Belajar Keteguhan Dari Imam Al-Buwaithy رحمه الله

Namanya Abu Ya'qub, Yusuf bin Yahya Al-Buwaithi. Lahir di mesir dan wafat di penjara Baghdad pada tahun 231 H. Beliau merupakan murid kesayangan Imam Syafi'i.

Imam Syafi'i pernah berkata tentang Al-Buwaithi, "Tidak ada seorangpun diantara muridku yang lebih berilmu dari Al-Buwaithi". As-Syafi'i bahkan mempercayakan fatwa kepadanya. Dia selalu mempersilahkan Al-Buwaithi untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan di majelis beliau. (Lihat At-Thabaqaat: 2/164)

Di dalam Al-Intiqoo' Ibnu Abdil Baar meriwayatkan dari Muhammad bin Fazaarah Ar-Raazi bahwa dia berkata: "Aku pernah mengatakan kepada Ahmad bin Hanbal, sesungguhnya aku telah banyak menulis hadits, maka sudah seharusnya aku menulis pandangan-pandangan ulama. Imam Ahmad menjawab, "Jangan lakukan itu. Aku lalu menimpali, "Aku harus menulis pandangan Al-Auza'i, As-Tsaury atau Malik. Imam Ahmad menjawab, "Bila memang harus maka tulislah pandanga As-syafi'i. Temuilah Al-Buwaithi, dengarkan darinya, bila engkau tidak mendapatinya maka temuilah Abul Walid bin Abil Jaruud di Makkah.
Imam Al-Buwaithy

Meski telah mencapai derajad mujtahid mutlak, Al-Buwaithi tetap menjadikan ushul Imam Syafi'i sebagai acuan dalam istinbath.

Seperti ulama pada umumnya, Al-Buwaithy juga mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya. Jalanan yang menyambungkan antara Mesir dan Baghdad menjadi saksi keteguhannya.

Tepat pada tahun 218 H terjadi fitnah besar sebagai akibat dari doktrin mu'tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah Makhluk. Para ulama dan hakim dimasa itu dipaksa mengakui doktrin tersebut. Siapapun yang menolak akan dicopot dari jabatannya dan wajib menerima hukuman. Tanpa kompromi, mayoritas ulama Ahlussunnah memilih teguh diatas pendirian mereka, sehingga tak sedikit yang mati tersiksa dalam penjara. Salah satu diantaranya adalah Al-Buwaithi.

Kisah itu bermula saat orang-orang yang sebelumnya telah menaruh kebencian kepada Al-Buawaithi mengirimkan surat kepada Ibnu Abi Du'ad al Mu'tazily, mentri Al-Watsiq Billah. Surat itu berisi pengaduan bahwa Al-Buwaithi tidak mau mengakui kalau Al-Qur'an adalah Makhluk Allah. Al-Watsiq kemudian mengirimkan surat perintah kepada gubernur Mesir agar memaksanya mengucapkan kata-kata kufur tersebut.

Tetepi dengan tegas Al-Buwaithi menolak. Sang gubernur yang kwatir akan keselamatan Al-Buwaithi menawarkan opsi, "Katakan antara aku dan engkau saja, perlihatkan dihadapanku sesuatu yang mengesankan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk Allah, adapun didepan khalayak engkau bebas mengatakan apa saja semaumu.

Namun sekali lagi Al-Buwaithi menolak dengan tegas. Ia mengatakan:

"Di belakangku ada ratusan ribu orang yang tidak mengerti arti dari semua ini. Aku tidak mau mereka tersesat karena aku.

Tidak demi Allah.. Adzab dunia jauh lebih ringan ketimbang adzab di akhirat. Dan ridho Allah merupakan sesuatu yang harus dicari.

Tidak demi Allah... Aku tidak ingin menjadi sumber fitnah bagi orang awam..
Al-Qur'an adalah Kalamullah (firman Allah..)
Al-Qur'an adalah Kalamullah (firman Allah...)

Akhirnya Al-Buwaithi dipaksa pergi meninggalkan Mesir menuju Baghdad. Ar-Robi' bin Sulaiman Al-Muradi mengatakan, "Al-Buwaithi terus menerus menggerakkan kedua bibirnya untuk berzikir mengingat Allah. Aku tidak pernah melihat orang yang kuat dalam berargumen dengan kitabullah seperti Al-Buwaithi. Aku melihatnya diatas keledai digantungi besi seberat 40 ritl.

Lehernya dikalungi rantai besi, kakinya diikat. Antara kalung besi di leher dan rantai besi di kaki dihubungkan dengan rantai besi yang berat. Dalam kondisi itu dia berkata, "Allah telah menciptakan makhluknya dengan kata "Kun". Apabila (firman Allah ''kun") itu adalah makhluk, itu berarti mahkluk diciptakan dengan makhluk". 

Bila aku masuk menemuinya (Al-Watsiq) aku pasti akan mengatakan kebenaran dihadapannya. Aku lebih memilih mati dalam kondisi terikat dengan rantai-rantai besi ini, agar suatu hari nanti, orang-orang itu mengerti bahwa telah mati dalam mempertahankan keyakinan ini seseorang yang terbelenggu dalam ikatan-ikatan besi"
Al-Buwaithi mengatakan: "Siapa yang mengatakan bahwa Al Qur'an adalah makhluk, maka dia telah kafir".
Memang doktrin Mu'tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk merupakan doktrin yang sangat jelas penyimpangannya dari aqidah Ahlussunnah wal jamaah. Ahlussunnah meyakini bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah, darinya bermula dan kepada-Nya berakhir. Hal ini sebagaimana yang Allah kabarkan sendiri dalam Al Qur'an.

Al-Kalam merupakan salah satu diantara sifat-sifat Allah. Bila kita mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, maka berarti dia akan sirna, sebab makhluk memiliki sifat fana atau tidak kekal. Sementara sifat Allah Abadi sebagaimana Dzat-Nya yang abadi untuk selama-lamanya.

Kisah Imam Al-Buwaithi diatas mengandung pelajaran penting tentang arti keteguhan dalam mempertahankan prinsip.

Imam Al-Buwaithi seolah mengajari kita bahwa seorang da'i atau ulama tidak boleh dibeli apalagi mau diajak untuk kompromi dalam kebatilan.
Dia mengajari kita untuk tetap teguh diatas kebenaran sekalipun dihadapkan pada kenyataan pahit.
Ungkapan "dibelakangku ada ratusan ribu orang" memberi pesan bahwa seorang da'i harus sadar kalau dibelakangnya ada ummat yang selalu menunggu keputusannya, arahannya juga sikapnya dalam setiap permasaalahan.

Kisah ini juga mengingatkan kita akan keteguhan Imam Ahmad.
Keduanya -baik Imam Ahmad maupun Imam Al Buwaithi- memahami betapa mereka harus berjuang melawan rasa sakit, dan mungkin saja kematian dalam kondisi seperti itu. Mereka memilih drama jiwa itu, mereka memutuskan bertahan di tengah ratusan ribu orang yang hidup dalam ketidakmengertian. Keteguhan mereka menggambarkan betapa serius permasalahan tersebut.

Di jalan dakwah ini banyak yang mundur ketika pertaruhannya adalah hidup atau mati. Tapi orang-orang besar memilih untuk terus berkarya, memberi dan berbagi untuk orang banyak, baik dengan ilmu, arahan, atau bahkan dengan kematian itu sendiri. Semua demi balasan yang lebih terhormat di akhirat kelak.

Itulah arti keteguhan yang dapat kita terjemahkan dari rantai besi yang membelenggu Al-Buwaity.

"Aku lebih memilih mati dalam kondisi terikat dengan rantai-rantai besi ini, agar suatu hari nanti, orang-orang itu mengerti bahwa telah mati dalam mempertahankan keyakinan ini seseorang yang terbelenggu dalam ikatan-ikatan besi"

-Rahimahumullah-

Diantara karya Imam al-Buwaity adalah Mukhtashar Al-Buwaithi (1 jilid) terbitan Darr Al-Minhaj.
Buku ini merupakan ringkasan Kitab Al-Umm karya imam Syafi'i. Akan tetapi Imam Al-Buwaithi tidak hanya sekedar meringkas, beliau menambahkan beberap ijtihadnya terhadap sejumlah masaalah, tak jarang beliau menyelisihi ijtihad Imam Syafi'i.

Buku ini menjadi salah satu diantara rujukan para imam baik dari kalangan Syafi'iyah seperti Al Juwainy, As Syairazy, Al Ghazaly, Al Mawardy, Ar Rofi'i, An Nawawi dan ulama lainnya dari berbagai madzhab yang berbeda.

Wallahu a'lam
__________________
Madinah Al-Munawwaroh
ACT El-Gharantaly

telegram: @actelgharantaly
ig: @act_elgharantaly

Tidak ada komentar: