Metode Syar’i Nasihat Kepada Para Penguasa

Jika terjadi kesalahan pada para penguasa maka yang wajib adalah menasihati mereka dengan cara yang syar’i dan ittiba’ kepada jalan as-Salafushshalih yaitu dengan menasihatinya secara sembunyi-sembunyi, bukan dengan cara demonstrasi atau provokasi.

Diantara dalil-dalilnya antara lain :

(1). Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda :

من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية ولكن ليأخذ بيده فيخلو به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه له
"Barang siapa yang hendak menasihati penguasa pada suatu perkara maka janganlah dia tampakkan kepadanya terang-terangan, tetapi hendaknya dia pegang tangannya dan menyendiri dengannya. Kalau dia (penguasa) menerima (nasihat tersebut) maka itu bagus, dan kalau tidak maka dia telah memunaikan kewajibannya memberikan nasihat" 

(HR. Ahmad III/403-404, Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah hal 507, ath-Thabrani 17/367 dan al-Hakim III/290, hadits dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilaalul Jannah Fii Takhriijis Sunnah hal 477-478 no. 1096)
Metode Syar’i Nasihat Kepada Para Penguasa

(2). Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ’anhu berkata :

"Wahai para rakyat sesungguhnya kalian memiliki kewajiban kepada kami. Nasihat dengan cara sembunyi-sembunyi dan saling membantu dalam kebaikan" (Diriwayatkan oleh Hannad ibn Sari dalam az-Zuhd II/602)

(3). Ketika Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma ditanya tentang cara amar ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa maka dia berkata :

"Jika kamu harus melakukannya maka antara dia dan dirimu saja (secara sembunyi)" (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf no. 37307 dengan sanad yang hasan, Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum di akhir syarah hadits ketujuh dan lihat juga Mu’amatul Hukkam hal 160)

(4). Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma ditanya : "Tidakkah engkau masuk dan mendatangi ‘Utsman agar kamu memberikan nasihat kepadanya ?". Jawab Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma : "Apakah kalian berpendapat bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku harus mengabarkan kepada kalian ?! Demi Allah, aku telah menasihatinya antara aku dan dia, tanpa aku membuka urusan yang aku tidak suka menjadi orang pertama yang membukanya" (Bukhari VI/3380 dan Muslim no. 7674)

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata :

"Maksudnya membuka (mengekspos) pengingkaran secara terang-terangan kepada para penguasa di hadapan umum. Karena dalam pengingkaran secara terang-terangan mengandung sesuatu yang dikhawatirkan dampaknya, sebagaimana terjadi pengingkaran tersebut terang-terangan terhadap ‘Utsman lalu mengakibatkan terbunuhnya …" (lihat Mu’amalatul Hukkam hal 159)

(5). Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu anhu' berkata :

إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلَّا فَدَعْهُ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ
"Jika sang penguasa mendengar sesuatu darimu, maka datangilah rumahnya dan beri tahulah dia apa-apa yang kamu ketahui hingga ia menerimanya, dan jika tidak maka tinggalkanlah, karena kamu tidak lebih tahu daripada dia" (Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad no. 19415)

(6). Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata :

"Para pembesar sahabat di antara kami melarang kami dengan perkataan mereka : "Jangan kalian cerca para pemimpin kalian, jangan berbuat curang terhadap mereka, dan jangan kalian membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersabarlah" (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim, Syaikh al-Albani berkata sanadnya jayyid dalam Zhilaalul Jannah Fii Takhriijis Sunnah hal 444 no.1015)

(7). Ketika membawakan hadits no 1 di atas, Imam Ahmad rahimahullah menyebutkan sebuah kisah. Beliau rahimahullah berkata :

"Seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama ‘Iyadh bin Ghunm radhiallahu ‘anhu yang menjadi penguasa di wilayah Syam (Siyar A’lamin Nubala II/354) mencambuk seorang pemilik rumah ketika rumah itu dibuka (karena masalah kharaj). Maka seorang sahabat yang lain yaitu Hisyam bin Hakim radhiallahu ‘anhu lewat dan menasihati dengan begitu keras kepadanya sehingga ‘Iyadh pun marah.

Berlalulah beberapa malam. Lalu Hisyam datang dan beralasan seraya mengatakan kepada ‘Iyadh, "Tidakkah engkau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya manusia yang termasuk paling keras azabnya adalah yang paling keras menyiksa manusia di dunia".

Maka ‘Iyadh pun menjawab : "Wahai Hisyam bin Hakim, kami telah mendengar apa yang engkau dengar dan telah melihat apa yang kamu lihat. Apakah kamu tidak mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : … (lalu menyebut hadits di atas). Sesungguhnya engkau wahai Hisyam, benar-benar nekat jika engkau berani terhadap penguasa Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidakkah engkau takut untuk dibunuh oleh penguasa Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga engkau menjadi korban pembunuhan penguasa Allah Subhanahu wa Ta’ala ?!"

"Dalam kisah yang berlangsung antara dua orang sahabat Nabi yang mulia itu terkandung bantahan yang sangat telak bagi orang yang berdalil dengan perbuatan Hisyam bin Hakim radhiyallahu ‘anhu yang mengingkari penguasa dengan terang-terangan atau berdalil dengan sahabat lain, di mana sahabat ‘Iyadh mengingkari perbuatan itu atas mereka lalu menyebutkan dalil yang menjadi pemutus dalam masalah ini, maka tiadalah bagi Hisyam kecuali menerima dalil itu yang sangat jelas maksudnya. Dan hujjah itu adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan ucapan siapa pun dari kalangan manusia" (Mu’amalatul Hukkam hal 151—152)

(8). Sa’id bin Jahman bertemu dengan Abdullah bin Abu Aufa radhiyallahu ‘anhu (seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Abdullah bin Abu Aufa pun bertanya : "Siapa engkau?”. Aku pun menjawab : "Aku adalah Sa’id bin Jahman". Beliau bertanya : "Apa yang terjadi pada ayahmu ?". Jawabnya : "Ia dibunuh oleh al-Azariqah (sempalan kelompok Khawarij pimpinan Nafi’ Ibnul Azraq)"

Maka beliau berkata : "Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknati al-Azariqah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknati al-Azariqah, semoga Allah melaknati al-Azariqah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada kami bahwa mereka adalah anjing-anjing ahli neraka".

Sa’id berkata : "Al-Azariqah saja atau Khawarij seluruhnya ?". Beliau menjawab : "Bahkan Khawarij seluruhnya". Sa’id berkata : "Sesungguhnya penguasa melakukan kezaliman terhadap manusia dan melakukan (kejahatan) terhadap manusia".

Maka dia (Abdullah bin Abu Aufa radhiyallahu ‘anhu) mengambil tangan saya dan dicoleknya dengan kuat lalu berkata : "Kasihan kamu wahai putra Jahman. Ikuti as-Sawadul A’zham, ikuti as-Sawadul A’zham (kaum muslimin dan penguasanya yang muslim). Jika penguasa mau mendengar nasihatmu maka datangi rumahnya, kabarkan kepadanya apa yang kamu ketahui. Kalau dia menerimamu (maka itu yang diinginkan). Jika tidak, maka tinggalkan dia. Sesungguhnya kamu tidak lebih tahu darinya" (Riwayat Ahmad dalam al-Musnad IV/382—383, asy-Syaikh al-Albani berkata sanadnya hasan, lihat Zhilaalul Jannah Fii Takhriijis Sunnah hal 393 no. 905).

(9). Ziyad bin Kusaib al-‘Adawi berkata : "Aku bersama sahabat Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang sedang berkhutbah dengan memakai pakaian yang tipis. Maka (seseorang bernama) Abu Bilal berkata : "Lihatlah kepada pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasiq". Maka Abu Bakrah pun menimpali : "Diamlah kamu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : "Barang siapa yang menghinakan penguasa Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghinakannya" (Sunan at-Tirmidzi no. 2224, lihat Mu’amalatul Hukkam hal 174—185)

(10). Imam Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata :

"Orang mukmin menasihati dengan cara rahasia, dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki"

(11). Imam Malik rahimahullah berkata :

"Merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang telah diberikan Ilmu oleh Allah dan pemahaman untuk menemui penguasa, menyuruh mereka dengan kebaikan, mencegahnya dari kemungkaran, dan menasehatinya. Sebab, seorang alim menemui penguasa hanya untuk menasehatinya, dan jika itu telah dilakukan maka termasuk keutamaan di atas keutamaan" (Al-Adab asy-Syar’iyyah fi Bayani Haqqi ar-Ra’i war Ra’iyyah hal 66)

"Tapi janganlah ia menceritakan kepada khalayak bahwa ia telah menasehati pemimpin, karena itu termasuk ciri-ciri riya’ dan lemahnya iman" (Ar-Riyadhun Nadhirah 49-50)

(12). Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :

"Barangsiapa yang menasihati temannya dengan rahasia, maka ia telah menasihati dan menghiasinya. Dan barangsiapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka ia telah mempermalukan dan merusaknya"

(13). Sulaiman al-Khawwash rahimahullah berkata :

من وعظ أخاه فيما بينه وبينه فهي نصيحة، ومن وعظه على رءوس الناس فإنما فضحه
"Barangsiapa yang menasihati saudaranya secara empat mata saja maka ia adalah nasihat, dan siapa yang menasihatinya di hadapan manusia maka sesungguhnya ia adalah pembeberan aib" (Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ’anil Munkar oleh Ibnu Abid Dunya hal 58)

Sehingga sudah selayaknya seorang penasihat, mubaligh, atau da’i hendaknya menelusuri jalan ini dan menujukan nasihatnya kepada dua arah :

(a). ditujukan kepada penguasa dengan cara yang telah disebutkan di atas, bisa dengan bicara secara langsung, melalui surat, atau memberi nasihat melalui orang-orang dekatnya untuk disampaikan kepada penguasa dengan memperhatikan rambu-rambu di atas.

(b). ia menujukan nasihat kepada rakyat. Hendaknya para da’i menerangkan kepada rakyat cara bersikap yang benar terhadap penguasa, memberikan pengertian tentang kemungkaran-kemungkaran yang bersifat umum seperti haramnya khamr, judi, pelacuran, loyal kepada orang kafir, permusuhan mereka terhadap Islam, dan semacamnya. (lihat al-Wardul Maqthuf hal 74 dan 70, dari nukilan Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz)

Jika seseorang membolehkan mengkritik penguasa di depan umum baik melalui lisan maupun tulisan dengan alasan sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, maka untuk menanggapi pendapat tersebut kita perhatikan beberapa hal :

(a). Kemungkinan sahabat yang melakukan kritikan terhadap penguasa di depan umum disebabkan belum tahu atau lupa, seperti kejadian dalam hadits di atas bahwa Hisyam bin Hakim radhiyallahu ‘anhu diingatkan atau diberi tahu tentang hadits tersebut, lalu menerimanya.

(b). Atau ada udzur-udzur lain sebagaimana disebut oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Raf’ul Malam ‘anil Aimmatil A’lam. Semua itu dalam rangka berbaik sangka terhadap para sahabat.

(c). Seandainya pun hadits no 1 di atas tentang tata cara menasihati penguasa dengan diam-diam di anggap lemah (padahal shahih), maka :

(1). bukankah banyak ucapan para sahabat di atas yang jelas melarang perbuatan tersebut sebagaimana telah dinukilkan sebagiannya dari Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Abi Aufa, Usamah bin Zaid, Ibnu ‘Abbas dll radhiyallahu ‘anhum, ditambah lagi dengan perbuatan dan praktek mereka.

(2). bukankah sikap yang ditunjukkan oleh para sahabat (di atas) kemudian diwarisi oleh para ulama Ahlus Sunnah sebagaimana tertera dalam kitab-kitab mereka, baik mereka menyebut secara langsung maupun dengan menukilkan ucapan ulama yang lain, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim, ‘Iyadh, Ibnu Nahas, Ibnu Muflih, Ibnu Rajab, asy-Syaukani dalam kitabnya as-Sailul Jarrar, Syaikh al-Albani, Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan lain-lain ? (lihat nukilan-nukilan ucapan mereka dalam kitab al-Wardul Maqthuf hal 69—75).

(3). bukankah ada kaidah saddu adz-dzara’i’, yakni menutup jalan-jalan yang menyampaikan kepada hal yang haram. Sebagaimana diketahui, dalam syariat ini ada hal-hal yang diharamkan karena hal tersebut menjadi wasilah atau sarana kepada sesuatu yang diharamkan.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata :

"Adapun menasihati para pemimpin kaum muslimin artinya membantu mereka dalam kebenaran, menaati mereka dalam kebenaran, dan memerintahkan mereka untuk itu, serta mengingatkan mereka dengan lemah lembut dan memberitahukan kepada mereka tentang hak-hak kaum muslimin yang mereka lalaikan dan belum menyampaikannya kepada kaum muslimin. Termasuk nasihat kepada mereka adalah tidak melakukan pemberontakan kepada mereka serta melunakkan hati manusia agar taat kepada mereka" (Syarah Shahih Muslim, dinukil dalam al-Wardul Maqthuf hal 72 dan 74)

Syaikh bin Baz rahimahullah berkata :

"Menasihati para pemimpin dengan cara terang-terangan melalui mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum, bukan (merupakan) cara atau manhaj Salaf. Sebab, hal itu akan mengakibatkan keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin. Akan tetapi, (cara) manhaj Salaf dalam menasihati pemimpin yaitu dengan mendatanginya, mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk menyampaikan nasihat tersebut"

Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

"Sesungguhnya menyelisihi penguasa pada perkara yang bukan darurat dari masalah agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di forum-forum, masjid-masjid, media massa, mimbar-mimbar, dan sebagainya, bukan termasuk nasihat sama sekali. Maka jangan tertipu dengan siapa saja yang melakukan demikian walaupun niatnya baik, karena hal itu menyelisihi perbuatan as-salafush shalih yang menjadi teladan" (lihat Mu’amalatul Hukkam hal 156)

Ustadz Najmi Umar Bakkar
join↪https://telegram.me/najmiumar

Tidak ada komentar: