BENARKAH SYEIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB HAUS DARAH ?

Gambaran yang dikesankan secara licik, tidak gentle dan jauh dari jujur oleh para pembencinya adalah bahwa beliau rahimahullah merupakan orang kasar yang buas terhadap siapa saja yang tidak sejalan dengannya.

Benarkah demikian? Bukankah justru para pembencinya, orang-orang yang sejatinya tidak benar-benar siap menerima kebenaran, itulah orang-orang yang selalu merasa bahwa dirinya harus diikuti kemauannya? Jika kalah hujjah, bukankah fisik mereka yang akan berbicara, terutama jika memiliki kekuatan massa, meskipun dengan jalan yang melanggar syari’at?

Untuk mendukung semangat antipatinya, mereka membesar-besarkan penyematan sebutan Wahabi kepada orang-orang yang dianggap pengikut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah.
[Akhir-akhir ini secara gencar mereka memaksakan diri menyebarkan opini buruk baru dengan head line ‘Salafi Wahabi’]
Itupun dengan generalisasi sebutan kepada setiap orang yang dianggap lawan. Meskipun sebenarnya banyak di antara yang disebut wahabi itu justru berlawanan pandangannya dengan prinsip Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah. Penyebutan wahabi itu sendiri sesungguhnya tidak jelas asal-usulnya, kecuali dari musuh-musuh beliau.
mekkah

Khairuddin az-Zirkli, seorang penulis abad 20, yang menyusun berjilid-jilid buku biografi tokoh dunia berjudul al-A’lam, Qamus Tarajum li Asyhari ar-Rijal wa an-Nisa min al-‘Arab, wa al-Musta’ribin wa al-Mustasyriqin, memuat tokoh mana saja yang dianggap berpengaruh, baik dari berbagai aliran umat Islam, maupun tokoh-tokoh orientalis. Ia telah secara jujur dan jelas memuat nama harum Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah.

Di antaranya az-Zirikli mengatakan,”orang-orang yang setia dan mendukung da’wah beliau (Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah) di jantung Jazirah Arab dikenal sebagai ahli tauhid, yaitu Ikhwan Man Atha’a Allah (para saudara yang taat kepada Allah). Sementara lawan-lawan mereka menamainya sebagai wahabiyun. Nisbat kepada Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab. 

Akhirnya sebutan Wahabi ini menjadi sangat popular di kalangan orang-orang Eropa dan mereka memasukkannya ke dalam buku-buku biografi karya mereka. Tetapi sebagian penulisnya telah salah ketika menganggap bahwa ini adalah madzhab baru dalam Islam, sebabnya adalah karena mengekor saja pada cerita bohong yang diada-adakan oleh lawan-lawan beliau. Yaitu, terutama, para propagandis dari orang-orang yang menyebut diri sebagai khalifah-khalifah Utsmaniyah di Turki.

[Lihat al-A’lam, karya az-Zirikli (ejaan b.Inggris Al-Zerekly), op.cit.VI/257.]

Jadi menurut az-Zirikli, sebenarnya sebutan Wahabi berasal dari lawan-lawan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah. Yaitu, lawan-lawan yang kebenciannya terhadap beliau mencapai puncak ubun-ubun, karena da’wah yang beliau sampaikan tidak pernah kunjung padam, da’wah yang merupakan kepanjang tangan dari da’wah para Ulama sebelumnya. Da’wah yang menghidupkan serta menyegarkan kembali ajaran dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sementara itu para penguasa Turki yang menyebut diri sebagai dinasti Khilafah Utsmaniyah menjadi gerah dengan munculnya sebuah negara yang semakin kuat di Jazirah Arab akibat keberhasilan da’wah Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah yang di dukung oleh Imam Muhammad bin Su’ud.

Jauh sebelum kemunculan negeri tauhid yang aman dengan pusat pemerintahan di Dir’iyyah, umumnya wilayah Najed sesungguhnya berada di luar kemampuan kontrol Khilafah Utsmaniyah. Wilayah yang sebelum kehadiran da’wah tauhid selalu diwarnai oleh kebatilan, kekufuran, kemusyrikan dan pertumpahan darah akibat perseteruan antar kabilah atau akibat perebutan kekuasaan yang tidak pernah berhenti; begitu da’wah tauhid masuk dan negara tegak, maka menjadi amanlah keadaan. 

Dan yang perlu difahami, negeri yang muncul dengan da’wahnya ini tidak pernah menyatakan keluar untuk melakukan penentangan terhadap pusat Khilafah Utsmaniyah di Turki. Hanya karena kekhawatiran berlebih dari para penguasa Khilafah Utsmaniyah-lah, maka pada penghujung berakhirnya Negara Saudi Arabia pertama, melalui para Basya yang berkuasa di Mesir, mereka melakukan penyerangan hingga tumbanglah negeri tersebut. 

Maka kembalilah kondisi menjadi kacau, pertumpahan darah kembali mewarnai kehidupan umat akibat perkelahian antar kabilah atau perebutan kekuasaan antar penguasa-penguasa kecil. Masyarakat tidak lagi merasa tenteram. Penguasa wilayah selalu dibayangi maut. Sementara Mesir tidak pernah mampu mengurus dan mengontrolnya.

[Lihat Tarikh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah,op.cit. tentang sejarah berdirinya]


Tentang sejarah awal berkembangnya cikal bakal Negeri Saudi Arabia itu sendiri beserta peristiwa-peristiwa yang menyertainya, telah diceritakan antara lain oleh Hushain bin Ghunnam, salah seorang murid Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab, dalam Tarikh Najed (Raudhatu al-Afkar wa al-Afham li Murtad Hali al-Imam wa Ti’dad Ghazawat Dzawi al-Islam).[Lihat Tarikh Najed dimaksud juz II halm.3-20,op.cit.] Sejarah yang dapat dipercaya, karena ditulis oleh seorang muslim yang ‘alim dan adil.

Inti sarinya adalah bahwa semenjak da’wah tauhid di Najed, yang kala itu berpusat di Dir’iyyah, menjadi kuat dengan dukungan pemerintahan, maka pemerintahan dengan kekuatan da’wahnya selalu dibanjiri warga-warga baru yang berbondong-bondong ingin bergabung ke dalamnya. Sebagian besar warga baru yang datang adalah karena haus akan kebenaran da’wah yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah. 

Sementara beliau juga rajin mengajak para Ulama dan para pemimpin negeri-negeri tetangga untuk bergabung dengan negara baru yang berdiri atas dasar da’wah tauhid ini. Maka bergabunglah para pemimpin sebagian negeri tersebut, termasuk pemimpin negeri ‘Uyainah, Huraimila dan Manfuhah.

Perkembangan da’wah ini tentu menimbulkan kekhawatiran para pemimpin negeri sekitar yang anti terhadap kebenaran. Padahal Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah sebagai tokoh Ulama dan Imam Muhammad bin Su’ud rahimahullah sebagai negarawan, tidak henti-hentinya berusaha memberikan nasihat serta mengajak para pemimpin tersebut dengan cara hikmah untuk kembali kepada ajaran Islam menurut syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan begabung menciptakan kedamaian bernegara. 

Salah satu contohnya adalah kepada seorang penguasa Riyadh yang bernama Daham bin Dawwas. Tetapi orang ini terkenal licik dan semena-mena terhadap rakyatnya. Ia memperoleh kekuasaan di Riyadh pun dengan cara licik, curang dan keji terhadap ahli waris yang sebenarnya.

Ayahnya, Dawwas, yang pernah berkuasa di wilayah Manfuhah, juga terkenal memiliki watak kejam. Awalnya Daham bin Dawwas tidak pernah menunjukkan permusuhannya secara langsung terhadap da’wah Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah serta kekuasaan Imam Muhammad bin Su’ud rahimahullah. Bahkan ketika Daham menghadapi upaya pemberontakan rakyatnya, ia meminta bantuan Imam Muhammad bin Su’ud rahimahullah yang dengan senang hati memenuhinya.

Namun Daham memang sangat membenci da’wah tauhid dan memusuhi pemerintahan yang berpusat di Dir’iyyah. Setiap ia mengetahui ada warganya yang taat beragama Islam, selalu ditindas dengan kekejiannya. Sehingga pada akhirnya, ketika ia mendengar bahwa wilayah Manfuhah sudah bergabung dengan Dir’iyyah, maka secara licik dan khianat ia melakukan penyerbuan ke Manfuhah, apalagi ia memiliki dendam lama terhadap warga Manfuhah karena keluarganya terbunuh dan terusir dari sana akibat ulah sendiri. 

Sementara pemimpin dan warga Manfuhah tidak menaruh curiga sama sekali karena Daham selalu menampakkan persahabatannya terhadap Imam Muhammad bin Su’ud. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki makarnya sukses. Sebagian warga Manfuhah ternyata sempat mengetahui tindakannya. Akhirnya Dir’iyyahpun sempat mengirimkan bantuan untuk memberikan perlawanan kepada pasukan penyerbu. Hasilnya Daham bin Dawwas mengalami kekalahan telak dan terpaksa melarikan diri dari Manfuhah menuju Riyadh dengan membawa luka-luka dan jari-jari kakinya putus.[Ibid II/6-7] 

Tentu musuh-musuh tauhid bukan hanya Daham bin Dawwas, tetapi demikian secara ringkas, contoh dari kisah awal bagi mulainya pertempuran-pertempuran yang ada, yang awalnya karena kecurangan, kelicikan dan kedengkian musuh.

Maka tidak benar jika Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah dikatakan haus darah, bahkan jika seseorang dengan jujur membaca risalah-risalah yang beliau kirimkan waktu itu kepada para tokoh, pemimpin dan Ulama di negeri-negeri sekitar, ia akan dapat menarik kesimpulan bahwa risalah-risalah itu berisi kebenaran, jauh dari provokasi dan hasutan untuk tujuan petumpahan darah. 

Risalah-risalah itu diutarakan dengan bahasa lugas, jelas, terbuka, namun sopan dan penuh hikmah serta kuat hujjahnya hingga sulit terbantahkan. Di dalamnya hanya berisi ajakan berfikir, ajakan amar ma’ruf nahi munkar, ajakan untuk tidak membiarkan umat dalam kejahatan dan kegelapan. Ajakan yang intinya supaya hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja serta meninggalkan kemusyrikan dan kema’siatan. 

Dan itu langsung ditujukan kepada orang yang menjadi tujuannya. Bukan hasutan, atau caci makian atau kekejian. Kemudian sebagian lain dari risalah itu berisi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang masuk, dan sebagian lainnya lagi merupakan penjelasan terhadap apa yang dituduhkan secara tidak benar kepada beliau. Hushain bin Ghunnam dalam Tarikh Najed [Lihat kitab tersebut pada juz I, op.cit. mulai hal.50-60, juga halm.95-175.] telah memuat banyak di antara risalah-risalah beliau itu.

Ini menunjukkan kekuatan ilmu, hujjah, hikmah serta kesabaran dan kepribadian hebat penulisnya, yaitu Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah. Tidak ada seorang pun di antara para pembencinya di zaman dahulu yang dengan gentle melawan hujjahnya, kecuali dengan kelicikan, kecurangan, pengkhianatan, isu-isu dusta dan terakhir dengan tindakan fisik.

Jadi tidak ada bukti sama sekali tentang sejarah berdarah itu, yang ada justru terciptanya kedamaian, karena sejak semula da’wah beliau sudah diawali dengan kedamaian, meskipun tegas, lugas dan kuat hujjahnya, namun tidak kasar. Jika da’wah tersebut diawali dengan ujung pedang, atau diwarnai intrik politik yang busuk, atau dilakukan dengan sikap kasar, penuh tekanan dan permusuhan, apa mungkin –sesudah taufiq Allahl- dakwah itu bisa sukses dan mampu menggugah kesadaran umat hingga sekarang, sedangkan beliau pun tetap dikagumi dan disegani baik oleh kawan maupun lawan, terutama yang gentle? Walillahi al-Hamdu wa al-Minnah.

artikel: https://almanhaj.or.id/3912-siapa-syaikh-muhammad-bin-abdul-wahhab.html

Tidak ada komentar: