Mengunjungi Suami Beritikaf di dalam Masjid, Bolehkah ?

1. Seorang wanita boleh mengunjungi suaminya yang tengah beri'tikaf.
ใ…ค
Begitu pula, sang suaminya pun diperbolehkan untuk mengantarkan sampai di pintu masjid. Shafiyyah Radhiallahu 'Anha bercerita: "Nabi Shallallahu' Alaihi wa Sallam pernah beri'tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Kemudian, aku datang mengunjungi beliau pada malam hari [saat itu di sisi beliau sudah ada beberapa istrinya lalu mereka pun pergi]. Maka aku berbicara dengan beliau beberapa saat. Selanjutnya, aku berdiri untuk kembali. [Beliau bersabda: 'Jangan tergesa-gesa, biar aku mengantarmu'].

Mengunjungi Suami Beritikaf di dalam Masjid

Kemudian beliau berdiri bersamaku untuk mengantarku —tempat tinggal Shafiyyah di rumah Usamah bin Zaid— hingga ketika sampai di pintu masjid yang tidak jauh dari pintu Ummu Salamah, tiba-tiba ada dua orang dari kaum Anshar yang melintas.

Ketika melihat Nabi, kedua orang itu mempercepat jalannya, maka Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: 'Jangan tergesa-gesa, sesungguhnya dia adalah Shafiyyah binti Huyay.' Keduanya menjawab: 'Mahasuci Allah, wahai Rasulullah.' Beliau bersabda: 'Sesungguhnya syaitan itu berjalan dalam diri manusia seperti aliran darah. Sesungguhnya aku khawatir syaitan itu akan mencampakkan kejahatan dalam hati kalian berdua—atau beliau bersabda—(mencampakkan) sesuatu.'" [1]


2. Seorang wanita boleh beri'tikaf bersama suaminya, ataupun sendirian.

Diriwayatkan dari Aisyah Radhiallahu 'Anha: "Nabi Shallallahu' Alaihi wa Sallam biasa beri'tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan sampai akhir hayatnya. Sepeninggal beliau, istri-istrinya pun beri'tikaf." [2]

Syaikh Al-Albani Rahimahullah berkata: "Di dalam hadits tersebut terkandung dalil yang menunjukkan diperbolehkannya wanita beri'tikaf. Tidak diragukan lagi bahwa kebolehannya itu dengan syarat ada izin dari walinya. Selain itu, jika keadaannya aman dari fitnah serta tidak berduaan dengan laki-laki, karena adanya banyak dalil mengenai hal tersebut dan kaidah fiqhiyyah, yaitu: "Menghindari kemudharatan harus lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan."

[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (IV/240) dan Muslim (2157). Tambahan terakhir adalah milik Abu Dawud (VII/142-143—Aunul Ma'bรปd).
[2] Takhrij hadits ini sudah diberikan sebelumnya.

Asy-Syaikh Abu Al-Harits - 'Ali bin Hasan bin 'Ali bin 'Abdul Hamid Al-Halabi &
Asy-Syaikh Abu Usamah - Salim bin 'Ied Al-Hilali

Judul Asli : Shifatu Shaumin Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam fii Ramadhan - Ahkaamul 'Iidain fis Sunnatil Muthahharah; Penerbit/Tahun : Al-Maktabah Al-Islamiyyah, Yordania. Cet. IV, Th. 1412 H - 1992 M | Daar Ibnu Hazm, Libanon. Cet. II, Th. 1414 H - 1993 M;

Judul Terjemahan : Meneladani Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam Berpuasa & Berhari Raya; Penerjemah : M. Abdul Ghofar E.M.; Editor : Taufik Saleh AlKatsiri, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Arman Amry, Lc; 

Murajaah Akhir : Tim Pustaka Imam Asy-Syafi'i; Cetakan Keempat : Rajab 1435 H/Mei 2014 M; Penerbit : Pustaka Imam Asy-Syafi'i; Kedua Puluh : I'tikaf; F. I'tikafnya Seorang Wanita dan Kunjungannya kepada Suaminya yang Beri'tikaf di dalam Masjid; Hal. : 131-132

Tidak ada komentar: