konsekuensi berat harus dialami jika pesantren bebas biaya, ini solusinya

Ramai di grup IATA tentang pesantren gratis yang seakan dikesankan oleh beberapa alumni lebih baik daripada pesantren yang berbayar. Pasal, pesantren kami dulu yaitu Taruna Al Qur'an adalah pesantren gratis.

Begini ikhwah, pesantren gratis itu memang baik, namun tahukah bahwa banyak konsekuensi berat yang akan timbul dari pesantren gratis ini, diantaranya:

1. Dana selalunya tergantung dari donatur.
Maka, pesantren gratis kesannya akan selalu membuat proposal, permohonan dan minimal postingan menjual yaitu GRATIS. Menjual kata GRATIS ini sangat dahsyat bagi donatur. Mereka lebih mudah menyantuni daripada pesantren yang berbayar, meski kecil. Budaya meminta seperti ini menurut hemat kami kurang baik. Sebaiknya kita kikis, syukur bisa dihilangkan.

2. Dana jika tidak dari donatur biasanya dari amal usaha pesantren yang kebanyakan mempekerjakan para santri. Para santri yang seharusnya menghafal Al-Quran atau Hadits dan ilmu-ilmu agama malah peras keringat kerja ini dan itu untuk menghidupi pesantren. Tidak buruk-buruk amat memang, namun masa emas otak yang seharusnya dipakai menghafal malah terkalahkan otot yang belum waktunya 'direnggangkan'.

Akhirnya selepas dari pesantren bukannya menjadi ulama tapi malah kerja jadi pengusaha. Quran tidak hafal, hadits apalagi, dan lebih-lebih ilmu agama: mentah. Jika dari pesantren mengeluarkan alumni yang pengusaha, terus ulamanya lahir dari lembaga apa? Sekolah umum?

3. Karena pesantren gratis maka dana operasional ditekan, diantaranya konsumsi bulanan, fasilitas bangunan, dan gaji ustad. Konsumsi dibuat semurah mungkin atau fasilitas sarana prasarana dibuat sesederhana mungkin yang terkadang sangat tidak sefty dan tidak efektif untuk perkembangan psikologis dan kesehatan santri. 

Bangunan diisi santri yang banyak, tidur cuma pakai tikar, kamar mandi sangat terbatas, dll. Zaman ana nyantri hampir tiap bulan ada santri sakit berat, dan hampir tiap tahun ada santri meninggal dunia. Sakit harian? Itu mah wajib ada. Meski kita yakin itu semua takdir namun tidak salah kita mempelajari asbab terjadinya takdir. 

Gaji ustadz juga dibuat semurah mungkin, dengan doktrin gaji itu di akhirat sesuai keikhlasan kita, para ustadz tak berani untuk menuntut gaji yang lebih karena campur antara kasihan dengan kondisi keuangan pondok dan berharap pahala akhirat dengan gajinya yang kecil. 

Padahal rumah tangganya berjalan karena didukung oleh istrinya yang jualan gorengan, jualan sayur, jualan ini itu dan bahkan terkadang masih disantuni oleh orangtuanya. Jangankan untuk mandiri bikin rumah, untuk bulanan saja masih pas-pasan. Pas butuh ga ada.

4. Karena gratis, banyak santri yang tidak punya rasa memiliki atau bahasa jawanya anderbeni. Tidak merawat fasilitas pondok, dan terkesan bermewah-mewah dengan uang sakunya yang utuh hanya untuk jajan. Maka yang tidak suka makanan pondok ya beli lauk di kantin atau nyimpen makanan kiriman rumahnya di lemari. 
muslimah memanah

Orang tua yang sedikit kaya pun kadang memanjakan dengan uang saku yang banyak karena dia tidak mengeluarkan biaya untuk pesantren. Imbauan pesantren untuk infak seikhlasanya pun rata-rata tidak dipedulikan karena sudah kena stampel 'pondok ini gratis'! Allahu musta'an.

Ini diantara konsekuensi yang akan dihadapi jika mau membuat pesantren gratis. Tentu hal ini akan berbeda jika yang membuat program adalah negara, seperti Saudi dengan univ. Madinahnya dan Mesir dengan Al Azharnya. Negara berkecukupan dana dan SDM yang dijamin dengan undang-undang sehingga bisa jadi tidak timbul masalah yang berarti seperti yang diutarakan.

Solusinya

Buatlah pesantren dengan berbayar namun tidak mahal. Buat hitungan terbuka kepada orang tua kenapa ditarik dana sekian dan sekian. Bandingkan dengan kebutuhan mereka tatkala tidak di pesantren dan resiko pergaulan liar di luar pesantren. 

Jika menghadapi orang tua yang serius ingin memasukkan santri ke pesantren sementara tidak mampu membayar, maka ajaklah musyawarah. Kenapa tidak mampu membayar. Penghasilannya seberapa, keadaan rumahnya bagaimana, dan syukur kemudian pesantren mencari solusi berupa memberi pekerjaan kepada orangtua atau diskon SPP sesuai kemampuan mereka.

Mahal dan murah itu sangat relatif. Bisa jadi pesantren gratis malah akhirnya dibilang mahal oleh wali santri karena uang sakunya anak tak terkendali, dan Pesantren berbayar dibilang murah karena kebutuhan santri telah tercukupi.

Semoga bermanfaat.

Pesantren kecil di ujung Bantul, 2/1/17
Alfaqir ila rabbih Rohmanto abu al laits

republish from whatsapp group

Tidak ada komentar: