Memetik Pelajaran Dari Kisah Karun (QS. Al Qashash: 76 – 83)

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
“Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78)

إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّة
“Sesungguhnya Karun adalah Termasuk kaum Musa, Maka ia Berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.”

Karun sebelumnya adalah pengikut Nabi Musa ‘alaihissalam yang beriman. Ia juga seorang pembaca Taurat yang bersuara indah. Mayoritas ahli tafsir menyebutkan Karun juga sepupu Nabi Musa ‘alaihissalam. Pada saat ia beriman, kondisinya miskin dan kekurangan. Namun tatkala Allah mengaruniakan kepadanya pundi-pundi kekayaan yang sangat banyak, ia pun menjadi kufur, berbuat aniaya dan sombong.

Dari sini kita dapat memetik pelajaran, bahwa keimanan harus senantiasa kita jaga dan pelihara, jangan sampai ia rusak atau hancur sehingga kita justru berbalik arah kepada kekafiran setelah kita beriman, wal ‘iyaadzu billah. Selalu waspada lah dari kesesatan, karena selama kita hidup, keimanan tidak bisa kita pastikan aman. Itu karena godaan dan ujian yang menguji keimanan kita akan senantiasa hadir merintangi perjalanan kita kepada Allah. Berdoa kepada Allah memohon keteguhan, menambah ilmu, bergaul dengan orang shaleh dan sabar adalah diantara cara yang bermanfaat untuk menjaga keimanan kita.

Manusia memang cenderung berbuat melampaui batas dan aniaya, khususnya tatkala ia merasa berkecukupan.

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى (6) أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena Dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al ‘Alaq: 6-7)

Oleh karena itu, kekayaan, kemapanan dan kecukupan secara khusus perlu untuk kita waspadai. Karena semua itu menyimpan potensi yang sangat besar menjerumuskan manusia ke lembah kenistaan dan menariknya kepada perbuatan menyimpang.

إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ
“(Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya:”

Tatkala terjadi perubahan pada diri Karun seperti itu, para sahabatnya berusaha menyadarkan Karun dan menasehatinya, mereka berharap agar Karun dapat kembali kepada keadaan sedia kala yang beriman dan rajin beramal shaleh. Para sahabatnya menunaikan kewajiban nasehat dan amar makruf nahi munkar sebagai salah satu pilar yang menopang ajegnya perilaku manusia.

Ada lima nasehat yang disampaikan oleh mereka kepada Karun. Nasehat ini juga penting untuk diresapi dan direnungkan oleh siapa pun, khususnya orang-orang yang sedang diuji oleh Allah dengan kecukupan harta.

Pertama,

لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ
“Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”

Mereka menasehati Karun agar tidak berbangga diri dengan harta kekayaan yang dimilikinya, karena Allah benar-benar tidak suka orang yang sombong. Allah bahkan tidak akan memasukkan orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sedikit. Kesombongan adalah kain atasan (ridaa) Allah dan keagungan adalah kain bawahan (izaar) Allah, siapapun yang mengambil salah satu dari keduanya dari Allah, maka Allah akan melemparkannya ke dalam neraka.

Kedua,

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ
“dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat.”

Mereka juga menasehati Karun agar ia mempergunakan karunia Allah berupa kekayaan itu untuk meraih kebahagiaan akhirat kelak, bukan semata-mata untuk kesenangan dunia saja. Harta kekayaan, selain memiliki daya tarik tersendiri yang kerap menjerumuskan manusia kepada sikap aniaya dan dosa, ia juga menyimpan potensi yang sangat besar menjadikan seorang hamba mulia dalam pandangan Allah, yaitu tatkala pemiliknya mempergunakan harta tersebut untuk kepentingan akhiratnya.

Ketiga,

وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.”

Allah tentu tidak mengharamkan Karun dan siapa saja yang memiliki harta kekayaan untuk menikmati karunia Allah tersebut selama dalam batas-batas yang dihalalkan. Harta itu boleh ia gunakan untuk kepentingan-kepentingan dunianya seperti makan, minum, tempat tinggal, kendaraan, pernikahan dan lain sebagainnya. Hidup layak dengan harta kekayaan yang Allah karuniakan sama sekali tidak menjadi masalah selama dalam batas-batas yang dihalalkan.

Keempat,

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu,”

Mereka menasehati Karun juga untuk berbuat baik kepada sesama dengan harta yang dimilikinya itu dengan cara menyisihkan sebagiannya untuk saudara-saudaranya, khususnya yang kekurangan, seraya mengingatkan bahwa harta yang dimilikinya itu juga adalah berkat kebaikan Allah kepadanya. Menjadi orang yang berharta tidak boleh egois, pelit dan kikir. Berzakat dan bersedekah sudah sepantasnya menjadi amalan orang berharta yang tidak boleh dilupakan.

Kelima,

وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Memetik Pelajaran Dari Kisah Karun
naweraklek.com
Terakhir, mereka juga menasehati Karun agar tidak mempergunakan hartanya itu justru untuk menimbulkan kerusakan di muka bumi dengan cara bermaksiat kepada Allah dengan fasilitas harta itu, mendukung kezaliman dan menyokong kebatilan. Harta pada hakikatnya milik Allah, maka manusia tidak diperkenankan menggunakan harta itu melainkan sesuai dengan keridhaan Pemilik sebenarnya, yaitu Allah azza wa jalla.

Mendengar nasehat itu, Karun justru bertambah sombong dan kufur nikmat. Ia mengatakan bahwa semua kekayaan yang didapatnya adalah hasil dari ilmu dan kepandaian yang dimilikinya. Karun telah kufur nikmat dan tidak bersyukur dengan cara menyandarkan kenikmatan yang diraihkan kepada dirinya sendiri, bukan kepada Allah.


قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
“Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.”

Karun tidak menyadari, bahwa Allah adalah Tuhan yang Mahakuasa. Begitu pun Allah berkuasa mengambil seluruh kekayaan yang dimilikinya, bahkan nyawanya sekali pun. Kesombongan memang muncul dari ketidaksadaran seorang manusia atas kekuasaan Allah, bahwa Allah Mahaberkehendak atas segala sesuatu, apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi. Manusia bukan pemilik kehidupan ini. Semua urusan manusia bergantung kepada Allah sang Khaliq. Oleh karena itu Allah mengingatkan,

أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
“dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.”

Suatu hari, Karun keluar bersama iring-iringan harta kekayaannya yang megah, lengkap dengan para pengawal dan pembantunya yang banyak.  Tujuannya untuk memamerkan kekayaannya tersebut. Orang-orang yang menyaksikan iring-iringan ini terbagi dua:

– Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia. Mereka berkata, “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. Ini lah sikap orang-orang bodoh dalam memandang harta, menyangka dunia adalah segala-galanya.

– Orang-orang yang berilmu. Mereka berkata kepada kelompok pertama, “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar.” Beginilah sikap dan pandangan orang yang berilmu, tidak melihat dunia sebagai tujuan hidupnya. Mereka mencari palaha yang jauh lebih besar dari sekadar kenikmatan dunia yang sedikit, terbatas dan sementara.

Bagaimana akhir dari lakon di Karun ini? Setelah semua berlalu dan Karun tetap pada kesombongannya, maka Allah menurunkan azab kepadanya. Allah membenamkan Karun beserta rumah dan kekayaannya ke dalam bumi. Tidak ada yang dapat menolongnya dan ia pun tidak dapat menolong dirinya sendiri. Begitulah jika Allah telah berkehendak menimpakan azab kepada seseorang, tidak ada yang dapat menyelamatkannya selain Allah saja dan ia pun tidak akan mampu menyelamatkan dirinya sendiri.

فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ
“Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan Tiadalah ia Termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).”

Tatkala azab Allah telah menimpa Karun, barulah orang-orang yang tadinya menginginkan harta kekayaan seperti Karun itu menyadari,

وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلَا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).”

Dan Allah pun mengingatkan,

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”

Mudah-mudahan kita dapat memetik pelajaran dari kisah Karun ini. Amin.

Oleh: Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa hafidzohulloh Rancabogo Subang
Sumber : https://sabilulilmi.wordpress.com

Tidak ada komentar: