Muhammad bin Abdul Wahhab, Perjuangannya Mendakwahkan Tauhid

Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sosok ulama reformis, memiliki ilmu yang dalam, dan pengaruh yang besar. Memang banyak suara sumbang memfitnahnyaa. Kita sadari, itulah sunnatullah, kebenaran selalu memiliki penentang. Tulisan ini sedikit menyuplikkan tentang perjalanan da’i reformis Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Mudah-mudahan dapat menggambarkan dan sedikit mengklarifikasi tuduhan fitnah yang disematkan padanya.

Kondisi Masyarakat di Zamannya

Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah sangat yakin luka dan sakit yang paling bahaya yang sedang diderita umat ini adalah penyakit syirik, menyekutukan Allah ﷻ. Sejak masa menuntut ilmu, ia telah menyaksikan banyak hal. Ia melihat bagaimana masyarakat meminta-minta di kubur Rasulullah ﷺ. Padahal hanya Allah ﷻ saja yang berhak untuk dipintai rezeki dan jalan keluar dari masalah.

عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Dari Atha bin Yasar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah berdoa: “Ya Allah janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala (tuhan yang disembah), besar murka Allah terhadap orang-orang yang menjadikan kubur-kubur nabi-nabi mereka sebagai masjid-masjid”. (HR. Malik, di dalam kitab Al-Muwaththa, no: 376).

Muhammad bin Abdul Wahhab

Meminta-minta di kubur Rasulullah ﷺ marak dilakukan kaum muslimin kala itu. Mereka jadikan kubur Nabi ﷺ sebagai tempat peribadatan. Mereka kira hal itu adalah cara mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Jika ini adalah keadaan di Madinah, lalu bagaimana dengan daerah selainnya? Kesyirikan telah menjadi tradisi dan budaya di Jazirah Arab.

Kesyirikan adalah penyakit berat. Penyakit yang melahirkan penyakit sosial lainnya. Akhlak islami terkikis, solidaritas kemasyarakatan menjadi luntur, dan politik menjadi lemah. Akibat kesyirikan pula, masyarakat sangat jauh dari penerapan hukum Islam. Kabilah-kabilah saling bertikai dan bermusuhan. Yang kuat memakan yang lemah. Dan angka kemiskinan terus bertambah. Begitulah kondisi masyarakat di masa Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah hidup.

Keadaan ini membangkitkan motivasi Muhammad bin Abdul Wahhab untuk menyeru masyarakat kepada jalan yang benar. Jalan tauhid. Jalan dakwahnya para nabi dan rasul. Ia memulai dakwahnya di Kota Basrah –salah satu kota tempatnya menuntut ilmu-. Di Basrah, ia menyaksikan hal yang sama dengan di Madinah.

Muhammad bin Abdul Wahhab berusaha berdakwah dengan bersandar pada Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ. Dengan tekat dan semangat. Dengan segala sarana dan metode yang ia mampui. Namun pengagungan kubur di Basrah begitu mengakar. Kebiasaan itu sudah dianggap sebagai kebenaran. Sehingga sulit membiasakan yang benar. Ia pun diusir dari kota itu.

Kemudian ia pindah ke kota kelahirannya, Huraimila. Di sana dakwahnya juga tidak diterima. Hukum mayoritas kembali diberlakukan. Ia pun minggir dari Huraimila.

Kota berikutnya yang menjadi tujuan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah Uyainah. Awalnya, pemimpin Uyainah menerima dakwah tauhid yang dibawa oleh Syaikh Muhammad. Tapi akhirnya penguasa Uyainah mendapat tekanan dan dipaksa mengusir sang imam. Atas permintaan penguasa Uyainah, Syaikh Muhammad harus hijrah.

Membersihkan Kesyirikan

Memberantas kesyirikan adalah prioritas utama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Perjuangan itu beliau praktikkan di masyarakat Uyainah dan Dir’iyah. Perjuangan seperti apa yang ia lakukan?

Syaikh Muhammad meratakan kuburan yang dipugar tinggi dan besar. Yang penghuni kuburnya, dipintai selain Allah ﷻ. Di antaranya kubur Zaid bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu di Jubailah. Usaha lainnya adalah menebang pohon yang dikeramatkan. Pohon keramat yang diyakini sebagai lantaran jodoh bagi perempuan yang belum menikah dan sebagai ‘pengasih’ anak bagi mereka yang mandul.

Pelajaran bagi kita, kesyirikan adalah keniscayaan. Walaupun zaman sudah modern. Hanya saja model dan sampulnya yang berbeda. Di zaman sekarang, orang meyakini gembok di jembatan untuk melanggengkan hubungan. Melewati pohon alun-alun selatan tanda kesuksesan. Lempar koin di kolam akan demikian dan demikian. Dll.

Setelah melakukan pemusnahan tempat kemaksiatan, Muhammad bin Abdul Wahhab membangun program berkelanjutan. Tidak hanya menghilangkan sarana dosa syirik, ia juga melakukan pendekatan persuasif. Yaitu melalui pendidikan dan ta’lim. Agar masyarakat mendapat pemahaman yang benar dan utuh tentang Islam. Kemudian menggantungkan diri hanya kepada Allah ﷻ semata.

Sang reformis juga melakukan pendekatan kepada para tokoh agama. Ia menyurati para ulama dan cendekia di penjuru dunia Islam. Agar tercipta perbaikan menyeluruh demi kepentingan bersama (Abdul Halim al-Jundy dalam Intishar al-Manhaj as-Salafi, Hal: 98).

Banyak yang menuduh Muhammad bin Abdul Wahhab melarang ziarah kubur, padahal yang dia larang adalah meminta-minta di kuburan dan mengagungkan penghuninya. Ia juga dituduh berdakwah dengan tangan dan kuasa. Padahal ia juga mengadakan pendidikan kepada masyarakat awam. Dan memuliakan ulama dengan cara surat-menyurat, bukan menggurui.

Alquran dan Sunnah Menata Dunia dan Akhirat

Seruan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak hanya terbatas pada tauhid dan akidah saja. Tapi ia berusah mendakwahkan agama secara utuh. Ajaran dan pemikirannya tampak jelas pada risalah-risalahnya. Ia berkata, “Kuberitahukan kepada Anda sekalian. Sesungguhnya aku –alhamdulillah- berakidah dan beragama dengan agama Allah di atas madzhab Ahlussunnah wal Jamaah. Yang sama seperti para imam kaum muslimin. Seperti imam (madzhab) yang empat dan para pengikutnya hingga hari kiamat… …Aku mengajarkan agar menegakkan shalat dan membayar zakat serta hal-hal lain yang telah Allah wajibkan. Aku melarang transaksi riba dan mengonsumsi yang memabukkan. Serta kemungkaran-kemungkaran lainnya (ar-Rasa-il asy-Syakhshiyah Mathbu’ Dhimni Muallafatihi, 6/36).

Dalam tulisannya yang lain, Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah kembali mengungkapkan pemikirannya, “Saya mengajak manusia menegakkan shalat berjamaah dengan tata caya yang sesuai syariat. Mengeluarkan zakat. Berpuasa di bulan Ramadhan. Dan berhaji ke Baitullah al-Haram. Saya juga menyeru kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS:Al-Hajj | Ayat: 41).

Inilah akidah dan agama kami. Barangsiapa yang mengamalkan hal itu, maka mereka saudara kami. Apa yang menjadi hak mereka juga hak kami. Dan kewajiban mereka juga sama dengan kewajiban kami. Kami juga berkeyakinan bahwa umat Muhammad ﷺ yang mengikuti sunnah beliau, tidak akan bersatu dalam kesesatan. Dan akan senantiasa ada, sekelompok dari umat beliau ﷺ, orang-orang yang berpegang teguh pada kebenaran. Mereka mendapat pertolongan. Tidak memudharatkan mereka, orang yang (hendak) merendahkan mereka. Atau orang yang menyelisihi mereka. Hingga datang keputusan Allah, dan mereka tetap dalam kebenaran itu (ar-Rasa-il asy-Syakhshiyah Mathbu’ Dhimni Muallafatihi, 6/115).

Apa yang dinyatakan Muhammad bin Abdul Wahhab di atas, menyanggah tuduhan orang-orang yang mengatakan bahwa beliau mengkafirkan kaum muslimin. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan orang yang shalat dan zakat, dll. adalah saudara seiman. Hak dan kewajibannya sama. Orang-orang yang membenci dakwahnya terkadang mengutip ucapannya tidak secara utuh. Atau dipahami secara parsial (sebagian). Untuk memuaskan sangka dan mengokohkan kebencian.

Muhammad bin Abdul Wahhab menyerukan agar umat menjadikan Alquran sebagai kunci kebahagiaan. Ia menyerukan agar umat Islam berhukum dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ. Agar umat Islam dapat merasakan kebahagiaan di dunia dan memetik buah pahala di akhirat. “Nasihat dan pengetahuan dariapa yang ada dalam Kitab Allah untuk permasalahan politik. Karena kebanyakan manusia membuangnya”, kata Muhammad bin Abdul Wahhab (ar-Rasa-il asy-Syakhshiyah Mathbu’ Dhimni Muallafatihi, 6/252).

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com

Tidak ada komentar: