so sweet, tak kusangka si LELAKI BERCELANA "GANTUNG" tersebut suamiku

Dulu, lelaki itu sering kulihat menyusuri trotoar dengan langkah kaki yang cepat.
Tanpa menoleh kiri kanan sedikit pun. Celananya yang "nggantung", menarik perhatian orang yang melihatnya, termasuk aku. Aneh dan nyentrik.
si LELAKI BERCELANA "GANTUNG" tersebut suamiku

Sengaja, aku sering memperhatikannya saat lewat. Kebetulan, tempat kerjaku di seberang jalan yang sering dilaluinya.

Dan yang lebih membuat aneh, ia seolah tak terusik oleh hiruk-pikuk aneka hiburan dan keramaian di sekelilingnya, ataupun gadis-gadis yang berlalu lalang dengan segala gaya.

Ia justru kulihat sering menunduk saat berjalan. Dasar laki-laki bodoh pikirku, ia melewatkan aneka hiburan gratis begitu saja. Dan bisa dipastikan, langkah kaki lelaki itu berakhir di masjid yang memang terletak di depan tempat kerjaku.

Ya, ia memang selalu lewat saat jam-jam waktu shalat. Aku hafal di luar kepala, selebihnya aku tak pernah berfikir tentang lelaki itu.

Alhamdulillah, hidayah Allah berpihak padaku, sekian tahun di tempat kerja yang lama, aku ditawari teman di tempat lain.

Dan di sana, setiap karyawan wanita wajib berjilbab. Aku memang muslim, tapi soal jilbab, ini benar-benar baru untukku. Bisa dibilang, aku dan keluargaku yang lain tak pernah berjilbab.

Memang, awalnya aku berjilbab karena peraturan di tempat kerja. Namun, seiring waktu aku merasa sayang bila melepasnya, meski saat itu kerudungku masih kecil. Ada rasa malu dan tak pede tanpa kerudung.

Aku mengenal jilbab dan Islam lebih jauh lewat buku. Alhamdulillah buku-buku itu banyak di jual di tempat kerja. Dari teman pula, aku ikut ngaji di Ikatan Remaja Masjid. Sejak itu, aku menjauh dari dunia hura-hura.

Di luar kerja aku menyibukkan diri dengan belajar mengaji dan taklim. Sekali lagi, Allah menunjukkan sayangnya padaku. Saat pulang taklim disebuah IRM, aku melihat lelaki dengan celana "gantung" itu lagi, setelah sekian lama tak melihatnya semenjak pindah kerja.

Rasa penasaranku muncul lagi. Iseng-iseng kuikuti laki-laki itu, ternyata ia masuk ke sebuah masjid. Disana kulihat banyak laki-laki yang "sejenis" dengannya. Tanpa pikir panjang, aku masuk ke masjid.

Astaghfirullah ternyata semuanya laki-laki, tak seorang pun wanita di sana.
Berbeda dengan taklim di IRM, pria wanita jadi satu.

"Tempat wanita disebelah sana, Mbak! Dibalik tirai itu", seorang laki-laki berbaik hati memberitahuku.

Maluku terobati. Terlanjur basah, aku yang semula tak berniat ngaji, masuk ke ruang yang ditunjuk. Awalnya aku malu banyak orang bercadar dan berjubah besar di sana.

Selanjutnya, aku aktif taklim di sana meski dengan baju seadanya. Atas kebaikan beberapa ummahat, aku punya jubah dan kerudung meski bekas.

Aku pun minta izin memakai kerudung dan jubah di tempat kerja. Alhamdulillah, diizinkan oleh pemiliknya meski minus cadar.

Dan lagi, bukti sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala menyapaku. Aku berjumpa ikhwan yang dulu kuanggap aneh itu. Ia sedang membeli buku, sekilas tanpa sengaja kami bertatapan. Entah mengapa hatiku berdebar.

Astaghfirullah, jaga hatiku ya Allah. Sebuah rasa yang tak pernah kurasa sebelumnya.

Selang 2 hari, seorang ummahat mencariku. Padahal aku tak pernah cerita dimana aku kerja. Kami sama-sama kaget.

"Oh, Anti rupanya, kerja disini ya? Ana cuma menyampaikan pesan, Anti sudah nikah belum? Kalau belum, ada yang ingin ta'aruf."

"Ya, ngga' papa", jawabku tanpa pikir lagi. Sebab, setelah belajar agama di taklim baru, aku jadi tahu, tempatku kerja tak aman dari ikhtilat.

Jadi, tawaran menikah adalah kesempatan emas bagiku. Persiapanku tak lama, cuma 2 pekan. Dan sampai saat itu, aku tak pernah melihat seperti apa calon suamiku.

Saat khitbah pun, aku tak keluar. Sebab, dia ataupun bapak tak memintaku keluar. Jadi, aku menanti di kamar.

Di luar dugaan, bapak menerima lamaran sang ikhwan tanpa "ba-bi-bu". Padahal, dulu saat kakakku hendak menikah, bapak sering menolak lamaran dengan alasan ini itu. Bahkan untuk menentukan hari H pun, bapak dan keluarga besar harus mencari "hari baik" itu berbulan-bulan.

Tapi, pada ikhwan ini, sikap bapak serba lunak dan kooperatif. Selama ini aku tak berpikir, proses itu akan berlangsung cepat. Hanya 2 pekan. Sampai hari H pun, aku belum tahu siapa lelaki itu, seperti apa wajahnya.

Namun, entah mengapa, hatiku begitu mantap menerimanya, tanpa ragu sedikitpun. Padahal saat masih "jahil" dulu, aku selalu memimpikan pacarku yang tinggi, gagah, putih, berwibawa, punya kerja bagus dan angan-angan indah yang tentunya jadi impian setiap wanita.

Alhamdulillah, Allah tak pernah mengabulkan impianku itu. Aku "tak pernah laku", tak seperti temanku yang lain yang punya pacar, bahkan sering gonta-ganti pacar.

Aku sempat sedih saat itu, karena tak laku. Tapi hari ini aku tahu, bahkan kusyukuri semua itu, Allah telah menjagaku dari zina.

Ijab qabul berlangsung kidmad, kutandatangani buku nikah, sembari melihat seperti apa wajah suamiku dari foto buku nikah, ternyata …

tampan dan berwibawa. Tubuhku bergetar. Ternyata dia lelaki bercelana "gantung" yang sering kulihat dulu.

Malam pertama kulalui dengan kecanggungan. Kami melewatinya dengan perkenalan dan masih malu-malu.

Saat kami menyebut nama masing-masing sambil mengulurkan tangan, duuh... rasanya deg-degan dan terasa panas dingin.

Allahu akbar, tak terkira indah dan berbunga-bunga rasa di dada.
Ternyata begini rasanya, "pacar baruku" sekaligus suamiku.

Bismillah, kami memulai hari-hari hingga kini. Saat ini, aku telah memiliki 3 orang putri yang sehat, suami dikaruniai rezeki yang bagus dan usaha yang maju, serta punya perhatian dan sayang yang besar pada keluarga.

Benarlah bahwa rezeki, maut dan jodoh adalah rahasia Allah dan Allah telah membuktikannya pada hamba-Nya, termasuk padaku.

Majalah Sakinah Vol. 8 | No. 12 | Hlm. 42-43

Tidak ada komentar: