mengomentari artikel "Apakah Berjihad Harus Satu Manhaj?"

 "Berjihad harus dalam satu manhaj (metodologi beragama) akhi, kalau bersatu tanpa kesamaan manhaj, itu persatuan semu,"

Anda pernah mendengar kalimat seperti tadi? Jika belum, maka berselancarlah di media sosial. Sebab, kalimat seperti itu dan sejenisnya sedang ramai diposting oleh komunitas yang mengklaim sebagai Salafy (pengikut salaf) untuk menggembosi serta menyinyiri Aksi Bela Islam.

Ada beberapa hal, yang menjadi sorotan dalam kalimat tersebut. Pertama, benarkah Rasulullah saw mensyaratkan jihad dalam persatuan manhaj yang ketat? Benarkah para ulama salaf mensyaratkan jihad dalam persatuan manhaj yang ketat?

Kedua, Manhaj yang dituntut benar manhaj Salaf atau manhaj versi kelompok mereka?

Dari al-Bara’ bin Azib radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

“Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menutup wajahnya dengan topi baja lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku berperang atau aku masuk Islam?”

Beliau menjawab, “Masuk Islamlah kemudian berperang.”

Dia pun masuk Islam lalu berperang hingga terbunuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia beramal sedikit dan diberi pahala yang banyak.” (HR. al-Bukhari, Kitabul Jihad, 6/2808)
 mengomentari artikel "Apakah Berjihad Harus Satu Manhaj?"

Dari penjelasan hadist di atas jelas, bahwa seseorang dapat berjihad meski tidak berilmu atau sebatas mengilmui hal-hal umum yang sudah dimaklumi sebagai ajaran islam. Tapi, belum mempelajari dalil, belum mempelajari kaidah pokok-pokok sunnah, Ilmu Tauhid, Ilmu Tafsir, bahkan ilmu Fiqh.

Jadi, bisa disimpulkan mujahid yang diceritakan hadits tersebut boro-boro paham manhaj (dalam asumsi Kelompok Salafy), belajar Islam yang standar saja belum.

Kisah serupa cukup banyak, seperti juga ketika para shahabat menerima ikrar dua kalimat syahadat dari kaum badui disertai kesanggupan untuk melazimi hukum-hukum Islam tanpa harus mempelajari dalil-dalil.

Mungkin mereka akan berkata, "Islam di zaman Rasulullah sudah langsung dipahami sebagai Islam yang masih murni, jadi ketika orang musyrik itu masuk Islam, kemudian syahid dia berada di atas manhaj Rasulullah shallallahu alahi wasallam yang murni dan sejati.

Mari kita tengok kisah dalam hadis berikut;

Abu Wâqid Al-Laitsî ra ia berkata, “Kami keluar bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menuju Hunain sedangkan kami baru saja keluar dari kekufuran (baru masuk Islam); kala itu kaum musyrikin memiliki pohon Sidroh yang mereka beribadah di sana serta menggantungkan senjata-senjata mereka di sana, namanya adalah Dzâtu Anwâth. Kemudian kami melewati pohon tersebut, maka kami katakan: “Wahai Rosululloh, buatkanlah untuk kami Dzâtu Anwâth sebagaimana mereka memiliki Dzâtu Anwâth.” Mendengar itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allôhu Akbar, sungguh itu adalah jalan, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian telah katakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: “Jadikanlah sesembahan-sembahan buat kami sebagaimana mereka juga punya sesembahan. Musa berkata, “Sungguh kalian adalah kaum yang bodoh.” [1] kalian benar-benar akan melakukan jalan orang-orang sebelum kalian.[2]

Melalui hadis di atas, maka dapat dilihat, baru masuk Islamnya seseorang dari zaman Rasulullah ternyata tidak secara otomatis mengetahui pokok-pokok tauhid dna kesyirikan secara utuh. Karena, dimaklumi mereka belum sempat bermajelis Ilmu.

Pertanyaannya: Apakah Rasulullah shallallahu alahi wasallam menghardik mereka "Kembalilah kalian ke majelis Ilmu, belajar dahulu agar aqidah dan manhaj kalian murni dan lurus" ?

Tidak, Rasulullah shallallahu alahi wasallam tidak menyatakan hal tersebut. Akan tetapi, Rasulullah langsung menjelaskan pelajaran dan ilmu di medan jihad tersebut.

Karena, Jihad memang tidak mensyaratkan wajib sempurnanya ilmu seseorang Muslim untuk terjun.

Syarat wajibnya jihad adalah seperti yang disebutkan Ibnu Qudâmah, ia berkata, “Dan syarat wajibnya jihad ada tujuh: Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, selamat dari marabahaya dan adanya biaya.”[3] Ini ditambah lagi syarat adanya izin dari kedua orang tua dan orang berhutang kepada yang dihutangi sebagaimana juga disebutkan Ibnu Qudâmah.[4]

Inilah sembilan syarat wajibnya jihad fardhu kifayah.

Adapun jika jihad menjadi fardhu ain, gugurlah sebagian dari sembilan syarat ini dan hanya tersisa lima syarat saja, yaitu: Islam, baligh, berakal, laki-laki –kecuali mereka yang tidak mensyaratkannya—selamat dari mara bahaya. Tidak disyaratkan adanya nafkah jika musuh telah memasuki negeri atau musuh tersebut berada tidak sampai pada jarak qoshor menurut salah satu pendapat.

Bahkan, jihad tidak menolak keterlibatan orang yang masih berlumur dosa.

إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
"Sesungguhnya tidak masuk surga kecuali jiwa muslim dan sesungguhnya Allah akan menguatkan dien ini dengan laki-laki fajir (pendosa)." (Muttafaqun alaih).

Ulama Salaf Berjihad dengan Kaum Berbeda Manhaj

Ketika dunia Islam dikuasai oleh Kerajaan Tartar, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengobarkan jihad untuk melawan Tartar dan mengembalikan Khilafah Islamiyah yang runtuh. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah bergabung dalam jihad bersama Sultan Nashir penganut manhaj aqidah Asyariyah. Beliau berperang bersama penduduk Mesir dan Syam yang mayoritas menganut paham Aqidah Asyariyah. Paham Asyariyah yang dikritik keras oleh Ibnu Taymiyah karena dalam pandangannya adalah paham yang tergelincir lagi menyimpang.

Lalu apakah, para ulama dan Ibnu Taymiyah sendiri mengatakan bahwa peperangan melawan Tartar adalah "persatuan semu atas nama ukhuwah Islamiyah?" Apakah para ulama salaf mengatakan bahwa itu "persatuan kebun binatang?"

Apakah Syaikhul Islam sibuk berteriak-teriak bahwa penduduk Syam dan Mesir harus kembali ke majelis Ilmu agar belajar manhaj dengan benar?

Tidak, Syaikh Ibnu Taymiyah tidak disibuki dengan perkara-perkara tersebut. Justru, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa penduduk Syam dan Mesir yang berjihad melawan Tartar adalah Thoifah Manshuroh (Kelompok penegak kebenaran sepanjang zaman,pent), Maa Syaa Allah..!

Jadi, selama kaum Muslimin masih meyakini berada di atas pokok-pokok Islam Ahlus sunnah. Walau awam dalam dalil dan penjelasan lainnya mereka dapat berjihad bersama. Kecuali, mereka kelompok sesat yang disepakati oleh kaum Muslimin seperti Syiah.

Jadi, sangat berbeda antara Rasulullah shallallahu alahi wasallam, ulama Salaf Rahimahullah dengan orang yang sebatas mengklaim sebagai salafy (pengikut salaf) dalam memahami manhaj salaf itu sendiri. Wallahu 'alam.

Fote note:
[1] (Al-A‘rôf: 138)
[2] HR. Tirmizi.
[3] Al-Mughni was Syarhil Kabîr juz X hal. 366.
[4] Juz X hal. 381-384.

Oleh: Bilal
repost dr grup madina muslimah

komentar admin
tidak ada manusia yg maksum kecuali nabi muhammad shallallahu alahi wasallam, begitu juga tulisan ilmiah ini. hanya meluruskan dan bersikap adil agar tidak menzolimi sepihak penyataan seorang alim besar yang bisa saja kita yg gagal memahami maksud pernyataan beliau, yach secara dzohir seperti terlihat salah pernyataan beliau.

walau bagaimanapun, salah benarnya dalam kontek pembahasan tersebut. perlu diketahui bersama bahwa beliau telah memberi andil besar dalam menebarkan dakwah sunnah di indonesia.

semoga kita semua dijaga allah dari sikap mencela ulama rabbani panutan umat.

Tidak ada komentar: