Syaikh Nawawi Al Bantani Ikut Memberantas Ajaran Sufi Di Indonesia

Syaikh Nawawi Al Bantani Salah Satu 'Ulama Dari Banten 
Yang Ikut Memberantas Ajaran  Sufi Di Indonesia

Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Bantani (1230-1314) dari Banten yang digelari Sayyid Ulama Al-Hijaz oleh penduduk Taimur (Al-A’lam VI/318 karya Az-Zarkali), dan Syaikh ‘Utsman bin Yahya (…-1333), Mufti Batavia, ikut serta dalam memberantas ajaran Sufi atau Tasawuf yang sedang marak di Syarq Aqsha (Timur Jauh/Indonesia) saat itu.

Keduanya bersepakat untuk memadamkan ajaran Sufi atau Tasawuf yang tengah marak di Nusantara.

Di antara tokoh-tokoh Sufi atau Tasawuf itu pun sampai dapat menempati kedudukan tinggi di kerajaan, yaitu sebagai penasihat Sultan atau Raja, atau minimal sebagai panutan sebagian masyarakat.

Sebut saja misalnya mereka yang bernama Hamzah Al-Fanshuri, Syamsuddin As-Sumatrani (w. 1039), Muhammad Yusuf Tajul Khalwati Al-Makassari (1037-1111), Abdush Shamad bin Abdurrahman Al-Falimbani (1116-1203), Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjari (1148-… ), dan lainnya.
Memberantas Ajaran Sufi Di Indonesia

Bahkan di antaranya pula ada yang meracik Thoriiqoh atau Tarekat Sufi baru, seperti Ahmad bin ‘Abdul Ghaffar As-Sambasi (1217-1289) pendiri tarekat Naqsyabandiyyah wa Qadiriyyah yang kemudian diageni oleh ‘Abdul Karim Al-Bantani.

Pada awalnya, Sufi sungguh dimaksudkan untuk kebaikan. Untuk menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs). Untuk hidup zuhud, sederhana. Hendak meneladani kaum Shabahah Nabi, rodhiyollohu 'anhum yang hidup sederhana dan 'alim, dekat dengan Allah. Sebagai perlawanan halus dari pencetusnya terhadap kemewahan bahkan kemaksiatan yang semakin marak di masa akhir kerajaan-kekholifahan Abbasiyyaah. Dan untuk mencapai tingkatan Qoriib atau Awliyaa (Waly), agar dekat dengan Allah. Dan sebagainya.

Namun pada akhirnya ini macam berkembang tak terkendalikan, bercampur dengan banyak ajaran lain di luar Islam. Hingga sampai membentuk ritual 'ibadah baru. Diduga karena mereka tak percaya akan pihak kerajaan-keholifahan Abbsiyyaah masa itu yang mengklaim sebagai 'Ahlus Sunnah' (walaupun malah akhirnya dikenal dekat dengan kaum Mu'tazilah alias Rasionalis itu).

Dan ritual baru 'ciptaan' mereka ini dapat terjebak menjadi Bid'ah. Sementara jelas sekali Hadits memperingatkan bahwa Bid'ah itu kesesatan dan menjurus ke Neraka. Jika tak bertaubat.

Para tokoh Sufi ini di kemudian hari sudah pula banyak memberikan ajaran-ajaran yang bahkan merusak, mengerikan, di tengah kaum Muslimin saat itu.
Ajaran Sufi yang paling ekstrim dikenal adalah ajaran bernama "Hulul" dan "Wihdatul Wujud" atau yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan sebutan “Manunggaling kawulo lan Gusti”, atau "Bersatunya makhluk dengan Allah". 
Mereka percaya bahwa dalam kehidupan ini, bahkan manusia dapat benar-benar bersatu dengan Allah. Juga dapat mastur (menghilang) ke dunia 'sebalik tabir' (kasyif', dunia yang ghoib bagi 'manusia kebanyakan', namun dapat dimasuki 'manusia tingkat tinggi'. Padahal perkara ghoib ini rawan jebakan Jiin, Setan, Iblis. Padahal hal menghilang ke dunia lain itu, juga adalah khas ajaran Hindu, bernama "Moksha".

Syaikh Muhammad Nuruddin Ar-Raniri, seorang Syaikhul Islaam di kerajaan, meriwayatkan dalam kitabnya, Fath Al-Mubin sebagaimana dalam Jaringan Ulama hal. 219, tentang faham Wihdatul Wujud di masa Sultan Iskandar Tsani yang merupakan warisan daripada Hamzah Al-Fanshuri dan Syamsuddin As-Sumatrani, “… dan lagi kata mereka itu, al-‘alam huwa Allah, huwa al-‘alam, bahwa alam itu Allah, dan Allah itu alam.”

Paham bahwa Allah adalah Alam Semesta ini, adalah kesesatan. Ini tidak pernah ada dasarnya dalam Islaam, agama Tauhiid, agama Monoteisme, agama Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan 124.000 nabi dan rosul yang telah diutusNya, sejak awal jaman.

Bahkan paham macam ini adalah hasil serapan dari salah satu pemikiran "Philosophia" (Filsafat), yang kata ini lah kemudian diarabkan menjadi "Failasuf", dan menjadi dasar dari kata "Sufi". Demikian menurut para ahli Bahasa-bahasa.

Asal kata lain, adalah dari kata "Shuff" atau baju kain kasar dari bulu domba, yang awalnya dimaksudkan sebagai identitas kostum kaum Sufi berhidup sederhana. Melainkan diri mereka dari kemewahan hidup macam berpakaian Sutera bahkan bermaksiat yang semakin marak di masa akhir Abbasiyyaah itu.

Dan sungguh kata "Sufi" itu memang tidak ditemukan dalam khazanah Bahasa Arab.

Alias adalah kata serapan dari peradaban lain. Utamanya dari Filsafat atau Failasuf itu. Sementara Filsafat atau Failasuf itu utamanya menitikberatkan pada hal telaah Akal, sedangkan Akal manusia ini sendiri terbatas kemampuannya, dan manusia bahkan dapat rawan saja mencampurkannya dengan was-was, Hawa Nafsu, bermaksiat.
Serta jelas sekali, selain kata "Sufi" itu tidak ada di khazanah Bahasa Arab, tidak ada pula di Al Qur'aan, tidak ada di 9 Kitab Hadits; sungguh ajaran Sufi ini pun baru muncul sesudah masa Salafush Sholih (kaum Pendahulu Yang Salih).
Atau setelah 3 Generasi Pertama dalam Islam yang hidup bersama dan sesudah Rosuululloh Muhammad, sholollohu 'alaihi wasallaam. Yakni generasi para Shahabah Nabi, generasi para Tabi'iin, dan generasi para Tabi'ut Tabi'iin. Yang hanya 3 generasi pertama ini (dan yang meneladani mereka) yang dijamin benar dan selamat, oleh Allah Subhanahu Wa Ta'aala.

Utamanya, menurut sejarah, ajaran Sufi itu baru muncul di masa kekholifahan-kerajaan Abbasiyyaah.

Di antara banyak hal positif di masa Abbasiyyaah ini, maka ada hal negatif yang amat disayangkan para 'ulama Ahlus Sunnah (Sunni), yakni munculnya paham-paham baru macam Mu'tazilah, Qadariyyah, Jabbariyyah, Jahmiyyah, Sufiyyah (Sufi), Failasuf sendiri, mengkristalnya Syi'ah, Khawarij, dll.

Ini adalah kecerobohan di masa itu, saat banyak kitab dari luar Islam, diterjemahkan tanpa diawasi ketat. Tak masalah tentu, jika itu adalah Kitab Sains, Teknologi, dan sebagainya. Namun jika adalah Kitab luar Islam soal 'Aqiidah, soal Pemikiran, dll., maka ini menjadi rawan mengotori kemurnian Islaam.

Dan akhirnya ini terjadi.

Menggenapi Bisyaroh atau pemberitahuan akan masa depan dari Rosuululloh - sholollohu 'alaihi wasallaam - bahwa akan ada 73 golongan yang semuanya mengaku sebagai Islam, sebagai Muslim, paling Islamin

Namun ternyata 72 di antaranya masuk Neraka atau akan melalui Neraka terlebih dulu, dan hanya 1 golongan saja, Ahlus Sunnah sejati, yang langsung ke Surga.

Unsur lain yang membentuk Sufi, adalah Mistisme. Dan ini tentu saja rawan berhubungan dengan soal Ghoib, sementara soal Ghoib, adalah wilayah utama Jin, Setan, Iblis.

Selain hal Filsafat, Mistisme, bahkan ditemui percikan ajaran 'aqiidah Yahudi, Kabbalah, Kristen, Buddha, Hindu, Animisme, Dinamisme,  dan ritual adat - termasuk dari Nusantara - yang membentuk Sufi dan berbagai firqohnya (pecahannya) kini, masing-masing Thoriiqohnya, Tarekatnya.

Di kemudian hari, antara ajaran Sufi dan Syi'ah, bahkan ada keserupaannya. Misalnya soal pengkeramatan kuburan orang dianggap Imam, Wali, Syaikh, Kyai Ayatullah dst., juga soal beribadah bahkan mencari petunjuk mencari barokah (tabarruk) di kuburan, dll.

Dan dalam perjalanannya, ajaran Sufi pun itu mulai mendapat tanggapan, kritikan, dan bantahan dari para ulama setempat.

Ar-Raniri, misalnya, ia sangat menentang dan tidak setuju terhadap ajaran Hulul dan Wihdatul Wujud itu meski dirinya juga masih berkesufi-sufian.

Bahkan ia memvonis kafir lagi murtad bagi siapa pun yang tidak mau melepaskan diri dari ajaran itu karena sedemikian bahayanya.

Selain vonis kafir, kedudukannya sebagai Syaikhul Islaam di kerajaan dimanfaatkannya dengan dukungan Sultan Iskandar Tsani untuk menjatuhkan hukum mati bagi pemilik keyakinan kafir (Sufi) ini dan membakar seluruh buku yang mendukungnya, di antaranya adalah buku-buku Hamzah Al-Fanshuri.

Konon, Ketua Umum MUI saat ini, yakni Prof. DR. K. H. Ma'ruf Amin - dari unsur NU (1926), organisasi Islam Indonesia keempat tertua setelah Muhammadiyah (1912), Al 'Irsyaad (1914), Persatuan Islam (1923) - adalah salah satu keturunan dari Syaikh Nawawi al Bantani itu.

Semoga semangat dari leluhurnya itu, dapat menjaga pak Ma'ruf Amin dalam memimpin MUI dan ummah. Termasuk dalam menyikapi Sufi yang marak di NU, organisasinya asalnya.

Sementara organisasi Islam besar Ahlus Sunnah wal Jama'ah Indonesia lainnya yakni Muhammadiyah, Al 'Irsyaad, Persis, DDII, Hidayatullah, Wahdah Islamiyah, HASMI, dll., juga kaum Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Salafiyyuun yang biasanya adalah non organisasional; praktis semuanya tidak memfasilitasi Sufi ini.

Aamiiin. Semoga Allah memudahkan kita semua ke jalan terbenar.

Selamat di Dunia dan di Akhirah.

artikel aslibumiayu.net

Tidak ada komentar: