Salafiyyun anti terhadap jihad fii sabilillah?

Wallaahi, ini adalah sebuah kedustaan besar yang dialamatkan kepada Salafiyyun oleh orang-orang yang hasad dan benci terhadap da'wah dan manhaj yang haq ini. Mereka tidak malu-malu untuk menuduh dan memfitnah Salafiyyun sebagai antek-antek thaghut, agen-agen Yahudi. Karena memang mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhkan manusia (baca : kaum muslimin) dari da'wah dan manhaj yang haq meskipun dengan tuduhan dusta.

Perlu diketahui dan dicatat, bahwasanya perkara (baca : permasalahan) jihad fii sabilillah adalah perkara besar lagi agung di dalam agama, maka sudah sepatutnya kita mengembalikan kepada mereka yang mampu dan ahli di bidangnya, dalam hal ini adalah para pemimpin (baca : penguasa) dan para 'ulamaa.

Apalagi dalam buku-buku 'aqidah Ahlus Sunnah disebutkan yang berhak mengumumkan jihad (perang) adalah para pemimpin, termasuk para 'ulamaa. Perkara ini tidak atau bukan diserahkan kepada tiap-tiap individu apalagi kepada mereka orang-orang dungu yang hanya bisa berbicara tanpa 'ilmu dengan maksud memanas-manasi (baca : memprovokasi) tanpa mau berfikir dan menimbang serta merenungkan dampaknya antara maslahat dengan mafsadatnya.
Salafiyyun anti terhadap jihad fii sabilillah?

Dari Abu Hurairah رضي الله تعالىٰ عنه, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, "Jihad itu wajib atas kalian untuk dilaksanakan bersama imam (pemimpin), baik ia seorang yang adil maupun fajir." (Shahiih, HR. Abu Dawud, no. 2533, dan Al-Baihaqi, III/121)

Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya imam (pemimpin) adalah perisai, ia akan diperangi dari belakangnya. Jika imam (pemimpin) itu menyuruh untuk bertakwa kepada Allah سبحانه و تعالىٰ dan berbuat adil, maka dia mendapat pahala. Tetapi jika dia menyuruh kepada selain itu, maka dia mendapat dosa." (Shahiih, HR. Al-Bukhari, no. 2957, dan Muslim, no. 1841)

Demikian dalam kitab-kitab 'aqidah Ahlus Sunnah dijelaskan bahwa jihad adalah wajib dilakukan bersama ulil amri (pemerintah kaum muslimin).

Imam Al-Hasan Al-Bashri رحمه الله تعالىٰ berkata, "Ada empat perkara Islam yang berada di bawah kewenangan pemimpin (ulil amri) :

1. Hukum (hudud).
2. Fai'.
3. Jihad.
4. Dan shalat Jum'at."
(Masa'ilul Imam Ahmad, Al-Karmani, hal. 392)

Imam Abu Zur'ah Ar-Razi رحمه الله تعالىٰ berkata, "Kami telah berjumpa dengan para 'ulamaa di seluruh negeri, baik di Hijaz, Iraq, Syam, maupun Yaman, dan di antara madzhab mereka adalah bahwa shalat, haji, dan jihad dilakukan bersama para imam (pemimpin)." (Siyar A'laamin Nubala', I/176, 182)

Imam Al-Muzany asy-Syafi'i رحمه الله تعالىٰ berkata, "Dan jihad itu dilaksanakan bersama setiap pemimpin yang adil maupun yang jahat, demikian halnya ibadah haji." (Syarhus Sunnah, hal. 88)

Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله تعالىٰ berkata, "Perang (jihad fii sabilillaah) akan tetap ada bersama para imam (pemimpin) hingga hari Kiamat. Baik imam (pemimpin) tadi seorang yang shalih maupun fasiq, (jihad bersama mereka) tetap tidak ditinggalkan." (Ushulus Sunnah, no. 29, Syarh I'tiqad Ahlus Sunnah wal Jama'ah, I/160)

'Abdullah bin Ahmad bin Hanbal رحمهما الله تعالىٰ berkata, "Aku mendengar ayahku berkata,

"Apabila penguasa mengizinkan suatu kaum yang didatangi musuh maka tidak masalah mereka keluar untuk berjihad."

Aku bertanya, "Jika mereka keluar berjihad dengan tanpa izin penguasa?"

Beliau رحمه الله تعالىٰ menjawab, "Tidak boleh, kecuali jika penguasa mengizinkan. Kecuali, jika musuh menyerang dengan mendadak dan tidak memungkinkan bagi mereka untuk meminta izin maka aku harap itu menjadi jihad dalam rangka membela kaum muslimin."

(Masa'il 'Abdillah lil Imam Ahmad, II/258)

Imam Al-Barbahari رحمه الله تعالىٰ berkata, "Barangsiapa yang berkata, 'Shalat itu boleh di belakang setiap orang yang baik maupun yang jahat, jihad bersama semua pemimpin (yang baik maupun yang jahat), tidak membangkang kepada penguasa dengan pedang, dan mendo'akan mereka dengan kebaikan, maka dia telah keluar dari perkataan Khawarij yang pertama dan yang terakhir.'" (Syarhus Sunnah, hal. 122 - 123)

Imam Abu Ja'far ath-Thahawi رحمه الله تعالىٰ berkata, "Haji dan jihad tetap berlaku bersama ulil amri (penguasa) kaum muslimin, baik maupun jahat sampai hari Kiamat. Tidak ada yang dapat membatalkan dan merusaknya." (Syarah al-'Aqiidah ath-Thahaawiyyah, hal. 555)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله تعالىٰ berkata, "Ahlus Sunnah wal Jama'ah menganggap bahwa pelaksanaan haji, jihad, dan shalat Jum'at dilakukan bersama para imam (pemimpin), baik mereka orang yang shalih maupun fasiq." (Majmuu' Al-Fataawaa, III/158)

Beliau رحمه الله تعالىٰ juga mengatakan, "Tidak diperbolehkan berjihad kecuali dengan seizin pemerintah (ulil amri)." (Al-Muharrar, III/341)

Imam An-Nawawi رحمه الله تعالىٰ berkata, "Berperang di belakangnya' yaitu berperang bersama pemimpin melawan orang-orang kafir, pemberontak, Khawarij, dan orang-orang yang merusak dan berbuat zhalim." (Syarh Shahiih Muslim, XII/230)

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi رحمه الله تعالىٰ berkata, "Perkara jihad diserahkan kepada ulil amri (pemerintah) bersama pertimbangan ijtihadnya dan kewajiban masyarakat adalah mentaati apapun yang menjadi keputusannya." (Al-Mughni, XIII/16)

Beliau رحمه الله تعالىٰ berkata, "Dan tidak boleh keluar untuk berjihad melainkan dengan izin imam (pemimpin). Kecuali, jika tidak memungkinkan meminta izin karena musuh menyerang secara mendadak maka tidak wajib meminta izin." (al-Mughni, III/383)

Syaikhul Islam Muhammad bin 'Abdul Wahhab رحمه الله تعالىٰ berkata, "Menurut saya, jihad itu dilaksanakan bersama setiap imam, baik yang shalih maupun yang fasiq. Shalat berjama'ah di belakang mereka hukumnya boleh." (Ad-Durar As-Sunniyah, I/32)

Syaikhul Islam Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin رحمه الله تعالىٰ berkata, "Tidak boleh berjihad, kecuali dengan izin imam (pemimpin) karena dialah yang diperintahkan berjihad, dan karena keluar tanpa izinnya adalah pembangkangan terhadapnya, dan menyebabkan kekacauan dan kerusakan-kerusakan." (Majmuu' Fataawaa, XXV/314)

Beliau رحمه الله تعالىٰ juga berkata,

"Tidak boleh mengobarkan peperangan, kecuali dengan seizin imam (pemimpin), bagaimanapun keadaannya yang terjadi. Sebab, yang diperintahkan untuk menegakkan perang dan jihad adalah para penguasa, bukan individu manusia. Individu manusia hanyalah mengikuti pihak yang berwenang (ahlul halli wal 'aqdi). Maka, tidak seorang pun boleh berperang tanpa seizin imam, kecuali hanya dalam rangka membela diri, (yaitu) apabila musuh menyerang secara tiba-tiba, dan mereka mengkhawatirkan kebinasaan karena serangan tersebut, ketika itu mereka boleh membela diri-diri mereka dan wajib mengobarkan peperangan.

Sesungguhnya, (berperang tanpa dipimpin seorang penguasa) tidak diperbolehkan karena perkara (jihad) bergantung kepada seorang imam. Maka, berperang tanpa seizin imam adalah melanggar dan melampaui batas-batasannya. Andaikata manusia diperbolehkan untuk berperang tanpa seizin imam, kekacauan akan terjadi. Siapa saja yang ingin berperang, ia akan menunggangi kudanya lalu berperang (sekehendak hatinya). 

Andaikata manusia diberi kelapangan dalam hal tersebut, akan terjadi berbagai kerusakan yang besar. Mungkin akan terjadi bahwa sekelompok manusia, (yang tampaknya) bersiap untuk memerangi musuh, ternyata hendak memberontak terhadap penguasa atau hendak melakukan kesewenang-wenangan terhadap sekelompok manusia sebagaimana firman Allah سبحانه و تعالىٰ :

"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, damaikanlah antara keduanya." (QS. Al-Hujaraat [49] : 9)

Berdasarkan tiga alasan ini dan alasan-alasan lainnya, seseorang tidaklah boleh berperang, kecuali dengan seizin imam (penguasa)." (Syarhul Mumti', VIII/25 - 26)

Wallaahi saya pernah memegang dan menggunakan senjata api jenis Revolver. Sampai saat ini pun saya dipersenjatai dengan senjata FN Semi Otomatis dan Shotgun. Kalaulah kami diperintahkan oleh pemerintah kaum muslimin untuk pergi jihad baik ke Palestina, Suriah atau pun Rohingya niscaya kami akan berangkat karena kami menyadari itu adalah kapasitas seorang pemimpin muslim yang memerintahkan, bukan diserahkan kepada setiap individu apalagi berjihad tanpa 'ilmu hanya bermodalkan semangat dan tanpa bimbingan para 'ulamaa yang sudah barang tentu akan menimbulkan banyak kerusakan daripada kebaikannya.

Jikalau dalam perkara duniawiyyah segala sesuatu membutuhkan 'ilmu maka lebih-lebih kepada perkara agama dalam hal ini jihad fii sabilillah, pertanyaannya adalah :

"Apakah kita telah mempunyai 'ilmu tentangnya?"

'Umar bin 'Abdul Aziz رحمه الله تعالىٰ berkata, "Barangsiapa yang beribadah kepada Allah سبحانه و تعالىٰ tanpa 'ilmu, maka pasti apa yang dia rusakkan lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki." (Majmuu' Al-Fataawaa, II/282)

Semoga Allah تبارك و‏تعالىٰ memberikan hidayah dan taufiq.

✒ Abu 'Aisyah Aziz Arief_

Tidak ada komentar: