Sedang Jima', Berkumandang Adzan, Apa yang Harus Dilakukan?

tangan suami istri saling berpegangan
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta Alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Saat suami istri sedang berjima’ di siang hari lalu terdengar kumandang adzan Ashar apa yang harus mereka lakukan. Apakah Harus menghentikan jima’ untuk segera menjawab adzan dan mendatangi masjid?

jawaban

Markaz Fatawa Islamweb melansir Tanya jawab tentang masalah ini. Dijawab di situs dengan konten dakwah Islam ini dengan title, “hukum melanjutkan Jima’ saat Mendengar Adzan”,

إن كان المراد أنه هل يلزمهما الكف عن الجماع لأجل سماع الأذان فالجواب أنه لا يلزمهما ذلك
“Jika maksudnya adalah apakah keduanya harus berhenti dari jima’ karena mendengar adzan, maka jawabannya adalah tidak wajib bagi kedua melakukan itu.” Artinya, tidak harus menghentikan aktifitas jima’ mereka. Boleh melanjutkan sampai tersampaikan hajat keduanya.

Jawaban lain yang disebutkan di link, “orang yang sedang berjima’ tidak berdosa melanjutkan jima’nya walau ia sudah dengar adzan. Ia juga tidak wajib berhenti jima’ hanya karena mendengar adzan. 

Kecuali adzan Shubuh yang kedua di hari yang ia wajib puasa padanya. Maka wajib baginya segera menghentikan jima’, pada kondisi ini.”

Ditambahkan, bagi orang yang berjima’ tidak harus mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin. Para ulama telah menetapkan makruhnya hal itu, mengiyaskan dengan orang yang sedang buang hajat.

Imam Al-Nawai rahimahullahu berkata di Syarh Muslim,


ويكره للقاعد على قضاء الحاجة أن يذكر الله تعالى بشيء من الاذكار فلا يسبح ولا يهلل ولا يرد السلام ولا يشمت العاطس ولا يحمد الله تعالى اذا عطس ولا يقول مثل ما يقول المؤذن. قالوا وكذلك لا يأتي بشيء من هذه الأذكار في حال الجماع، وإذا عطس في هذه الاحوال يحمد الله تعالى في نفسه ولا يحرك به لسانه. وهذا الذي ذكرناه من كراهة الذكر في حال البول والجماع هو كراهة تنزيه لا تحريم فلا إثم على فاعله
“Orang yang sedang duduk buang hajat makruh berdzikir kepada Allah dengan salah satu bacaan dzikir. Dia tidak boleh bertasbih, bertahllil, menjawab salam, mendoakan orang bersin. Dia tidak boleh memuji Allah Ta’ala apabila bersin dan tidak boleh mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin.

Para ulama berkata: begitu juga ia tidak boleh mengamalkan dzikir-dzikir ini saat jima’. Apabila ia bersin dalam kondisi-kondisi ini, ia memuji Allah Ta’ala (bertahmid) dalam hatinya dengan tidak menggerakkan lisannya. Ini yang kami sebutkan dari makruhnya berdzikir saat buang air kecil dan jima’. Ini adalah makruh tanzih, bukan tahrim. Tidak ada dosa bagi pelakunya.”

. . . bagi orang yang berjima’ tidak harus mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin. Para ulama telah menetapkan makruhnya hal itu . . .

Haruskan Berhenti untuk shalat Berjama’ah di Masjid?

Begitu juga orang yang sedang berjima’ tidak harus segera menghentikan jima’nya hanya untuk mendapatkan shalat jama’ah di masjid. Ini diqiyaskan dengan kondisi orang yang dihadapkan kepada makanan terhidang atau sedang makan.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,


لَا صَلَاة بِحَضْرَةِ طَعَام ، وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Janganlah seseorang shalat dekat dengan makanan terhidang dan jangan pula shalat sambil menahan buang air kecil dan besar. (HR. Muslim)

Imam Al-Nawawi Rahimahullah di Shahih Muslim berkata,



في هذه الأحاديث كراهة الصلاة بحضرة الطعام الذي يريد أكله لما فيه من اشتغال القلب به وذهاب كمال الخشوع، وكراهتها مع مدافعة الأخبثين وهما البول والغائط، ويلحق بهذا ما كان في معناه مما يشغل القلب ويذهب كمال الخشوع.
“Di dalam hadist-hadist ini ada kemakruhan shalat dengan makanan terhidang yang ia ingin menyantapnya, dikarenakan hatinya sibuk dengan makanan itu dan hilang kesempurnaan khusyu’. Dan dimakruhkan shalat sambil menahan dua kotoran, yaitu buang air besar dan buang air kecil. Masuk dalam makna ini, segala sesuai yang membuat hari tersibukkan dan hilang kesempurnaan khusyu’.”

“Kemakruhan ini, menurut jumhur ulama dari sahabat kami dan selainnya, apabila shalat tersebut di waktu lapang. Jika waktunya sempit, yang maksudnya kalau ia makan atau bersuci akan habis waktu shalat, maka ia shalat dengan kondisinya untuk menjaga kemuliaan waktu. Dan tidak boleh menundanya.” Tambahan dari pengarang Riyadhus Shalihin ini.

Imam Al-Munawi dalam Faidhul Qadir berkata, “dan di dalamnya untuk mendahulukan keutamaan hadirnya hati atas keutamaan awal waktu.”

Kondisi sedang berjima’ menjadi udzur untuk tidak mendatangi shalat berjama’ah. Bahkan makruh baginya memaksakan diri untuk ke masjid dengan “ngempet” syahwatnya.

Diterangkan dalam Hasyiyah Al-Raudh Al-Murbi’, milik Ibnu Al-Qasim Al-Najdi Rahimahullah,


وكذا إذا كان تائقا إلى شراب أو جماع، فيبدأ بما تاق إليه ولو فاتته الجماعة
“Dan begitu juga apabila ia ‘kebelet’ (sangat berkeinginan) minum atau jima’, maka ia mulai dengan apa yang sangat ia inginkan itu walau ia tertinggal jama’ah.”

. . . sedang berjima’ menjadi udzur untuk tidak mendatangi shalat berjama’ah. Bahkan makruh baginya memaksakan diri untuk ke masjid dengan “ngempet” syahwatnya . . .

Tentu ini dengan catatan, jika waktunya masih longgar sehingga ia bisa shalat tepat pada waktunya. 

Kedua, ia tidak jadikan itu sebagai kebiasaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin di Syarh Riyadush Shalihin saat menjelaskan hadist udzur mendatangi shalat berjama’ah karena terhidang makanan di atas, berkata:


ولكنه لا ينبغي أن يجعل ذلك عادة له بحيث لا يقدم عشاءه أو غداءه إلا عند إقامة الصلاة
“Tetapi ia tidak boleh menjadikan hal itu sebagai kebiasaan baginya, yaitu makan malam atau makan siang tidak dihidangkan kecuali saat ditegakkanya shalat.” Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]

Oleh: Badrul Tamam

Tidak ada komentar: