Kalau Kau Teman Baikku, Mengapa Kau Biarkan Aku Disiksa ?

Aku punya seorang teman baik dari zaman kanak-kanak bernama Lim Wei Choon. Sama-sama sejak sekolah dasar sampai ke SMA.

Setelah SMA, aku masuk ke Perguruan Tinggi sedangkan Lim diantar keluarganya utk melanjutkan sekolah ke Amerika.

Kenangan sewaktu kanak-kanak hingga ke zaman remaja terlalu banyak yang bisa dikenang bersama.

Setiap kali hari raya datang, Lim pasti berkunjung ke rumahku untuk menikmati dodol ayahku yang sangat disukainya.

Kadangkala, jika ada acara di rumahku, pasti Lim akan ikut serta. Aku jarang ke rumahnya kecuali untuk acara2 seperti menyambut Tahun Baru Cina. Aku takut dengan anjing peliharaan keluarga Lim.

Dengan Lim aku banyak belajar matematika, sedangkan Lim sering belajar Bahasa Malaysia kepadaku.
Kau Teman Baikku

Kenangan-kenangan seperti memancing, mandi di air terjun, bolos sekolah untuk melihat pertandingan ‘breakdance’, semuanya kami jalani bersama-sama.

Apa yang ingin ku sampaikan adalah, warna kulit dan perbedaan agama tidak pernah menjadi penghalang persahabatan kami.

20 tahun telah berlalu, Lim telah menetap di Amerika setelah berhasil mendapatkan Green Card, ia bekerja disana. Itu yang kutahu dari kakaknya.

Hubungan aku dengan Lim terputus setelah dia melanjutkan sekolah. Maklumlah, di zaman kami dulu tidak ada internet, email atau telepon genggam, yang ada cuma sesekali mengirim kartu pos  bertanya kabar. Untuk menulis surat kepada laki-laki sangat malas kami rasakan.

Suatu pagi. Aku bertemu dengan kakak Lim di pasar , kakaknya memberitahu Lim akan pulang ke tanah air. Dan aku sangat terkejut dengan berita yang kudengar dari kakaknya.

“Namanya sekarang bukan lagi Lim Wei Choon. Namanya sekarang Ahmad Zulfakar Lim sejak 5 tahun lalu… Subhanallah!

Syukur Alhamdulillah, teman baikku telah mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Memang aku tak sabar untuk berjumpa dengannya lebih-lebih lagi setelah menjadi saudara seagama denganku.

Hari yang kutunggu-tunggu telah tiba, dan sore itu aku bertemu dengan Lim dirumahnya. Ada satu perasaan istimewa menyambut kepulangannya.

Ketika aku tiba, tamu2 di rumah Lim sudah banyak yang pulang…

Assalamu’alaikum… Itulah kalimat pertama dari mulutnya, wajahnya sudah jauh berubah, air mukanya amat redup dan tenang.

Aku menjawab salam dan berpelukan dengannya dan kami menangis layaknya kekasih yang sudah terlalu lama terpisah.

‘Ini dia olang memang sudah lama kawan, dari kecik ini dua olang” Ibu Lim menjelaskan pada beberapa orang tamu yang melihat peristiwa kami berpelukan dan menangis itu.

Tetapi aku bukan menangis karena apa2, tetapi karena amat terharu dan sangat bersyukur melihat keislaman temanku. Lim mengajak aku duduk di halaman rumahnya untuk mengobrol.

Ia masih fasih berbahasa Melayu walau sudah lama berada di perantauan.

Setelah cukup lama mengobrol, Lim bertanya padaku : "Talha, kau teman baikku kan? Betul kan ?"

Aku menjawab : "Iyalah..aku teman baikmu. Kenapa kau tanya seperti  itu?"

Kalau kau teman baikku, kenapa kau biarkan aku disiksa?

Sorry Lim. Aku tak paham… disiksa? What do you mean?

Coba kau pikir, kita ini teman dari kecil. Aku ingat lagi, rumah kau itu, is my second house, rumah kedua bagiku.

Tapi, mengapa kau tak pernah ceritakan pada aku tentang Islam?

Mengapa setelah aku pergi ke Amerika aku baru tahu tentang Islam? Mengapa bukan di Malaysia, negara Islam ini?

Dan mengapa aku di-Islamkan oleh seorang bekas pendeta Kristen ?

Aku terdiam, kelu tak mampu menjawab. Dan Lim terus berkata-kata. Kalau betullah kau teman baik aku, Kenapa kau cuma mau baik dengan aku di dunia saja? Kau suka lihat teman baik kau ini disiksa di dalam api neraka?

Kau tahu, kalaulah aku ini tak sempat masuk Islam hingga aku mati, maka aku akan tuntut semua orang Islam dalam kampung kita ini sebab mereka tak sampaikan dakwah Islam ini pada aku dan keluarga aku serta orang2 non muslim yang lain.

Kau sadar tidak, kau sudah diberikan nikmat besar oleh Allah dengan lahir dalam keluarga Islam.

Tapi, nikmat itu bukan untuk kau nikmati seorang diri, atau untuk keluarga kau sendiri. Kau dilahirkan dalam Islam adalah karena ditugaskan untuk sampaikan Islam pada orang-orang yang dilahirkan dalam keluarga bukan Islam seperti aku.

Aku masih tertunduk dan tak bisa berkata apa-apa karena sangat malu. Berdakwah adalah tugas muslim yang paling utama, sebagai pewaris Nabi, penyambung Risalah.

Tetapi apa yang aku lihat, orang melayu ini tidak ada semangat jihad, tidak ada keinginan untuk berdakwah.

Bagaimana Allah akan menolong bangsa ini kalau bangsa ini tidak menolong agama Allah ?

Aku merasa kesal sendiri… sepatutnya nikmat ini aku bisa gunakan dengan betul dan tepat, karena selagi aku belum pernah berdakwah, jangan berpikir kalau aku sudah bersyukur pada Allah.

Dan satu lagi, jangan dengan mudah aku mencap orang-orang bukan Islam itu sebagai kafir karena kafir itu berarti ingkar.

Kalau aku sudah sampaikan seruan masuk Islam dengan betul, kemudian mereka ingkar dan berpaling, barulah aku boleh panggil mereka kafir.

Aku menjadi sangat malu, karena apa yang dikatakan oleh Lim adalah benar. Dan aku pun tak pernah terpikir selama ini. Aku hanya sibuk untuk memperbaiki amalan diriku sendiri sehingga lupa pada tugasku yang sebenarnya.

Baru aku paham, seandainya tugas berdakwah ini telah aku laksanakan, maka barulah Allah akan memberikan pertolongan, bantuan dan kekuatan serta mempermudah segala urusan dunia dan akhiratku.

Sore itu aku pulang dengan satu semangat baru.

Aku ingin berdakwah!

Lim yang baru memeluk Islam selama 5 tahun itu pun telah mengislamkan lebih dari 20 orang termasuk adiknya. Mengapa aku yang hampir 40 tahun Islam ini  tidak pernah menyampaikan dengan serius kepada satu orang pun yang bukan Islam ?

Semoga Allah mengampuni diriku yang tidak menyadari apa itu arti nikmat dilahirkan sebagai seorang muslim.

(Kisah diatas dikirim seorang teman Malaysia dalam bahasa Melayu, telah diedit dan disadur ke dalam bahasa Indonesia agar lebih banyak sahabat yg mendapat manfaat, terutama bagi diri saya sendiri. Selamat Berdakwah ! Teman Baikmu, MN)

Tidak ada komentar: