Benarkah ungkapan "boleh isbal kalau tak sombong"

Isbal artinya menjulurkan pakaian di bawah mata kaki. Rosullullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sarung seorang mukmin sampai pertengahan betis dan tidak mengapa jika sampai kedua mata kakinya (tidak menutupinya), dan yang di bawah kedua mata kakinya maka di neraka. Dan yang berada dibawah mata kaki tempatnya di neraka.” (HR. Imam Malik dalam "Al-Muwattho'", Abu Dawud dengan sanad yang shohih)

Beliau juga bersabda, “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat. Tidak dilihat, tidak disucikan dan akan merasakan azab yang pedih, mereka adalah orang-orang yang melakukan isbal, orang yang mengungkit-ngungkit pemberian, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)


Ibnu Hajar Al-‘Asqolani Asy-Syafi’i berkata, “Kesimpulannya isbal itu menjulurkan pakaian, sedangkan menjulurkan pakaian adalah kesombongan sekalipun tidak berniat sombong. Hal itu diperkuat oleh riwayat yang dikeluarkan Ahmad bin Mani’ dengan sanad lain dari Ibnu 'Umar. Dalam hadits tersebut dikatakan, “Hati-hatilah engkau dari menjulurkan pakaian karena menjulurkan pakaian itu tergolong kesombongan.” (Fat-hul Bari 10/264)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin menjelaskan, “Menjulurkan kain sarung dengan maksud sombong hukumannya ialah Allah tidak akan melihat dia pada hari kiamat, tidak akan berbicara dengannya, tidak akan mensucikannya, dan dia akan merasakan azab yang pedih. Adapun bila tidak diniatkan sombong maka hukumnya adalah apa yang di bawah mata kaki akan disiksa di neraka.”
Rosulullah tidak membatasi perkara isbal dengan kesombongan. Adalah kesalahan bila membatasinya dengan kesombongan. Hal itu ditegaskan dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata, bahwa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إزرة المؤمن إلى نصف الساق ولا حرج أو لا جناح فيما بينه وبين الكعبين ما كان أسفل من ذلك فهو في النار ومن جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه يوم القيامة
”Sarung seorang mukmin sampai pertengahan betis dan tidak mengapa jika sampai kedua mata kakinya (tidak menutupinya), dan yang di bawah kedua mata kakinya maka di neraka. Dan barangsiapa menjulurkan sarungnya dengan maksud sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (HR. Malik, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan lainnya)

Perhatikan, di sini Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan dua permasalahan dalam satu hadits, dan beliau juga menerangkan perbedaan hukum antara keduanya karena adanya perbedaan konsekuensi sehingga kedua masalah itu berbeda dari sisi perbuatannya dan berbeda pula secara hukum maupun konsekuensinya.

Jika hukum dan sebabnya berbeda maka tidak boleh membawa dalil yang mutlaq (tanpa batasan) kepada yang muqoyyad (dengan batasan). Karena kaidah membawa dalil yang mutlaq kepada muqoyyad haruslah memenuhi syarat yaitu kesesuaian hukum antara nash yang mutlaq dengan yang muqoyyad. Namun jika terdapat perbedaan hukum, maka tidak boleh membatasi nash mutlaq dengan nash yang muqoyyad.” (Al-As’ilah Al-Muhimmah hal. 29)

Benarkah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membolehkan isbal?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam "Syarhul 'Umdah" hanya menukil keterangan para Ulama yang berbeda pendapat antara yang membolehkan jika tidak disertai kesombongan dan yang mengharomkannya secara mutlak. Akan tetapi pada keterangan selanjutnya beliau menegaskan:

"Wa bikulli hal, hukumnya sunnah (ajaran Nabi yang wajib diikuti) menaikkan pakaian (di atas mata kaki) dan batasannya adalah antara pertengahan betis sampai mata kaki. Maka apabila kain berada di atas mata kaki maka hal itu tidak mengapa, namun apabila berada di bawah mata kaki maka di neraka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Huroiroh dst......" (Syarhul 'Umdah 4/363)

Beliau juga berkata, "Meskipun isbal serta menjulurkan pakaian itu hukumnya terlarang berdasarkan kesepakatan para Ulama; apalagi hadits-hadits yang melarang isbal ini lebih banyak; maka isbal hukumnya tetap harom menurut pendapat yang benar.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim 1/130)

Al-Ustâdz Fikri Abul Hasan
Sumber: manhajul-haq

Tidak ada komentar: