RAEHANUL BAHRAEN: Larangan Mencabut Uban (Syariat dan Medis)

Kami teringat perkataan orang terdahulu mengenai filosofi uban :
“Jangan dicabut nak, itu peringatan agar kalian mulai meninggalkan dunia hitam baik banyak maupun sedkit”

Ternyata dalam syariat ada larangan mencabut uban dan dari sisi medis dianjurkan agar mencabut uban jangan menjadi kebiasaan karena berpengaruh terhadap kesehatan.
RAEHANUL BAHRAEN: Larangan Mencabut Uban (Syariat dan Medis)

Telah disebutkan juga dalam Al-Quran bahwa uban adalah fase kehidupan yang akan dilewati oleh manusia. Dan bisa jadi uban adalah salah satu bentuk peringatan bahwa usianya sudah tidak muda lagi dan sebentar lagi akan menghadap Allah, agar segera berbenah menyiapkan bekal akhirat.

Allah Ta’ala berfirman :

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat,kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
(QS. Ar Ruum: 54)

Larangan mencabut uban dalam Islam

Hal ini berlaku baik orang tua maupun yang masih muda karena keumuman berbagai dal il.

Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan larangan mencabut uban. Baik sudah tua maupun masih muda.

Di antaranya :

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

لا تنتفوا الشيب فإنه نور يوم القيامة ومن شاب شيبة في الإسلام كتب له بها حسنة وحط عنه بها خطيئة ورفع له بها درجة
“Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat. Siapa yang memiliki sehelai uban dalam Islam (dia muslim), maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.”[1]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَتْ نُورًا لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدَ ذَلِكَ فَإِنَّ رِجَالًا يَنْتِفُونَ الشَّيْبَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ فَلْيَنْتِفْ نُورَهُ
“Barangsiapa memiliki sehelai uban di jalan Allah (dia muslim), maka uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.” Kemudian ada seseorang yang berkata ketika disebutkan hal ini: “Orang-orang pada mencabut ubannya.” Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Siapa saja yang mau, silahkan dia hilangkan cahayanya (baginya di hari kiamat).”[2]

Anjuran medis agar tidak mencabut uban

Secara medis uban tidak bisa diobati, karena banyak yang mengambil jalan pintas agar mencabutnya. Kebiasaan mencabut uban bisa berdampak negatif bagi kesehatan. Yaitu bisa membuat kerusakan pada folikel rambut dan saraf sekitar rambut, dapat juga menyebabkan infeksi pada bekas cabutan. Apalagi uban yang dicabut dalam jumlah yang cukup banyak dan sering.Selain itu seringnya mencabut uban akan menggangu pertumbuhan rambut. Dari jumlah rambut akan berkurang sedikit demi sedikit. Kebiasaan mencabut juga akan mengganggu sinyal saraf yang memproduksi warna rambut sehingga pertumbuhan dan warna rambut akan terganggu. Karena jumlah rambut terus berkurang dan uban bisa jadi tetap jumlahnya.

Hukum mencabut uban

Hukum mencabut uban di rambut adalah makruh sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi rahimahullah :


” يُكْرَهُ نَتْفُ الشَّيْبِ ، لِحَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ ، فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ) حَدِيثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَغَيْرُهُمْ بِأَسَانِيدَ
“Dimakruhkan mencabut uban, sebagaimana dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat.”[3]

Akan tetapi perlu dirinci hukumnya, karena uban yang dilarang dicabut yaitu uban yang ada di wajah juga meliputi jenggot, jambang dan kumis.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


لعن الله الربا و آكله و موكله و كاتبه و شاهده و هم يعلمون و الواصلة و المستوصلة و الواشمة و المستوشمة و النامصة و المتنمصة
“Allah melaknat riba, pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkannya (nasabah), orang yang mencatatnya (sekretaris) dan yang menjadi saksi dalam keadaan mereka mengetahui (bahwa itu riba). Allah juga melaknat orang yang menyambung rambut dan yang meminta disambungkan rambut, orang yang mentato dan yang meminta ditato, begitu pula orang yang mencabut rambut pada wajah dan yang meminta dicabut.”[4]

Syaikh Al-Mubarakfuri rahimahullah berkata :

نهى عن نتف الشيب : أي الشعر الأبيض من اللحية أو الرأس
“Larangan mencabut uban yaitu rambut putih pada jenggot (jambang) dan rambut kepala.”[5]

Haram mencabut uban pada jenggot

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya :

ما حكم نتف الشيب من الرأس واللحية ؟
Apa Hukum mencabut uban pada rambut kepala dan jenggot?

Beliau menjawab :


فأجاب: أما من اللحية أو شعر الوجه فإنه حرام؛ لأن هذا من النمص، فإن النمص نتف شعر الوجه واللحية منه ، وقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه لعن النامصة والمتنمصة…أما إذا كان النتف من شعر الرأس فلا يصل إلى درجة التحريم لأنه ليس من النمص” انتهى
“Adapun pada jenggot atau rambut pada wajah, maka hukumnya haram karena termasuk dalam “Namsh” (mencabut yang dilarang). Karena terdapat hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencabut rambut wajah dan meminta dicabutkan.Adapun mencabut uban pada rambut kepala maka tidak sampai pada derajat haram karena tidak termasuk Namsh.”[6]

Demikian semoga bermanfaat

@Perpustakaan FK UGM,  Yogyakarta Tercinta

Penyusun :  dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

[1]HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 2985. Sanad hadis dinilai hasan oleh Syu’aib Al-Arnauth
[2] HR. Ahmad 23952, Hadis ini dihasankan al-Albani dalam Silsilah as-Shahihah, 3371
[3] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab 1/344
[4] Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan bahwa hadits ini shahih
[5] Tuhfatul Ahwadzi 7/238
[6] Majmu’ Fatawa 11/123

Tidak ada komentar: