I'tikaf tidak dilakukan kecuali di masjid

Allah Ta'ala berfirman :

وَلَا تُبَـٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَـٰكِفُونَ فِى ٱلۡمَسَـٰجِدِ‌ۗ
"Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf di masjid" (QS. Al-Baqarah [2]: 187).

Imam al-Qurthubi berkata :

أجمع العلماء على أن الاعتكاف لا يكون إلا في مسجد
“Ulama sepakat bahwa i'tikaf hanya bisa dilakukan di masjid” (Tafsir al-Qurthubi II/333)

Dalam Musykilul Atsar IV/20 dijelaskan :

فعم المساجد كلها بذلك و كان المسلمون عليه في مساجد بلدانهم
"(I’tikaf) mencakup semua masjid dan semua masjid kaum muslimin di negeri mereka"

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata :

يصح الاعتكاف في أي مسجد
“Boleh i’tikaf di masjid mana saja” (Fathul Baari IV/272)
masjid nabawi

Istilah masjid terbagi menjadi 2 :

(1). Masjid Jami’, yaitu masjid yang digunakan untuk shalat 5 waktu dan shalat jumat.

(2). Masjid Ghairu Jami’, yaitu masjid yang digunakan untuk shalat 5 waktu saja dan tidak digunakan untuk jum'atan yang disebut musholla.

Ada 3 pendapat ulama tentang batasan masjid yang boleh digunakan i’tikaf :

(1). I’tikaf hanya bisa dilakukan di 3 masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid an-Nabawi dan Masjidil Aqsa.

(2). I’tikaf hanya bisa dilakukan di masjid Jami’, yaitu masjid yang digunakan untuk jumatan.

(3). I’tikaf bisa dilakukan di semua masjid, baik Jami’ maupun bukan Jami’.

Dari contoh Rasulullah dan para sahabatnya ternyata i'tikaf mereka selalu di Masjid Nabawi atau di Masjidil Haram (tidak di tempat lainnya atau musholla). (HR. Bukhori no. 2020, 2042 dan Muslim no. 1656)

Dan juga kalau saja i'tikaf boleh dilakukan di tempat lain, maka istri-istri Rasulullah tentu tidak akan melakukannya secara terus-menerus di masjid an-Nabawi, karena banyak kesulitan-kesulitan bagi wanita di masjid.

'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata :

"....dan i'tikaf tidak sah kecuali di masjid jaami' (yaitu masjid yang ada shalat jum'atnya (bukan musholla dll)" (HR. Abu Dawud no.2473)

Ini juga pendapat dari sahabat 'Ali bin Abi Thalib dan 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhuma.

Juga salah satu pembatal i'tikaf yaitu sengaja keluar dari masjid tanpa udzur. Bukankah jika i'tikaf di musholla pasti harus keluar untuk sholat jum'at dan ini bisa menghilangkan nilai i'tikaf ?

Jadi jawaban yang rajih (terkuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa i'tikaf itu dilakukan di masjid jaami' dan ini berdasarkan contoh dari Rasulullah, para sahabat, istri-istri Rasul, adanya riwayat dari perkataan 'Aisyah dan pendapat para sahabat Nabi diatas serta agar kita tidak keluar dari masjid ketika akan shalat jum'at.

Inilah pendapat jumhur (mayoritas) para ulama.

Adapun ruang serba guna, musholla kantor, pabrik, apartement, pom bensin, sekolah dan musholla rumah itu bukan masjid, tapi sekedar tempat shalat yang banyak orang mengerjakan shalat di dalamnya.

Masjid secara istilah diartikan sebagai :

المكان الذي أُعِدّ للصلاة فيه على الدّوام
"Tempat yang digunakan untuk shalat selamanya" (Mu’jam Lughah al-Fuqaha oleh Prof. Muhammad Rawas hal 397)

"Karena itulah, untuk bisa disebut masjid (sesuai pengertian istilah) tempat itu harus menjadi milik umum, ada izin umum dari masyarakat untuk menjadikan tempat itu sebagai tempat shalat. "Baik ditegaskan bahwa itu wakaf atau tidak ditegaskan. Demikian pendapat jumhur ulama" (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 37/220).

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :

ويصح الوقف بالقول والفعل الدال عليه مثل أن يبني مسجدا ويأذن للناس في الصلاة فيه
"Wakaf bisa dilakukan dengan ucapan maupun perbuatan yang mengindikasikan bahwa itu wakaf, seperti dibangun masjid dan mengizinkan masyarakat untuk shalat di sana" (Al-Kafi fii Fiqh Ibnu Hambal II/280).

Tempat yang termasuk masjid untuk i'tikaf

Parkiran mobil dan halaman masjid itu bukan masjid, sehingga tidak beri'tikaf disitu, adapun masjid dan serambi, selasar atau teras termasuk masjid dan boleh i'tikaf disitu.

Pada bangunan masjid, ada bagian yang diistilahkan ar-Rahbah الرحبة. Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata : 

هي بناء يكون امام باب المسجد غير منفصل عنه هذه رحبة المسجد
"Itu adalah bangunan yang berada di depan pintu masjid yang tidak terpisah dari masjid, inilah makna ar-Rahbahnya masjid" (Fathul Bari XIII/155).

Ar-Rahbah memiliki hukum-hukum masjid, dan sah i’tikaf di dalamnya. Teras yang masih bersambung lantai atau atapnya dengan masjid, maka ia termasuk bagian dari masjid yang disebut ar-Rahbah.

Ini adalah pendapat al-Hasan al-Bashri, Zurarah bin Abi Aufa, asy-Syafi’i, al-Bukhari, dan selain keduanya. Dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan Ibnu al-Munayyir (lihat al-Majmu’ VI/507 dan al-Fath XIII/156).

Adapun pada halaman masjid terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, dan pendapat yang saya anggap lebih kuat adalah halaman masjid tidak termasuk masjid, karena ia sudah terpisah dari masjid dan TIDAK BERLAKU padanya hukum-hukum masjid seperti : tidak boleh berjualan di situ, tidak boleh mencari barang yang hilang di situ, adanya shalat tahiyatul masjid bagi yang mau duduk, bolehnya i'tikaf di situ dst.

Jika batas masjid mulai pintu gerbang dari halaman masjid maka tentu akan mengandung beberapa kemusykilan, antara lain orang yang masuk halaman masjid diperintahkan untuk shalat tahiyatul masjid.

Selain itu kita dapatkan hadits yang menunjukkan perbedaan hukum di dalam masjid dan di luar masjid.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَأَى حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ فَلَبِسْتَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوا عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin al-Khaththab melihat kain sutera (dijual) di DEKAT PINTU MASJID, lalu dia berkata : "Wahai Rasulullah seandainya engkau membeli ini, lalu engkau memakainya pada hari Jum’at dan untuk (menemui) utusan-utusan jika mereka datang kepadamu". Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya orang yang memakai ini hanyalah orang yang tidak memiliki bagian di akhirat" (karena laki-laki dilarang memakai sutera, pen) (HR. Bukhari no. 886)

✍ Ustadz Najmi Umar Bakkar
join↪https://telegram.me/najmiumar

Tidak ada komentar: