MENGKRITISI KEABSAHAN HADITS-HADITS KITAB IHYA ULUMIDDIN

Kiranya tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn adalah termasuk kitab berbahasa Arab yang paling populer di kalangan kaum Muslimin di Indonesia, bahkan mungkin di seluruh dunia.

Kitab ini dianggap sebagai rujukan utama, sehingga seorang yang telah menamatkan pelajaran kitab ini dianggap telah mencapai kedudukan yang tinggi dalam pemahaman agama Islam. Padahal kiranya juga tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa kitab ini termasuk kitab yang paling keras diperingatkan oleh para ulama untuk dijauhi, bahkan di antara mereka ada yang merekomendasikan agar kitab ini dimusnahkan![1]
kitab ihya ulumiddin

Betapa tidak, kitab ini berisi banyak penyimpangan dan kesesatan besar, sehingga orang yang membacanya apalagi mendalaminya tidak akan aman dari kemungkinan terpengaruh dengan kesesatan tersebut, terlebih lagi kesesatan-kesesatan tersebut dibungkus dengan label agama.

Di antara kesesatan besar yang dikandung buku ini adalah pembenaran ideologi (keyakinan) wihdatul wujûd (bersatunya wujud Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan wujud makhluk), yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Dzat Ilahi (Allah Subhanahu wa Ta’ala) – maha suci Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari segala keyakinan rusak ini –.

Keyakinan sangat menyimpang bahkan kufur ini dibenarkan secara terang-terangan oleh penulis kitab ini di beberapa tempat dalam kitab ini, misalnya pada jilid ke 4 halaman 86 dan halaman 245-246 (cet. Darul Ma’rifah, Beirut).

Cukuplah pernyataan Syikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berikut ini menggambarkan besarnya penyimpangan dan kesesatan yang terdapat dalam kitab ini, “Kitab ini berisi pembahasan-pembahasan yang tercela, (yaitu) pembahasan yang rusak (menyimpang dari Islam) dari para ahli filsafat yang berkaitan dengan tauhid (pengesaaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala ), kenabian dan hari Kebangkitan. Maka, ketika penulisnya menyebutkan pemahaman orang-orang ahli tasawwuf (yang sesat), ini seperti seseorang yang mengundang seorang musuh bagi kaum Muslimin tetapi (disamarkan dengan) memakaikan padanya pakaian kaum Muslimin (untuk merusak agama mereka secara terselubung). Sungguh para imam (Ulama besar) Islam telah mengingkari (kesesatan dan penyimpangan) yang ditulis oleh Abu Hâmid al-Ghazali dalam kitab-kitabnya”[2] .

Oleh karena itu, Imam adz-Dzahabi rahimahullah menukil ucapan Imam Muhammad bin al-Walid ath-Thurthûsyi rahimahullah yang mengatakan bahwa kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn (yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama) lebih tepat jika dinamakan Imâtatu Ulûmiddîn (mematikan/merusak ilmu-ilmu agama).

Di samping itu, kitab ini juga memuat banyak hadits lemah bahkan palsu, yang tentu saja tidak boleh dinisbatkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahkan banyak di antaranya yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama Islam.

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas semua kesesatan tersebut, tetapi saya akan membahas dan menilai keabsahan hadits-hadits yang dimuat dalam kitab ini, berdasarkan keterangan para Ulama Ahlus Sunnah yang terlebih dahulu meneliti dan mengkritisi kitab ini.

KRITIKAN PARA ULAMA AHLUS SUNNAH TERHADAP HADITS-HADITS DALAM KITAB INI
1. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah berkata[3] : “Ketahuilah bahwa kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn memuat banyak kerusakan (penyimpangan) yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama. Penyimpangannya yang paling ringan (dibandingkan penyimpangan-penyimpangan besar lainnya) adalah adanya hadits-hadits palsu dan batil (yang termaktub di dalamnya), juga hadits-hadits mauquf (ucapan Sahabat atau Tabi’in) yang dijadikan sebagai hadits marfû’ (ucapan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).

Semua itu dinukil oleh penulisnya dari referensinya, meskipun bukan dia yang memalsukannya. Dan (sama sekali) tidak dibenarkan mendekatkan diri (kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) dengan hadits yang palsu, serta tidak boleh tertipu dengan ucapan yang didustakan (atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam )”.

2. Imam Abu Bakr Muhammad bin al-Walid ath-Thurthûsyi rahimahullah berkata [4] : “…Kemudian al-Ghazali memenuhi kitab ini dengan kedustaan atas (nama) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan aku tidak mengetahui sebuah kitab di atas permukaan bumi ini yang lebih banyak (berisi) kedustaan atas (nama) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kitab ini”[5]

3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dalam kitab ini terdapat hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang lemah, bahkan (juga mengandung) banyak hadits yang palsu, serta berisi banyak kebatilan dan kebohongan orang-orang ahli tasawwuf”[6] .

4. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Adapun kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn, di dalamnya terdapat sejumlah (besar) hadits-hadist yang batil (palsu)”[7] .

5. Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “…Akan tetapi, dalam kitab ini (Ihyâ’ Ulûmiddîn ) banyak terdapat hadits-hadits yang asing, mungkar dan palsu”[8] .

6. Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni rahimahullah berkata: “Betapa banyak kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn memuat hadits-hadits (palsu) yang oleh penulisnya dipastikan penisbatannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , padahal Imam al-‘Irâqi dan para ulama lainnya menegaskan bahwa hadits-hadist tersebut tidak ada asalnya (hadist palsu)” [9].

7. Bahkan Imam as-Subki mengumpulkan hadits-hadist dalam kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn yang tidak ada asalnya (palsu), dan setelah dihitung semuanya berjumlah 923 hadits [10] .

KITAB-KITAB YANG LEBIH PANTAS DIPELAJARI DAN DITEKUNI

Dengan uraian ringkas tentang kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn di atas, jelaslah bagi kita kandungan buruk dan penyimpangan yang terdapat di dalamnya. Maka, seorang Muslim yang menginginkan kebaikan dan keselamatan dalam agama dan imannya, hendaknya menjauhkan diri dari membaca buku-buku yang mengajarkan kesesatan seperti ini. Alhamdulillâh, kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah yang bersih dan selamat dari penyimpangan sangat banyak dan mencukupi untuk diambil manfaatnya.

Apakah kita tidak khawatir akan ditimpa kerusakan dalam pemahaman agama kita dengan membaca kitab seperti ini, padahal kerusakan dan kerancuan dalam memahami agama ini merupakan malapetaka terbesar yang akan berakibat kebinasaan dunia dan akhirat? Bukankah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari kerusakan agama dan iman, sebagaimana dalam doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((ولا تَجْعَلْ مُصيبَتَنَا في دِيْنِنا))
(Ya Allâh) janganlah Engkau jadikan malapetaka (kerusakan) yang menimpa kami dalam agama (keyakinan) kami [11]

Ketahuilah, bahwa ilmu yang bermanfaat untuk memperbaiki keimanan dan meyempurnakan ketakwaan kita kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala hanyalah ilmu yang bersumber dari al-Qur’ân dan hadits-hadits shahîh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dengan pemahaman yang benar, yaitu dengan merujuk pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka.

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata: “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari al-Qur`ân dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta (berusaha) memahami kandungan maknanya, dengan pemahaman yang bertumpu pada penjelasan para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para Tâbi’în (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dalam memahami kandungan al-Qur`ân dan Hadits (dengan baik). (Begitu pula) dalam (memahami penjelasan) mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud, amalan hati (pensucian jiwa), pengenalan (tentang nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya, dengan terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahîh (benar) dan (meninggalkan riwayat-riwayat) yang tidak benar, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya. Semua ini sudah sangat memadai (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat) bagi orang yang berakal dan merupakan kesibukan (yang bermanfaat) bagi orang yang memberi perhatian dan berkeinginan besar (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat)”[12] .

PENUTUP

Sebagai penutup, renungkanlah nasehat emas dari Imam adz-Dzahabi rahimahullah ketika beliau mengkritik kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn dan kitab-kitab lain semisalnya yang memuat kesesatan dan penyimpangan karena mengabaikan petunjuk al-Qur`ân dan hadits-hadits shahîh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar.

Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Dalam kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn terdapat sejumlah (besar) hadits-hadits yang batil (palsu) dan banyak kebaikannya kalau saja kitab itu tidak memuat adab, ritual dan kezuhudan (model) orang-orang (yang mengaku) ahli hikmah dan ahli Tasawwuf yang menyimpang, kita memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala (dianugerahkan) ilmu yang bermanfaat. Tahukah kamu apakah ilmu yang bermanfaat itu? Yaitu ilmu bersumber dari al-Qur’an dan dijabarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ucapan dan perbuatan (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam), serta tidak ada larangan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang tidak menyukai sunnah/petunjukku maka dia bukan termasuk golonganku” [13] .

Maka, wajib bagimu wahai saudaraku untuk mentadabburi (mempelajari dan merenungkan) al-Qur`ân serta membaca dengan seksama (hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dalam ash-Shahîhain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), Sunan an-Nasâ’i, Riyâdhus Shâlihin dan al-Adzkâr tulisan Imam an-Nawawi rahimahullah. (Maka dengan itu) engkau akan beruntung dan sukses (meraih ilmu yang bermanfaat). Dan jauhilah pemikiran orang-orang tasawwuf dan filsafat, ritual-ritual ahli riyâdhah (ibadah-ibadah khusus ahli tasawwuf), dan kelaparan (yang dipaksakan) oleh para pendeta, serta igauan tokoh-tokoh ahli kholwat (menyepi/bersemedi yang mereka anggap sebagai ibadah). (Ingatlah), semua kebaikan hanyalah (diraih) dengan mengikuti agama (Islam) yang hanîf (lurus) dan mudah (agama yang dibawa dan dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Hanya kepada Allâh-lah kita memohon pertolongan. Yâ Allâh, tunjukkanlah kepada kami jalan-Mu yang lurus”[14] . Wallâhu a’lam.

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote

[1]. Lihat Siyaru A’lâmin Nubalâ 19/327 dan 19/495-496
[2]. Majmû’ al-Fatâwâ 10/551-552
[3]. Dalam kitab beliau Minhâjul Qâshidîn . Nukilan dari al-Bayân edisi 48 hlm. 81
[4]. Beliau adalah seorang imam panutan, ulama besar dan ahli zuhud. Wafat 520 H. Biografi beliau dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ 19/490
[5]. Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi t dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ 19/495
[6]. Majmû’ al-Fatâwa 10/552
[7]. Siyaru A’lâmin Nubalâ19/339
[8]. Al-Bidâyah wan Nihâyah 12/214
[9]. Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah 1/60
[10]. Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubra 6/287
[11]. HR at-Tirmidzi (no. 3502), dan dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albâni
[12]. Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alâ ‘Ilmil Khalaf hlm. 6
[13]. HR. al-Bukhâri no. 5063 dan Muslim 1401
[14]. Siyaru A’lâmin Nubalâ 19/339-340

Sumber: https://almanhaj.or.id/3662-mengkritisi-keabsahan-hadits-hadits-kitab-ihya-ulumiddin.html

Tidak ada komentar: