Dr Syamsuddin: Bolehkah Kita Memilih Pemimpin Kafir?

MENJELANG pemilihan kepala daerah alias pilkada tahun depan, muncul keresahan di masyarakat akibat simpang-siur pendapat mengenai boleh tidaknya umat Islam mendukung calon bupati, walikota, atau gubernur non-Muslim. Dikutiplah ayat al-Qur’an surat al-Māʾidah ayat 51 (“Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali-mu”) dan surat an-Nisāʾ ayat 144 (“Janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai wali-wali, seraya meninggalkan orang-orang beriman”).

Menurut seorang ‘kyai’, dua ayat ini telah diterjemahkan keliru oleh tim ahli Departemen Agama dan disalahpahami karena konteks asbabun nuzul dan penjelasan tafsir klasik, semisal aṭ-Ṭabarī dan Ibn Katsīr, tidak menunjukkan kata “awliyāʾ” dalam ayat di atas bermakna pemimpin, tapi semacam sekutu atau aliansi.
Dr Syamsuddin: Bolehkah Kita Memilih Pemimpin Kafir?

Jadi sang ‘kyai’ ini menarik kesimpulan yang dilarang itu bersekutu dan beraliansi dengan orang kafir, bukan mengangkat mereka sebagai pemimpin. Maka, “Kalau ada orang yang adil (mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan), kita dukung meskipun dia bukan Muslim dan Allah akan menolong orang yang adil tersebut,” tulisnya. Ia pun mengutip sebuah “riwayat” dari Ibnu Taymiyyah bahwa “Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin”. Mari kita teliti satu per satu pendapat ‘kyai’ ini.
* *

Pertama, soal makna kalimat “jangan kalian jadikan orang-orang kafir itu awliyāʾ.” Memang benar, Ibn Katsīr mengartikannya sebagai berteman, berkawan, atau bersekutu (teks aslinya: 

يَنْهَى اللهُ تَعَالَى عِبَادَهُ الْمُؤْمِنِينَ عَنِ اتِّخَاذِ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي مُصَاحَبَتَهُمْ وَمُصَادَقَتَهُمْ وَمُنَاصَحَتَهُمْ وَإِسْرَارَ الْمَوَدَّةِ إِلَيْهِمْ وَإِفْشَاءَ أَحْوَالِ الْمُؤْمِنِينَ الْبَاطِنَةِ إِلَيْهِمْ). 

Lalu apa artinya bersekutu? Dalam hubungan antara bangsa, kalau Inggris dikatakan menjadi ‘sekutu’ Amerika Serikat maka artinya mereka memiliki ikatan persahabatan dan kesepakatan untuk bekerja sama, saling mendukung, saling membela, dan sebagainya. Sama halnya bersekutu dalam politik.

Menurut Fakhruddīn ar-Rāzī dalam tafsirnya, menjadikan orang-orang kafir sebagai ‘sekutu’ (muwālāt al-kāfir) mengandung tiga pengertian.

Pertama, meridhoi kekufuran mereka, dan ini jelas dilarang, karena merestui kekufuran itu kufur (ar-riḍā bil kufri kufrun).

Kedua, bergaul dengan mereka secara baik (al-muʿāsyarah al-jamīlah) di dunia sesuai kenyataan, dan ini tidak dilarang.

Ketiga, berpihak atau condong kepada mereka (ar-rukūn ilayhim), mengulurkan bantuan (al-maʿūnah), mendukung mereka (al-muẓāharah), dan membela kepentingan mereka (an-nuṣrah), dan ini tindakan pun dilarang (manhiyyun ʿanhu), kendati tidak membuat pelakunya kafir (Lihat: at-Tafsīr al-Kabīr, juz 7, jilid 3, cet. Dār al-Fikr Beirut 1425/2005, hlm.1603-1604).

Dan memang secara linguistik, menjadikan mereka sebagai awliyāʾ atau wali-wali itu berarti dua hal: yaitu, memberikan dukungan dan pembelaan jika lafaznya dibaca walāyah (dengan fathah), dan menyerahkan mandat atau memberi kekuasaan jika lafaznya dibaca wilāyah (dengan kasrah). Demikian menurut ar-Rāghib al-Iṣfahāni dalam kitab Mufradāt Alfāẓ al-Qurʾān (ed. Ṣafwān ʿAdnān Dāwūdī, cet. Dār al-Qalam Damaskus, 1412/1992, hlm. 885). Maka secara politis dan geografis, muwālatul kuffār tidak hanya berarti menjalin kerjasama atau beraliansi, tetapi juga menyerahkan “wilayah” kita kepada orang kafir.

Sang ‘kyai’ agaknya lupa pelajaran uṣūl fiqhnya, bahwa ada yang dinamakan qiyās al-awlā atau inferensi a fortiori (istilah logikanya). Kealpaan ini bisa berakibat fatal umpamanya jika anda menyimpulkan bahwa boleh saja seseorang memaki orangtuanya dengan menyebut kata (maaf. Red) “anjing!” karena di dalam al-Qur’an (17:23) yang dilarang itu melontarkan kata “ah!” (terjemahan Departemen Agama untuk kata “uff”) dan bukan “kalb”. 

Para mufassir seperti Abū Ḥayyān al-Andalusī dan as-Syawkānī menerangkan bahwa kata “uff” mengekspresikan “aku bosan!”, “aku muak!”, “aku nggak mau”, dan sebagainya. Kalau berkata-kata seperti itu saja dilarang, apatah lagi berkata “anjing” dan sejenisnya. Begitu pula kepada orang-orang kafir, kalau bersekutu saja dilarang, maka lebih dilarang lagi mengangkat mereka jadi pemimpin. Kalau beraliansi saja sudah dilarang, apatah lagi memberikan kekuasaan kepada mereka.
mending pemimpin muslim jujur dari pada kafir zalim
*
Kedua, bahwa umat Islam tidak boleh memilih orang kafir sebagai pemimpin sesungguhnya telah ditegaskan oleh para ulama. Imam an-Nawawī, seorang pentolan mazhab Syāfiʿī yang diakui otoritasnya sebagai ahli fiqih dan ahli hadits sekaligus, dengan sangat eksplisit menyatakan dalam kitabnya bahwa syarat-syarat menjadi pemimpin (syurūṭ al-imāmah) itu mestilah akil baligh (kawnuhu mukallafan), orang Islam (musliman), adil, merdeka (bukan budak), laki-laki, berilmu (ʿāliman), berijtihad (mujtahidan), pemberani, mempunyai visi dan kompetensi (dzā raʾyin wa kafāʾah), dan sehat pendengaran maupun penglihatan (Lihat: Rawḍat aṭ-Ṭālibīn, ed. Syeikh ʿĀdil Aḥmad ʿAbdul Mawjūd dan ʿAlī Muḥammad Muʿawwaḍ, cet. Dār ʿĀlam al-Kutub, Riyadh 1423/2003, jilid 7, hlm. 262).

Pernyataan senada akan kita temukan dalam literatur fiqih rujukan di kalangan Nahdlatul Ulama seperti kitab al-Iqnāʿ fī ḥalli alfāẓ Abī Syujāʿ karya al-Khaṭīb as-Syarbīnī (cet. Muṣṭafā al-Bāb al-Ḥalabī Kairo, 1359/1940, juz 2, hlm. 246).

Pun secara historis, Rasūlullāh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah menunjuk orang kafir (walaupun mereka itu warganegara Madinah) sebagai gubernur (dulu istilahnya ‘āmil dan wālī) ataupun panglima (amīr). Demikian juga para khulafāʾ sesudahnya dari Sayyidina Abu Bakar hingga zaman Ottoman (Usmaniyyah) tidak pernah seorang pun mengangkat orang kafir sebagai gubernur atau panglima militer –sama halnya penguasa Singapura tidak membenarkan orang Melayu warganegara itu memegang tampuk kekuasaan apalagi dalam ketentaraan.

Sepanjang sejarah Islam, orang-orang non-Muslim memang dijamin keselamatannya dan dilindungi hak-haknya sebagai warganegara karena mereka itu ahlu dzimmah, kecuali jika mereka berkhianat atau melanggar perjanjian.
*

Ketiga, sang ‘kyai’ berfatwa: “Kalau ada orang yang adil (mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan), kita dukung meskipun dia bukan muslim, dan Allah akan menolong orang yang adil tersebut”. Lagi-lagi ‘kyai’ ini lupa atau pura-pura lupa bahwa syarat keislaman mendahului syarat keadilan, sebagaimana syarat keimanan mendahului syarat kecantikan (dalam soal pernikahan, dimana Allah berfirman: “Sesungguhnya seorang budak wanita yang beriman itu lebih baik [untuk dinikahi] daripada wanita musyrik [yang cantik] betapa pun kalian mengaguminya” QS al-Baqarah 221).

‘Kyai’ itu juga perlu mengaji lagi kitab Ghiyāts al-Umam fī ʾltiyāts aẓ-Ẓulam karya Imām al-Ḥaramayn Abū ’l-Maʿālī al-Juwaynī yang dengan tegas mengatakan bahwa orang kafir tidak boleh sama sekali ikut campur dalam urusan pemilihan kepala daerah atau negara: “wa lā madkhala li-ahli dz-dzimmah fī naṣbi ’l-aʾimmah” (ed. ʿAbd al-ʿAẓīm ad-Dīb, cet. al-Maktabāt al-Kubrā Kairo, 1401/1981, hlm. 62).
*

Di kalangan orang Betawi, kerancuan berpikir semacam ini disebut ‘logika mendingan’. Contoh yang sering kita dengar pertanyaan maupun pernyataan begini: Mendingan mana, orang Islam tapi pelit atau orang kafir tapi dermawan? Mendingan mana, berkerudung tapi akhlaknya buruk atau tidak berkerudung tapi akhlaknya baik? 

Mendingan mana, pemimpin Muslim tapi nggak adil atau pemimpin kafir tapi adil? Kalau berbentuk pernyataan: Daripada elu sedekah tapi kagak ikhlas, mendingan gua kagak sedekah tapi ikhlas (!?) Daripada elu shalat tapi kagak khusyu’, mendingan gua kagak shalat tapi khusyu’ (!?) Daripada elu Islam tapi korupsi mendingan gua kafir kagak korupsi (!?). Di balik ucapan-ucapan ini terselip ketidakmengertian yang akut.

Sudah barang tentu, orang Islam lebih baik dari orang kafir walaupun ia pelit. Dan orang Islam yang dermawan lebih baik dari orang Islam yang pelit. Orang kafir yang dermawan jelas lebih buruk daripada orang Islam yang tidak dermawan. Namun, keislaman seseorang tetap lebih tinggi daripada kedermawanan, kebaikan, dan keadilan. 

Hal ini karena keimanan dan keislaman itu esensi, sementara yang lain itu aksesori. Mementingkan aksesori ketimbang esensi itu sama seperti orang membeli mobil lengkap dengan sistem pendingin udara, media player, spoiler, parking sensor, dan sebagainya, tapi tidak ada mesin dan rodanya. Mesin dan roda itu esensi, sedang yang lain-lain itu aksesori. Demikian analoginya.

Pernyataan di atas juga tidak didukung oleh fakta dan data. Orang kafir yang korupsi (membawa kabur uang negara ke luar negeri) tidak sedikit, penguasa kafir yang zalim pun banyak, orang kafir yang pelit ada di mana-mana. Begitu pula orang Islam yang tidak korupsi jauh lebih banyak daripada yang korupsi. Pemimpin Muslim yang baik dan adil pun tidak sedikit. Dan orang-orang Islam yang dermawan juga banyak sekali.

Lalu, bagaimana Anda bisa khusyu’ padahal Anda tidak shalat? Bagaimana Anda bisa ikhlas tanpa bersedekah? Bagaimana Anda bisa adil padahal Anda kafir? Ini artinya, persoalan khusyu’ itu hanya relevan untuk orang yang shalat. Persoalan ikhlas itu berlaku bagi orang yang bersedekah. Begitu pula persoalan adil itu berlaku bagi pemimpin yang beragama Islam. 

Orang kafir tidak adil kepada Allah, tidak adil kepada dirinya sendiri, dan karenanya tidak layak disebut adil dalam arti yang sesungguhnya. Karena makna adil itu memenuhi hak siapapun. Dan orang kafir itu tidak memenuhi hak Allah, dan tidak memenuhi hak dirinya sebagai hamba Allah.

Perintah berbuat adil dalam al-Qur’an selalu ditujukan kepada orang beriman (yā ayyuha’l-ladzīna āmanū). Dalam konteks pelimpahan wewenang peradilan dan pemerintahan, sebagaimana dijelaskan oleh as-Sayyid al-Bakrī bin as-Sayyid Muḥammad Syaṭāʾ ad-Damyāṭī, yang dimaksud dengan “adil” menurut Syarīʿah ialah kemampuan diri seseorang [pemangku jabatan] untuk tidak melakukan dosa-dosa besar maupun tindakan-tindakan biasa yang bisa menjatuhkan reputasinya (Lihat: Iʿānatu ’ṭ-Ṭālibīn ʿalā Fatḥi ’l-Muʿīn, cet. al-Maʿārif Bandung, t.t., hlm.211-212). Ini berarti yang bersangkutan mestilah seorang muslim yang beriman.
*
Keempat, sang ‘kyai’ menukil sebuah riwayat dari Ibnu Taymiyyah bahwa “Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin”(dalam Majmūʿ Fatāwā, cet. Riyadh 1416/1995, jilid 28, hlm. 62-63). Tidak seperti biasanya, Ibn Taymiyyah tidak menyebut sumber perkataan ini, tidak juga menjelaskan apakah ini hadits Nabi atau bukan. Beliau hanya mengatakan “yurwā”, yang maksudnya ‘diriwayatkan’, tanpa keterangan lebih lanjut riwayat tersebut oleh siapa, dari siapa, dan bagaimana statusnya menurut para ahli riwayat.

Oleh karenanya, kita punya tiga pilihan. Pertama, menolak riwayat yang tidak jelas juntrungannya itu, karena bukan fiman Tuhan dan bukan pula sabda Kanjeng Nabi. Kedua, menerima maksud riwayat tersebut yang menganjurkan keadilan dan mengecam kezaliman, tanpa mempedulikan asal-usul maupun otentisitasnya. Ketiga, memahami inti pesan dari riwayat tersebut bahwa merupakan ketentuan Allah (sunnatullāh) yang berlaku universal kapanpun dan dimanapun pemerintah yang adil akan langgeng dan penguasa yang zalim akan jatuh, meskipun kita semua tahu bahwa kekuasaan (al-mulk) itu milik Allah semata, yang bisa diberikan kepada siapapun dan dicabut dari siapapun (yuʾtī ’l-mulk man yasyāʾwa yanziʿu ’l-mulk mimman yasyāʾ).

Allah berikan kekuasaan kepada Firʿaun yang angkuh, kejam, dan kufur, dan Allah jua yang mencabutnya tanpa ampun. Sebaliknya, suatu negeri sekali-kali tidak akan dibinasakan oleh Allah secara zalim, selagi penduduknya masih melakukan perbaikan (al-Qur’an surah Hūd ayat 117: 

وَمَا ڪَانَ رَبُّكَ لِيُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ بِظُلۡمٍ۬ وَأَهۡلُهَا مُصۡلِحُونَ).

Kelima, bagi umat Islam, baik pilkada maupun pilkara (pemilihan kepala negara) bukan semata-mata urusan politik, akan tetapi urusan agama. Itulah sebabnya, masalah kepemimpinan politik dibahas dalam kitab-kitab ʿaqāʾid dan ilmu uṣūluddīn. Sebutlah misalnya kitab ʿaqā’id an-Nasafī yang telah disalin dan diterjemahkan di kerajaan Aceh pada akhir abad ke-16 (sekitar tahun 1590 Masehi).

Dinyatakan pada paragraf sebelum akhir bahwa umat Islam wajib mempunyai pemimpin yang tugasnya menegakkan syariat, membangun banteng pertahanan, menyiapkan tentara, mengumpulkan zakat, menjaga keamanan dan ketertiban dengan memberantas para penjahat, pencuri dan perampok, menyelenggarakan ibadah Jumat, merayakan hari-hari besar Islam, menyelesaikan sengketa di masyarakat, mengurus sistem peradilan dan sebagainya.

Dan persis di sinilah letak perbedaan antara paradigma Islam dengan paradigma sekular. Dalam paradigma sekular, urusan politik tidak ada hubungannya dengan agama, karena agama itu soal ibadah, shalat, zakat, puasa, haji, umrah dan sebagainya. Sementara dalam kerangka Islamic worldview, agama tanpa politik itu lemah, dan politik tanpa agama itu lengah.

Dan tujuan pilkada maupun pilkara bagi umat Islam adalah agar si pemimpin memperbaiki kualitas agama masyarakat dan memperbaiki urusan-urusan dunia yang tanpanya agama tidak mungkin ditegakkan. Demikian ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah dalam kitab as-Siyāsah as-Syarʿiyyah fī iṣlāhi r-rāʿī wa r-raʿiyyah (cet. Dār al-Jīl Beirut 1413/1993, hlm. 37): 

المقصودُ الواجبُ بالولايات إِصْلاَحُ دِيْنِ الْخَلْقِ … وَإصْلاَحُ مَا لاَ يَقُومُ الدِّيْنُ إلاَّ بهِ مِنْ أَمرِ دُنْياَهُمْ)). 

Wallāhu ’l-hādī ilā sawāʾi ṭ-ṭarīq wa bihi ’l-quwwah wa t-tawfīq.

Oleh: Dr Syamsuddin Arif
Penulis adalah Direktur Eksekutif INSISTS
Rep: Admin Hidcom Editor: Muh. Abdus Syakur
hidayatullah

Tidak ada komentar: