momentum 212 Hari Lahir kebangkitan Umat Islam indonesia

Banyak hari diperingati tiap tahun. Ada hari ibu, hari kartini, hari buruh, dan terbaru hari santri. Agaknya tanggal 212 layak disebut sebagai hari umat.

Kosa kata umat (Islam) layak dipopulerkan seiring semangat kebangkitan umat yang mengharu-biru di seantero negeri. Semuanya dipicu oleh kalimat pendek: jangan mau dibohongi dan dibodohi pakai Al-Maidah ayat 51.

Begitulah makar Allah. Kebencian terhadap Al-Maidah ayat 51 justru menghasilkan efek kebalikannya: umat jadi bersatu di bawah panji Al-Maidah 51, makin mencintainya, terlecut sentimen keumatan, dan terpantik sentimen anti kafir. Alhamdulillah.
momentum 212

Sudah lama umat Islam lupa dengan kandungan kata umat. Mereka dari kecil diasuh dalam buaian kata bangsa. Persaudaraan dan persatuan selalu dibingkai kata bangsa. Saudara adalah siapapun yang sebangsa, tak peduli Yahudi atau Nasrani. Dan musuh adalah siapapun yang tak sejalan dengan bangsa meski seorang muslim.

Pada 212 itu 7 juta lebih muslim berkumpul di satu lokasi, dipersatukan oleh spirit umat. Mereka dipanggil oleh Al-Maidah 51, dikomando oleh ulama, dalam rangka menunaikan kewajiban khas umat Islam: shalat jumat. Kelihatan simpel, bahkan bertajuk super damai, tapi ternyata bermakna dalam.

Ada sejumlah perbedaan antara bangsa ( قوم ) dengan umat untuk dijadikan argumen mengapa kita harus kembali kepada paham keumatan:

1. Umat dipersatukan oleh titik kumpul: Allah, Rasulullah dan mukminun, itupun yang menegakkan shalat, menunaikan zakat dan selalu tunduk kepada syariat Allah (Al-Maidah: 55). Allah sebagai sumber ideologi, Rasulullah sebagai acuan teladan, dan mukminun sebagai teman dalam perjuangan.

Sementara bangsa hanya dipersatukan oleh batas geografis negara. Tak ada Tuhan yang menjadi acuan tunggal ideologi dan nilai spiritual. Tak ada Nabi yang jadi rujukan teladan. Teman perjalanan juga gado-gado pemikirannya. Karenanya secara alamiah lemah.

2. Paham bangsa itu dipakai oleh masyarakat jahiliyah sebelum datangnya Islam. Mereka berperang membela suku dan bangsa masing-masing. Semboyan mereka, tolong saudaramu sebangsa baik ia teraniaya atau sedang menganiaya. Spirit korp menjadi ruh pemersatu.

Sementara umat dipakai sebagai bingkai pemersatu masyarakat setelah datangnya Islam. Suku Aus dan Khazraj yang sebelumnya terlibat konflik tanpa akhir, dipersatukan Nabi saw di bawah payung umat Islam. Mereka kemudian bersaudara, tak ada lagi sentimen suku dan bangsa.

3. Bangsa dijadikan alat oleh penjajah untuk memecah umat Islam. Dulu jazirah Arab, Syam, Turki, Mesir dan Maroko bersatu di bawah payung umat. Penjajah Eropa datang dengan menawarkan paham kebangsaan. Akhirnya ikatan hati mereka bukan ke umat, tapi kepada Saudi, Mesir, Turki dan sebagainya. Umat Islam lemah dan hancur setelah berpaham bangsa.

Maka tak ada jalan lain mengembalikan kekuatan umat kecuali mengembalikan paham keumatan dan membuang paham bangsa. Dan alhamdulillah aksi 212 memantik kesadaran itu. Berawal dari tuntutan terhadap ahog, berkembang menjadi keinginan merasakan kembali nikmatnya menjadi satu umat yang kuat.

Maka spirit 212 harus terus dikawal. Hari lahirnya umat Islam ini perlu terus diaktualkan, agar paham keumatan kian merasuk ke sanubari umat.

Aqidah kebangsaan terbukti tumpul menghadapi penjajah. Asing dan aseng dibiarkan menguasai negeri, bahkan "diundang sebagai tamu kehormatan". Sementara aqidah keumatan terbukti menjadi ruh perlawanan anti Belanda. Pekik takbir yang membuat Diponegoro militan dan rela bersabung nyawa mengusir Belanda. Bukan pekik merdeka, yang selalu dimaknai merdeka menjual aset bangsa.

@elhakimi

Join channel telegram.me/islamulia

Tidak ada komentar: