻ dan Rasūl-Nya tidak akan pernah menerima -apalagi menyukai- amalan mengada-ada yang tak sesuai arahan dan petunjuk. Diminta mengerjakan A, malah mengerjakan B, dengan anggapan B lebih baik dari A. Lantas Yang Maha tau itu sebenarnya siapa? Khāliq atau makhluk...? Yang paling tau cara membuat Allāh ridha itu siapa..? Rasūl atau kita..?

Substansi ùbūdiyyah (penghambaan) adalah kepatuhan. Patuh seutuhnya. Tunduk paripurna. Sampai-sampai "rasa" pun harus tunduk. Tentu ada rasa tak enak di hati Ust. Achmad -dalam sepenggal kisah di atas-. Saat tamu beliau yang justru menjamu. Namun rumus memuliakan dan menyenangkan seseorang, ternyata tak harus mengikuti "rasa".

Demikian halnya dengan ùbūdiyyah, yang esensinya adalah ketaatan. Ùbūdiyyah tidak ditentukan oleh "rasa di hati" (baca: hawa nafsu) dalam menakar nilai "kado ibadah" yang layak menjadi ungkapan cinta dan ta'zhim untuk Allāh ‎& Rasul-Nya. Maka setiap tambahan dan inovasi dalam agama, justru celaan atas kesempurnaan-Nya. Karena di saat kita menambahkan sesuatu dalam syariat Allāh, di saat itu pula kita telah menuduh; "ada yang kurang" dalam agama-Nya yang telah sempurna.

Sekarang menjadi jelas, bahwa ungkapan asy-Syāfi'i rahimahullāh (150-204 H) berikut ini, semakin menegaskan posisi "bid'ah" dalam agama ternyata sejajar kata "durhaka" dalam substansi:
تعصي الإله وأنت تظهر حبه ** هذا محال في القياس بديع
لو كان حبك صادقا لأطعته ** إن المحب لمن يحب مطيع
Engkau durhakai Sang Ilāh, lantas engkau mendakwa cinta pada-Nya ** Ini sungguh perbandingan yang mengherankan.

Jika tulus cintamu, pasti taat padanya sikapmu ** Karena seorang pecinta, tunduk-patuh pada yang dicinta.
_______
Senin sore di Pondok tercinta, 12-03-1438 | 12-12-2016

✍ Abu Ziyān Halim
Channel: telegram.me/kristaliman

Tidak ada komentar: