Tradisi Tukar Menukar Uang Receh plus tambahan

Tukar menukar uang receh yang menjadi tradisi di masyarakat kita, dan di situ ada kelebihan, termasuk riba. Rp 100rb ditukar dengan pecahan Rp 5rb, dengan selisih 10rb atau ada tambahannya. Ini termasuk transaksi riba. Karena berarti tidak sama, meskipun dilakukan secara tunai.

Karena rupiah yang ditukar dengan rupiah, tergolong tukar menukar yang sejenis, syaratnya 2: sama nilai dan tunai. Jika ada tambahan, hukumnya riba.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”

Riba tetap Riba, sekalipun Saling Ridha

Bagaimana jika itu dilakukan saling ridha? Bukankah jika saling ridha menjadi diperbolehkan. Karena yang dilarang jika ada yang terpaksa dan tidak saling ridha.

Dalam transaksi haram, sekalipun pelakunya saling ridha dan ikhlas, tidak mengubah hukum. Karena transaksi ini diharamkan bukan semata terkait hak orang lain. Tapi dia diharamkan karena melanggar aturan syariat.

Tradisi Tukar Menukar Uang Receh

Orang yang melakukan transaksi riba, sekalipun saling ridha, tetap dilarang dan nilainya dosa besar.

Transaksi jual beli khamr atau narkoba, hukumnya haram, sekalipun pelaku transaksi saling ridha.

Bagaimana dengan firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (QS. an-Nisa: 29)

Jawab:

Ayat ini kita yakini benar. aturannya juga benar. Namun Saling ridha yang menjadi syarat halal transaksi yang disebutkan dalam ayat ini, berlaku hanya untuk transaksi yang halal. Seperti jual beli barang dan jasa. Sementara transaksi haram, seperti riba, tidak berlaku ketentuan saling ridha. Karena semata saling ridha, tidak mengubah hukum.

Itu Upah Penukaran Uang

Ada yang beralasan, kelebihan itu sebagai upah karena dia telah menukarkan uang di bank. Dia harus ngantri, harus bawa modal, dst. jadi layak dapat upah.

Jelas ini alasan yang tidak benar. Karena yang terjadi bukan mempekerjakan orang untuk nukar uang di bank. tapi yang terjadi adalah transaksi uang dengan uang. Dan bukan upah penukaran uang. Upah itu ukurannya volume kerja, bukan nominal uang yang ditukar.

Misalnya, Pak Bos meminta Paijo menukarkan sejumlah uang ke bank. Karena tugas ini, Paijo diupah Rp 50 rb. Kita bisa memastikan, baik Pak Bos menyerahkan uang 1 juta untuk ditukar atau 2 juta, atau 3 juta, upah yang diserahkan ke Paijo tetap 50 rb. Karena upah berdasarkan volume kerja Paijo, menukarkan uang ini ke bank dalam sekali waktu.

Sementara kasus tukar menukar ini nilainya flat, setiap 100rb, harus ada kelebihan 10rb atau 5rb. Ini transaksi riba, dan bukan upah.

Sayangi Pahala Puasa Anda

Riba termasuk salah satu dosa besar. Bahkan salah satu dosa yang diancam dengan perang oleh Allah.

Allah berfiman,

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Jika kalian tidak meninggalkan riba, maka umumkan untuk berperang dengan Allah dan Rasul-Nya (al-Baqarah: 279)

Ibnu Abbas menjelaskan ayat ini,

يُقَالُ يَومَ القِيَامَةِ لِآكلِ الرِّبَا: خُذْ سِلَاحَكَ لِلحَرْبِ
Besok di hari kiamat para pemakan riba akan dipanggil, “Ambil senjatamu, untuk perang!” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/716)

Dalam hadis, dosa riba disetarakan seperti berzina dengan ibunya

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبعُونَ بَابًا أَيسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّه
Riba itu ada 73 pintu. Pintu riba yang paling ringan, seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibunya. (HR. Hakim 2259 dan dishahihkan ad-Dzahabi).

Karena itulah, para salaf menyebut dosa riba lebih parah dari pada zina,

Ada pernyataan Ka’ab al-Ahbar,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً
Satu dirham riba yang dimakan seseorang, sementara dia tahu, lebih buruk dari pada 36 kali berzina. (HR. Ahmad 21957, dan ad-Daruquthni 2880)

Sementara dosa dan maksiat adalah sumber terbesar kegagalan puasa manusia. Dosa merupakan sebab pahala yang kita miliki berguguran. Ketika ramadhan kita penuh dengan dosa, puasa kita menjadi sangat tidak bermutu. Bahkan sampai Allah tidak butuh dengan ibadah puasa yang kita kerjakan.

Semacam inilah yang pernah diingatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis shahih riwayat Bukhari dan yang lainnya, dari sahabat Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan semua perbuatan dosa, maka Allah tidak butuh dengan amalnya (berupa) meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari 1903)

Ketika ada orang yang berzina di malam ramadhan, apa yang bisa dibayangkan dengan nasib puasanya?

Bisa jadi hilang semua pahalanya.

Apa yang bisa anda bayangkan, ketika orang melakukan transaksi riba, yang dosanya lebih sangar dari pada zina, dilakukan terang-terangan di siang bolong ramadhan?

artikel konsultasisyariah.com

Tidak ada komentar: