Syaikh Khatib menjadi imam besar di Masjidil Haram sekaligus mufti bermahzab Syafi’i yakni ulama yang memiliki wewenang untuk memberikan fatwa pada umat di akhir abad ke-19. Dia berdarah Koto Gadang, desa yang dikenal memiliki keunikan dan warganya sangat intelek ada zaman kolonialisme. Syaikh Khatib lahir di Sumatera Barat pada 26 Juni 1860. Dia pergi ke Kota Makkah di saat usianya masih sangat muda, 9 tahun
Saat di Makkah, dia berguru dengan beberapa ulama terkemuka. Saking fasihnya, Syaikh Khatib merupakan tiang tengah dalam mahzab Syafi’i ini. Muridnya sungguh banyak. Ratusan ribu orang datang kepadanya saban hari minta diajarkan fiqih Syafi’i. Dua diantara muridnya pasti kamu kenal. Mereka adalah Kyai Haji Hasyim Asy’ari yang mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Selain menguasai ilmu fiqih, Syaikh Khatib juga menguasai sejarah, aljabar, ilmu falak, berhitung, serta geometri. Canggih banget, ya. Syaikh Khatib kecil belajar agama pada sang ayah, Syaikh Abdul Lathif. Sejak kecil beliau sudah khatam dan hafal beberapa juz dalam Alquran.
Syaikh Khatib yang jadi imam besar pertama di Masjidil Haram asal Minangkabau ini akhirnya menghembuskan nafas selama-lamanya pada 13 Maret 1916. Meski demikian namanya masih terngiang terutama di kalangan santri dan penerus mazhab Syafi’i. Kita sebagai bangsa Indonesia turut bangga dengan nama besar beliau. Apalagi beliau masih fasih berbahasa minang meski lama di Makkah.
Kitab- kitab karya Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi:
Karya tulis Syaikh Ahmad Khatib al- Minangkabawi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya yang berbahasa Arab dan berbahasa Melayu dengan tulisan arab. Kebanyakan tema- tema dari buku beliau mengangkat tema- tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, tahayyul dan kurafat, dan adat-adat yang berseberangan dengan islam.
Yang berbahasa arab antara lain: Khasyiyah al-Nafarat ala Syarhi al-Waraqat li al-Mahalli, al Jawahiru al-Naqiyyah fi al-A’mali al-Jaibiyyah, Raudlat al-Hussab, Ma’ainul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz, al-Qulu al-Mufid ala Mathlai al-Said, dsb.
Sedangkan yang berbahasa Melayu ialah: Mu’alimu al-Hussab fi ilmi al-Hisab, al-Manhajul Masyru’ fi al-Mawarist, Dhau al-Siraj, al-Jawi fi nahw, Salamu al-Nahw, Izhar Zughlai al-Kadzibin, dsb.
Murid- murid Syaikh al-Khatib:
Mengenai murid- murid Syaikh Ahmad Khatib al- Minangkabawi, Siradjuddin Abbas berkata bahwa sebagaimana dikatakan di atas bahwa hampir ulama Syafi’i yang kemudian mengembangkan ilmu agama di indonesia, seperti Syeikh Sulaiman al-Rasuli, Syeikh Muhdi Jamil Jaho, Syeikh Abbas Qadli, Syaikh Musthofa Purba Baru, Syaikh Hasan Ma’sum Medan Deli dan banyak lagi ulama- ulama Indonesia pada tahun-tahun bar XIV adalah murid dari Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Thabaqatus Syafiiyah hal: 406).
Saat di Makkah, dia berguru dengan beberapa ulama terkemuka. Saking fasihnya, Syaikh Khatib merupakan tiang tengah dalam mahzab Syafi’i ini. Muridnya sungguh banyak. Ratusan ribu orang datang kepadanya saban hari minta diajarkan fiqih Syafi’i. Dua diantara muridnya pasti kamu kenal. Mereka adalah Kyai Haji Hasyim Asy’ari yang mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Selain menguasai ilmu fiqih, Syaikh Khatib juga menguasai sejarah, aljabar, ilmu falak, berhitung, serta geometri. Canggih banget, ya. Syaikh Khatib kecil belajar agama pada sang ayah, Syaikh Abdul Lathif. Sejak kecil beliau sudah khatam dan hafal beberapa juz dalam Alquran.
Syaikh Khatib yang jadi imam besar pertama di Masjidil Haram asal Minangkabau ini akhirnya menghembuskan nafas selama-lamanya pada 13 Maret 1916. Meski demikian namanya masih terngiang terutama di kalangan santri dan penerus mazhab Syafi’i. Kita sebagai bangsa Indonesia turut bangga dengan nama besar beliau. Apalagi beliau masih fasih berbahasa minang meski lama di Makkah.
Kitab- kitab karya Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi:
Karya tulis Syaikh Ahmad Khatib al- Minangkabawi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya yang berbahasa Arab dan berbahasa Melayu dengan tulisan arab. Kebanyakan tema- tema dari buku beliau mengangkat tema- tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, tahayyul dan kurafat, dan adat-adat yang berseberangan dengan islam.
Yang berbahasa arab antara lain: Khasyiyah al-Nafarat ala Syarhi al-Waraqat li al-Mahalli, al Jawahiru al-Naqiyyah fi al-A’mali al-Jaibiyyah, Raudlat al-Hussab, Ma’ainul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz, al-Qulu al-Mufid ala Mathlai al-Said, dsb.
Sedangkan yang berbahasa Melayu ialah: Mu’alimu al-Hussab fi ilmi al-Hisab, al-Manhajul Masyru’ fi al-Mawarist, Dhau al-Siraj, al-Jawi fi nahw, Salamu al-Nahw, Izhar Zughlai al-Kadzibin, dsb.
Murid- murid Syaikh al-Khatib:
Mengenai murid- murid Syaikh Ahmad Khatib al- Minangkabawi, Siradjuddin Abbas berkata bahwa sebagaimana dikatakan di atas bahwa hampir ulama Syafi’i yang kemudian mengembangkan ilmu agama di indonesia, seperti Syeikh Sulaiman al-Rasuli, Syeikh Muhdi Jamil Jaho, Syeikh Abbas Qadli, Syaikh Musthofa Purba Baru, Syaikh Hasan Ma’sum Medan Deli dan banyak lagi ulama- ulama Indonesia pada tahun-tahun bar XIV adalah murid dari Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Thabaqatus Syafiiyah hal: 406).
Ucapan senada juga diungkapkan oleh penulis ensiklopedi ulama nusantara di banyak tempat. Bahkan Dr. Kareel A. Steenbrink membuat satu pasal dalam beberapa aspek: guru untuk generasi pertama kaum muda. Namun demikian, tak salah kiranya jika disebutkan disini beberapa murid yang meonjol, baik secara keilmuan maupun dakwah yang mereka lancarakan, diantaranya adalah:
Jika kepercayaan hanya tumbuh semata- mata karena penerimaan atas wibawa guru, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata menggunakan senjata, bedil, kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu. Murid- muridnya kemudian menjadi penggerak pembaharuan pemikiran islam di minangkabau, seperti syaikh Muhammad Djamil Jambek (1860-1947), Haji Abdul Karim Amrullah (1879- 1945) dan Haji Abdullah Ahmad.
(disarikan dari berbagai sumber)
repost from: ipnu.or.id
- Syaikh al-Karim bin Amrullah rahimahullah, ayah Buya Hamka. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh besar di ranah minang dan indonesia. Diantara karya tulisnya adalah al- Qaulush shalih yang membicarakan tentang nabi terakhir dan membantah paham adanya nabi baru setelah nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad Qadiyani.
- Muhammad Darwis alias KH. Ahmad Dahlan bin Abu Bakar bin Sulaiman rahimahullah- pendiri Jamiyyah Muhammadiyah
- Muhammad Hasyim Bin asy’ari Tebuireng Jombang rahimahullah- salah satu pendiri Jamiyyah Nahdlatul Ulama
- Ustadz Abdul Halim Majalengka rahimahullah- pendiri Jamiyyah Ianatul Mutaallimin yang bekerja sama dengan Jamiyyah Khairiyah dan al-Irsyad
- Syaikh Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad Afif al-Banjari rahimahullah- mufti kerajaan Indragiri
- Muhammad Thaib Umar, dsb.
Jika kepercayaan hanya tumbuh semata- mata karena penerimaan atas wibawa guru, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata menggunakan senjata, bedil, kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu. Murid- muridnya kemudian menjadi penggerak pembaharuan pemikiran islam di minangkabau, seperti syaikh Muhammad Djamil Jambek (1860-1947), Haji Abdul Karim Amrullah (1879- 1945) dan Haji Abdullah Ahmad.
(disarikan dari berbagai sumber)
repost from: ipnu.or.id
Tidak ada komentar: