ADAKAH ZAKAT PROFESI (sebaiknya anda baca agar tidak gagal paham)

Pada zaman sekarang ini, sebagian orang mengadakan zakat baru yang disebut dengan zakat profesi, yaitu bila seorang pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki gaji besar, maka ia diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau penghasilannya.

Orang-orang yang menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila seorang petani yang dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, maka seorang pegawai yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari hasil panen petani, tentunya lebih layak untuk dikenai kewajiban zakat. Berdasarkan qiyas ini, para penyeru zakat profesi mewajibkan seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan sebutan zakat profesi.
ADAKAH ZAKAT PROFESI

Bila pendapat ini dikaji dengan seksama, maka kita akan mendapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut secara sekilas bukti kejanggalan dan penyelewengan tersebut:

1. Zakat hasil pertanian adalah 1/10 (seper-sepuluh) hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan 1/20 (seper-duapuluh) bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 % sehingga Qiyas semacam ini merupakan Qiyas yang sangat aneh (ganjil) dan menyeleweng.

2. Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila dihukumi dengan hukum zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli dan standar nilai barang.

3. Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus. Keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa bukti yang menunjukkan hal itu

Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallâhu ‘anhu pernah menjalankan suatu tugas dari Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia pun diberi upah oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Pada awalnya, Sahabat ‘Umar Radhiyallâhu ‘anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah”. [Riwayat Muslim]

Seusai Sahabat Abu Bakar Radhiyallâhu’ anhu dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan beliau berjumpa dengan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallâhu ‘anhu, maka ‘Umar pun bertanya kepadanya: “Hendak kemanakah engkau?” Abu Bakar menjawab: “Ke pasar”. ‘Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukanmu?” Abu Bakar menjawab: “Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?” Umar pun menjawab: “Kita akan memberimu secukupmu”.[Riwayat Ibnu Sa’ad dan al-Baihaqi]

Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan pengakuan Sahabat Abu Bakar Radhiyallâhu ‘anhu tentang hal ini.

لَقَدْ عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ تَعْجِزُعَنْ مَؤُوْنَةِ أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسلِمِيْنَ فَسَيَأكُلُ آلُ أَبِيْ بَكْرٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَيَحتَرِفُ لِلْمُسْلِمِيْنَ فِيه
Sungguh, kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku. Sedangkan sekarang aku disibukkan oleh urusan kaum muslimin, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul-mâl), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka. [Riwayat Bukhâri]

Riwayat-riwayat ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukan sesuatu yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (1 tahun).

Oleh karena itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini. Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh, beliau berkata: “Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci, bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”[1]

Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, dan berikut ini fatwanya: “Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, sehingga tidak boleh ada Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.[2]

Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan** janji Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam berikut:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ منْ مَالٍ (رواه مسلم
Tidaklah shadaqah itu akan mengurangi harta kekayaan.[HR. Muslim]

Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawâb.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
___
Footnote
[1]. Maqalât al-Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa ar-Rasâ`il, 18/178.
[2]. Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, 9/281 fatwa no. 1360.

** Maksud renungan ustadz diatas, -wallohu 'alam-, adalah: "Bagi yang ingin beramal dengan hartanya, tetapi belum terkena kewajiban zakat, karena sisa gaji / harta yang tersimpan belum mencapai nishob atau belum memenuhi syarat haul (berlalu 1 tahun sejak tercapai nishob), maka silahkan berinfaq dan bershodaqoh. Karena infaq dan shodaqoh tidak hari memenuhi syarat ini, baik saat lapang maupun sempit dan besarnya pun bebas, tetapi sifatnya tidak wajib, sehingga tidak boleh mencela dan memaksa orang yang tidak melakukannya"

Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri MA, hafidzohulloh
Sumber: almanhaj

Tidak ada komentar: