Sikap Salaf terhadap Pemimpin yang Zalim

Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz rahimahullah berkata :

لَيْسَ مِنْ مَنْهَجِ السَّلَفِ التَّشْهِيْرُ بِعُيُوبِ الْوُلاةِ وَذِكْرُ ذَلِكَ عَلَى الْمَنَابِرِ، لِأَنَّ ذَلِكَ يُفْضِي إِلَى الْفَوْضَى، وَعَدَمِ السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَعْرُوفِ، وَيُفْضِي إِلَى الخَوْضِ الَّذِيْ يَضُرُّ وَلَا يَنْفَعُ.

وَلَكِنَّ الطَّرِيْقَةَ الْمُتَّبَعَةَ عِنْدَ السَّلَفِ : النَّصِيْحَةُ فِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السُّلْطانِ، وَالْكِتَابَةُ إِلَيْهِ، أَوِ الاتِّصَالُ بالْعُلَمَاءِ الَّذِينَ يَتَّصِلُونَ بِهِ حَتَّى يُوَجّهَ إِلَى الْخَيْرِ.

وَإِنْكَارُ الْمُنْكَرِ يَكُونُ مِنْ دونِ ذِكْرِ الْفَاعِلِ، فَيُنْكَرُ الزِّنَى، وَيُنْكَرُ الْخَمْرُ، وَيُنْكَرُ الرِّبَا، مِنْ دُونِ ذِكْرِ مَنْ فَعَلَهُ، وَيَكْفِي إِنْكَارُ الْمَعَاصِي وَالتَّحْذِيْرُ مِنْهَا مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ أَنَّ فُلَانًايَفْعَلُهَا، لَا حَاكِمٌ وَلَا غَيْرُ حَاكِمٍ. وَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتنَةُ فِي عَهْدِ عُثْمَانَ، قَالَ بَعضُ النَّاسِ لِأُسَامَةَ ابْنِ زَيْدٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - : أَلَا تُنكِرُ عَلَى عُثْمَانَ ؟

قَالَ : أَأُنْكِرُ عَلَيْهِ عِنْدَ النَّاسِ ؟ لَكِنْ أُنْكِرُ عَلَيْهِ بَيْنِي وَبَيْنَهُ، وَلَا أَفْتَحُ بَابَ شَرٍّ عَلَى النَّاسِ.

وَلَمَّا فَتَحُوا الشَّرّ فِي زَمَنِ عُثْمَانَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - ، وَأَنْكَرُوا عَلَى عُثمَانَ جَهْرَةً تَمَّتِ الْفِتْنَةُ وَالْقِتَالُ وَالْفَسَادُ الَّذِيْ لا يَزَالُ النَاسُ فِي آثَارِهِ إِلَى الْيَوْمِ، حَتَّى حَصَلَتِ الْفِتْنَةُ بَيْنَ عَلِيٍّ وَمَعَاوِيَةَ، وَقُتِلَ عُثْمَانُ وَعَلِيٌُّ بِأَسْبَابِ ذَلِكَ، وَقُتِلَ جَمٌُّ كَثِيْرٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَغَيْرْهِمْ بِأَسْبَابِ الْإِنْكَارِ الْعَلَنِيِّ وَذِكْرِ الْعُيُوْبِ عَلَنًا، حَتَّى أَبْغَضَ النَّاسُ وَلِيَّ أَمْرِهِمْ، وَحَتَّى قَتَلُوهُ. نَسْأَلُ اللهَ العَافِيَةَ.
“Bukan termasuk manhaj salaf perbuatan menyebarkan aib-aib penguasa dan menyebutkanya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan membawa kepada kekacauan serta melenyapkan sikap mendengar dan taat kepada penguasa dalam perkara yang ma’ruf. Bahkan tindakan ini dapat mengarah kepada pemberontakan yang hanya menghasilkan kerugian tanpa manfaat.
Sikap Salaf terhadap Pemimpin yang Zalim

Dan yang termasuk jalan mengikuti generasi salaf atas permasalahan yang terjadi di antara mereka adalah :

💚 Menasihatinya,
💚 menulis surat kepadanya, atau
💚 menyampaikannya lewat ulama yang berhubungan dengannya hingga kemudian ia diarahkan kepada kebaikan.

Pencegahan kemunkaran seharusnya dilakukan tanpa menyebutkan jati diri pelakunya, seperti halnya diingkarinya minuman keras, zina, dan riba tanpa menyebutkan pelakunya. Cukuplah mengingkari kemaksiatan dan memperingatkan jeleknya perbuatan itu tanpa menyebutkan bahwa Fulan telah melakukannya; baik pelakunya penguasa atau bukan.

Ketika terjadi fitnah di jaman ‘Utsmaan, maka berkatalah sebagian orang kepada Usaamah bin Zaid – radliyallaahu ‘anhu - : ‘Apakah engkau tidak mengingkari ‘Utsmaan ?’. Ia (Usaamah) berkata : ‘Apakah aku akan mengingkarinya di hadapan orang-orang ?. (Tidak), akan tetapi aku mengingkarinya secara empat mata, sebab aku tidak akan membuka pintu kejelekan di hadapan manusia’.

‼ Ketika mereka membuka (pintu) kejelekan di jaman ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhu, dan mereka pun mengingkari ‘Utsmaan secara terang-terangan, terjadilah fitnah, peperangan, dan kerusakan yang pengaruhnya masih tetap ada hingga hari ini. Dan meletuslah fitnah antara ‘Aliy dan Mu’aawiyyah dimana ‘Aliy, ‘Utsmaan, dan sejumlah shahabat serta selain mereka terbunuh dengan sebab pengingkaran kemunkaran dan penyebutan aib-aib secara terang-terangan. Sampai-sampai ada sebagian manusia membenci pemimpin mereka sendiri hingga akhirnya mereka pun membunuhnya. Kita memohon keselamatan kepada Allah”

[Huquuqur-Raa’iy war-Ra’iyyah oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin – di bagian akhir risalah – hal. 27-28].

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat ). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl” [HR. Al-Bukhari no. 7057 dan Muslim no. 1845].

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه
“Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. 

Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)”

[Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232].

Tidak ada komentar: