🍂🍂BENARKAH ADA JIN PENGANGGU BAYI YANG BERNAMA Ummu Shibyan?🍂🍂

Sebuah khurofat yang tersebar di masyarakat, adanya sosok jin yang bernama “Ummu Shibyan”.

Keyakinan ini menyeruak di masyarakat kita melalui media-media, dan ceramah-ceramah yang disampaikan oleh sebagian dai dan muballigh tentang cerita khurofat yang berkaitan dengan Ummu Shibyan yang sangat merusak aqidah masyarakat.

Di dalam Islam, memang kita diwajibkan meyakini adanya makhluk gaib yang bernama jin. Namun perlu dipahami bahwa menetapkan nama tertentu dan sifat khusus bagi seorang jin (seperti, adanya Ummu Shibyan –misalnya- beserta sifat-sifatnya tersebut), harus didasari oleh dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang shohih, bukan hadits yang dho’if (lemah)!
JIN PENGANGGU BAYI

⚠ Kapan saja kita menetapkan sebuah aqidah dan keyakinan tanpa didasari oleh dalil wahyu, maka ketahuilah bahwa apa yang kita yakini, itu adalah khurofat dan kebatilan yang wajib kita ingkari dan tinggalkan, seperti keyakinan adanya UMMU SHIBYAN ini.

Adapun hadits Al-Hasan bin Ali yang menyebutkan Ummu Shibyan, maka hadits ini diriwayatkan oleh Yahya ibnul Ala’ dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin Ubaidillah dari Al-Hasan bin Ali, ia berkata, Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ وُلِدَ لَهُ فَأَذَّنَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Barang siapa yang dikaruniai seorang anak, lalu ia mengadzani pada telinga kanannya dan beriqomat pada telinga kirinya, niscaya anak itu tak akan dimudhorotkan (dibahayakan) oleh Ummu Shibyan”. [HR. Abu Ya’la dalam Al-Musnad (6780), Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (390) , Ibnus Sunni dalam Amal Al-Yaum wa Al-Lailah (623), dan lainnya].

Hadits ini dibawakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma’ (4/59) seraya berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Marwan bin Salim Al-Ghifary, sedang ia itu matruk (ditinggalkan karena kedustaannya)”.

Muhaqqiq Musnad Abu Ya’la berkata, “Isnadnya rusak. Yahya Ibnul Ala’ tertuduh dusta…” [Lihat Takhrij Musnad Abu Ya’la (12/151)]

Ahli Hadits Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy –rahimahullah- berkata,

"قلت: وهذا سند موضوع، يحيى بن العلاء ومروان بن سالم يضعان الحديث. " اهـ من سلسلة الأحاديث الضعيفة والموضوعة وأثرها السيئ في الأمة (1/ 491).
“Aku katakan, (sanad) hadits ini adalah maudhu’ (palsu). Yahya bin Al-Alaa’ dan Marwan bin Salim, keduanya telah memalsukan hadits ini.” [Lihat Adh-Dho’ifah (1/491/ no. 321)]

‼ PENTING
Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dua rawinya yang dikenal sebagai pendusta yang suka memalsukan hadits!

⛔ Sebuah hadits, jika ia dho’if (lemah), apalagi palsu, maka seorang muslim tidak boleh mengambilnya sebagai dalil dan dasar dalam menetapkan suatu urusan agama, baik dalam perkara akhlak, fikih, ibadah, dan lainnya, apalagi dalam perkara aqidah dan keyakinan! Sangat tidak boleh!!
Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- berkata,

فهذه الأشياء التي يقولها الناس عن أم الصبيان كلها لا أصل لها ولا تعتبر، وإنما هي من خرافات العامة ويزعمون أنها جنية مع الصبيان، وهذا كله لا أصل له، وهكذا ما ينسبون إلى سليمان كله لا أساس له ولا يعتبر ولا يعتمد عليه، فهذه الأشياء التي يقولها الناس عن أم الصبيان، كلها لا أصل لها ولا تعتبر، وإنما هي من خرافات العامة، يزعمون أنها جنة مع الصبيان، وهذا كله لا أصل له، وهكذا ما ينسبون إلى سليمان، كله لا أساس له ولا يعتبر، ولا يعتمد عليه،
“Perkara-perkara yang dinyatakan oleh manusia ini tentang Ummu Shibyan, semuanya tidak ada dasarnya, dan tidak teranggap. Ia hanyalah khurafat kaum awam, dan mereka (kaum awam) mengklaim dan menyangka bahwa Ummu Shibyan adalah jin wanita yang bersama anak-anak kecil. Semua ini tidak ada dasarnya! Demikian pula halnya cerita yang mereka sandarkan kepada Nabi Sulaiman (tentang perjumpaannya dengan Ummu Shibyan, -pen.), tidak ada dasarnya dan tidak teranggap, serta tidak boleh dijadikan sandaran.” [Lihat Fatawa Nur ala Ad-Darb (1/388/ no 161)]

Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- mengisyaratkan kepada khurofat kedua yang berkaitan dengan Ummu Shibyan, yaitu pertemuannya dengan Nabi Sulaiman dan terjadinya tujuh poin perjanjian antara Nabi Sulaiman dengan Ummu Shibyan, dimana Ummu Shibyan memberikan tujuh janji dan jaminan bagi siapa yang melaksanakan isi dari perjanjian itu.

Jelas di dalam isi perjanjian itu terdapat penyelisihan aqidah dan iman yang diajarkan oleh Nabi –alaihish sholatu was salam-.

Kisah pertemuan Nabi Sulaiman dengan Ummu Shibyan adalah kisah palsu dan riwayat yang tidak diketahui asal-usulnya dalam kitab-kitab hadits! Riwayat yang demikian keadaannya bukan hujjah dalam agama!

Di dalam perjanjian batil itu terdapat pengajaran untuk menggunakan jimat. Padahal Nabi –alaihish sholatu was salam- melarang umatnya dari menggunakan jimat, baik pada badan, rumah, kendaraan atau yang lainnya.

Larangan menggunakan jimat alias rajah-rajah, telah dijelaskan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits-hadits.

Di antaranya, hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mangisyaratkan tentang jimat dan hukumnya,

إِنَّ الرُّقَى وَالتَمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik.” [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (3883). Hadits ini di-shohih-kan oleh syaikh Al-Albany dalam Shohih Al-Jami’ (1632), dan di-hasan-kan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy dalam Al-Jami’ Ash-Shohih (3/499)]

Syaikh Muhammad Al-Wushobiy Al-Yamaniy –rahimahullah- berkata dalam mengomentari hadits ini,

“Bisa dipetik hukum dari hadits ini tentang haramnya menggantungkan jimat, baik pada manusia, hewan, kendaraan, rumah, toko, pohon, atau selainnya. Apakah sesuatu (jimat) yang digantungkan itu berupa tulang, tanduk, sandal, rambut, benang-benang, batu-batu, besi, kuningan, atau yang lainnya, karena perkara tersebut, di dalamnya ada bentuk penyandaran sesuatu kepada selain Allah, (yang ia itu adalah kesyirikan )”. [Lihat Al-Qaulul Mufid Fiadilati At-Tauhid (hal. 145), cet. Maktabah Al-Irsyad dan Ibnu Hazm, 1427 H]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- juga pernah bersabda,
مَنْ عَلَّقَ تمَيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Siapa yang menggantungkan jimat maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan.” [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/56), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/291). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (629), dan di-hasan-kan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih (6/294)]

Abdur Ra’uf Al-Munawiy -rahimahullah- berkata,

"من علق تميمة من تمائم الجاهلية يظن أنها تدفع أو تنفع فإن ذلك حرام والحرام لا دواء فيه." اهـ من فيض القدير (6/ 107)
“Siapa yang menggantungkan jimat, diantara jimat-jimat jahiliah, sedang ia menyangka hal tersebut bisa mendatangkan suatu mudharat atau manfaat, maka sesungguhnya itu adalah perbuatan yang haram. Sedangkan sesuatu yang haram, di dalamnya tidaklah terdapat obat.” [lihat Faidh Al-Qadir (6/107), cet. Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra]

Syaikh Abdirrahman bin Hasan Alusy Syaikh -rahimahullah-berkata,

"وهذا الحديث فيه التصريح بأن تعليق التمائم شرك لما يقصده من علقها لدفع ما يضره أو جلب ما ينفعه، وهذا أيضا ينافي كمال الإخلاص الذي هو معنى لا إله إلا الله؛ لأن المخلص لا يلتفت قلبه لطلب نفع أو دفع ضر من سوى الله، كما تقدم في قوله: {وَمَنْ أَحْسَنُ دِيناً مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ} 1، فكمال التوحيد لا يحصل إلا بترك ذلك." اهـ من كتاب التوحيد وقرة عيون الموحدين في تحقيق دعوة الأنبياء والمرسلين (ص: 54)
“Hadits ini, di dalamnya terdapat penegasan bahwa menggantung jimat adalah kesyirikan karena adanya sesuatu yang dimaksudkan dan diinginkan oleh orang yang menggantungkan jimat tersebut untuk menolak suatu kemudharatan (bala’), atau meraih suatu manfaat dengannya dari selain Allah. Hal itu juga meniadakan kesempurnaan keikhlasan kepada Allah, yang merupakan makna dari La Ilaha Illallah. Karena, sesungguhnya orang yang ikhlas tidaklah meminta tercapainya suatu manfaat atau hilangnya suatu mudharat kecuali hanya kepada Allah, sebagaimana firman-Nya,

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan.” (QS. An-Nisa`: 125)

Jadi, kesempurnaan tauhid tidak dapat tercapai, kecuali dengan meninggalkan hal itu (jimat). [ Lihat Quratul Uyunil Muwahhidin (hal. 54)]

Ketika ada yang mengingkari dari kalangan para pemakai jimat, sebagian orang -terlebih lagi para pemakai jimat- menyangka jimat itu sebagai sebab dan sarana saja.

Benarkah hal itu?
Perlu diketahui bahwa meyakini sesuatu sebagai sebab dan sarana -padahal ia bukan sebab-, maka ini tergolong syirik kecil. Selain itu, meyakini sesuatu sebagai sebab dan sarana yang mendatangkan manfaat (kebahagian), atau mudharat, harus berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. [Lihat Al-Qaulul Mufid (1/208) karya Syaikh Al-Utsaimin]

Jadi, mengerjakan sebab yang telah disyari’atkan adalah termasuk dari bagian syari’at. Namun para ulama menyebutkan sesuatu itu bisa menjadi sebab atau bukan dengan dua pekara:

Pertama, melalui penetapan syari’at, yakni syari’at menetapkan bahwa sesuatu itu bisa menjadi sebab, misalnya madu. Allah -Subhanahu wa Ta’ala-berfirman tentangnya,

فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ
“Di dalamnya (madu) terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (QS. An-Nahl: 69)

Jika kita menggunakan madu sebagai sebab kesembuhan, maka sah dianggap sebagai sebab, karena syari’at telah menetapkannya.

Kedua, melalui pembuktiaan secara alami bahwa ia memiliki manfaat dengan syarat pengaruhnya jelas dan terjadi secara langsung, seperti berobat dengan Biji Keling yang bisa menghancurkan batu ginjal, atau minum Konidin yang bisa menghilangkan sakit kepala. [Lihat Al-Qaul Al-Mufid Syarah Kitab Tauhid (1/165)]

Jadi, kedua perkara di atas tidak terpenuhi pada jimat. Tidak ada satu dalil pun yang men-syari’at-kan jimat, bahkan jimat dilarang.

Jimat adalah sesuatu yang belum jelas pengaruhnya dan secara tidak langsung, sehingga batillah dan tidak sah ia dianggap sebagai sebab.

Dari uraian di atas, maka jelaslah tentang haramnya jimat di dalam syariat islam, baik jimat itu berupa benda-benda mati -sebagaimana yang telah disebutkan-, ataukah terbuat dari Al-Qur’an, dan doa yang dijadikan sebagai jimat. Ini pun dilarang disebabkan beberapa hal, diantaranya:

[1] keumuman larangaan akan semua jenis jimat, dan tidak adanya dalil yang mengkhususkannya.

[2] Jika kita menggunakan Al-Qur’an sebagai jimat, maka akan terjadi penghinaan terhadap Al-Qur’an dan nama-nama Allah, sebab akan dibawa ke tempat yang najis atau dipakai mencuri dan berkelahi.

[3] Fungsi Al-Qur’an, dibaca, bukan digantungkan.

[4] Para sahabat membenci penggunaan jimat

[5] Penggunaan jimat yang terbuat dari Al-Qur’an akan mengantarkan kepada penggunaan jimat yang terbuat dari selain Al-Qur’an.

Al-Lajnah Ad-Da’imah (Lembaga Fatwa KSA) memberi fatwa secara resmi,
“Penggantungan jimat-jimat pada manusia atau selainnya, berupa ayat-ayat Al-Qur’an adalah haram menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama. Jika yang digantungkan tersebut dari selain Al-Qur’an, maka pengharamannya lebih keras lagi.

Tingkatan-tingkatan hukum orang yang mengantungkan jimat berbeda beda sesuai dengan maksudnya. Terkadang bisa menjadi syirik besar (yaitu syirik yang bisa mengeluarkan pelakunya dari islam), jika dia meyakini bahwasanya jimat tersebut mempunyai pengaruh dari selain Allah. 

Terkadang juga bisa menjadi syirik kecil (syirik yang tidak mengeluarkan pelakunnya dari Islam), namun ia terhitung sebagai dosa besar. Terkadang menjadi bid’ah (suatu perkara baru yang diada-adakan) atau maksiat yang di bawah dari kesirikan. Jadi bagaimana pun keadaannya, tidak boleh melakukannya atau menggantungkannya

[ Lihat Fatawa Al-Lajnah (1/204/no. 2775), dan Al-Qaulul Mufid fi Adillah At-Tauhid (hal 148)]

‼ PENTING

Ringkasnya, segala bentuk jimat baik dari Al-Qur’an, atau pun bukan dari Al-Qur’an adalah suatu hal yang diharamkan, karena keumuman larangan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.
Jadi, hendaknya setiap muslim meninggalkan perkara-perkara ini, mewaspadainya dan ia hanya menggantungkan segala urusannya hanya kepada Allah semata;

Dia meminta suatu manfaat dan berlindung dari mudharat hanya kepada-Nya, sebab inilah aqidah kaum muslimin yang diyakini oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan para sahabatnya -Radhiyallahu ‘anhum yang benar. Sedang tidak ada setelah kebenaran itu, melainkan kebatilan, Wallahu A’lam.

Para pembaca yang budiman, sebagai kesimpulan, kami tegaskan bahwa keberadaan Ummu Shibyan dengan namanya yang khas itu beserta sifat-sifat khususnya, tidak boleh kita yakini dan tetapkan, karena tidak ada hadits yang shohih yang menjelaskan tentang hal itu, bahkan semua hadits tentang Ummu Shibyan adalah palsu.
Wa shollallohu ala Nabiyyina wa alihi wa shohbih wa sallam.
artikel: Disalin dari Grup WA Mazhab Imam Syafi'i رحمه الله تعالىٰ

Tidak ada komentar: