Bolehkah Menjamak Shalat karena Kemacetan Lalulintas?

Soal:
Kami tinggal di satu kota besar yang selalu mengalami kepadatan/kemacetan lalu lintas, hingga kadang seseorang terjebak dalam kemacetan selama berjam-jam sampai keluarnya waktu sholat. Maka apakah yang harus dilakukan? Dan jika dia merasa bahwa kemacetan ini akan berlangsung lama, apakah boleh baginya untuk menjamak (menggabungkan) 2 sholat dengan _jama' taqdim?

Jawab:

“Demi Allah, jika memang sangat padat/macet, misalnya kemacetannya mulai pukul 12.00 dan dia tidak dapat sampai ke tujuannya kecuali pukul 16.00 sementara dia tidak sanggup untuk melaksanakannya (dalam perjalanannya) maka ini adalah darurat.”

Jawaban Syaikh ‘Abdullah Al-Bukhary (pada waktu yang sama dengan waktu menjawab pertanyaan pertama di atas):

“Pada dasarnya semua sholat (lima waktu, pent) selayaknya dikerjakan pada waktu-waktunya. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابً مَوْقُوْتًا (النساء: ۱۰۳)
Artinya: “Sesungguhnya sholat itu adalah suatu yang telah ditetapkan waktunya bagi kaum mu’minin.” (Surah An-Nisaa’: 103)

Maka sholat itu wajib dikerjakan pada waktu-waktunya dengan bentuk/cara yang telah disyari’atkan. Sebagaimana yang dikatakannya bahwa penanya tinggal pada sebuah kota besar yang jalan-jalannya selalu macet sehingga boleh jadi seseorang berada dalam kemacetan dalam waktu yang sangat panjang hingga keluarnya waktu sholat. Sholat haruslah dikerjakan pada waktu-waktunya sebagaimana datang di dalam ayat yang telah kami sebutkan sebelumnya.

menjamak Shalat karena Kemacetan Lalulintas
sayangi.com
Dibangun di atas hal ini, maka jika kondisi seperti ini terjadi padanya, maka wajib baginya untuk melaksanakan sholat pada waktunya agar tidak keluar dari waktunya.

Hanya (pertanyaannya) apakah dia sholat di dalam mobil atau di luarnya? Yang benarnya adalah kalau dia sanggup untuk sholat di luar mobil maka itulah yang wajib baginya.

Jika dia tidak sanggup karena kemacetan lalu lintas sambung menyambung sehingga dia tidak mampu untuk keluar dan tidak mendapatkan tempat untuk sholat agar dia dapat menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka dibolehkan baginya dalam keadaan seperti ini untuk sholat di atas kendaraannya (mobilnya) dan disyaratkan menghadap kiblat pada permulaan takbiratul-ihram kemudian dia sholat sesuai dengan keadaannya (menghadap kemana saja, red) dimana ruku’-ruku’nya berbentuk isyarat atau agak merendah (membungkuk) dan sujudnya lebih rendah.

Hal tersebut berdasarkan hadits Ya’la bin Murrah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad At-Tirmidzi dan yang lainnya, dimana Ya’la bin Murrah menceritakan bahwa dia bersama Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan yang mereka ditimpa hujan dan tanah menjadi becek. Ketika datang waktu sholat Nabi memerintahkan muadzin untuk adzan. Maka adzanlah dia lalu qomat, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam sholat di atas kendaraannya.

Ya’la berrkata: Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam sholatnya dengan isyarat, dan sujudnya lebih rendah daripada ruku’nya. Tidak disebutkan padanya bahwa Nabishollallahu ‘alaihi wasallam menghadap kiblat.

 Menghadap kiblat (ketika takbiratul-ihram) adalah dalam rangka berhati-hati. Sebab hadits Ya’la dan hadits-hadits yang lain tidak ada padanya penyebutan menghadap kiblat. Kalau keadaannya seperti itu boleh baginya (untuk sholat di atas kendaraan seperti keadaan di atas,red) agar tidak keluar waktu sholat.

 Adapun jika dia mendapatkan tempat untuk sholat di luar mobil agar sempurna ruku’ dan sujudnya, maka inilah yang lebih utama. Dan inilah seharusnya yang dia lakukan.

Adapun perkataannya jika dia merasa bahwa kemacetan akan lama dan apakah boleh baginya untuk menjama’ dua sholat dengan jama’ taqdim. Maka jawabannya bahwa masalah ini tidaklah boleh bergantung pada perasaan. Di dalam ajaran agama kita ada waktu-waktu yang dibatasi berdasarkan syari’at. Ada awal waktu sholat, ada akhirnya, dan ada waktu lapang (luas) dan ada waktu yang sempit. Maka dia seharusnya bisa melihat dua jenis waktu ini…"

(Selanjutnya beliau berkata):
"Adapun sholat jama’ sebagaimana yang kalian ketahui tidak pernah dilakukan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam secara terus menerus. Pernah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjama’ sholat ketika berada di Madinah tanpa takut, tidak juga karena hujan, dan ketika Ibnu ‘Abbas (rowi haditsnya, pen.) ditanya sebabnya beliau mengatakan bahwa Nabi bermaksud agar ummatnya tidak punya haraj (artinya tidak salah kalau sewaktu-waktu menjama’ sholatnya tanpa adanya hujan, panas dan sebab-sebab yang lain,pen.). maksudnya bahwa sholat jama’ diperbolehkan pada waktu-waktu tertentu tatkala diperlukan atau munculnya sesuatu terhadapnya. Adapun kalau dijadikan kebiasaan (rutin tanpa udzur) maka ini tidaklah sesuai dengan sunnah.”

Jawaban Al-Mufti Al-’Aam Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh pada malam Jum’at 8 Sya’ban 1225H/29-9-2004:
(Dinukil dari Majalah An-Nashihah, vol. 08 tahun 1425H/2005M, hal. 2-3, untuk http://almuslimah.co.nr)

Tidak ada komentar: