Malu Yang Tercela

Walaupun sifat malu itu terpuji, namun malu bisa menjadi tercela jika ia menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu agama atau melakukan sesuatu yang benar.

Para salaf mengatakan:

ﻻ ﻳﻨﺎﻝ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻣﺴﺘﺤﻰ ﻭ ﻻ ﻣﺴﺘﻜﺒﺮ
“orang yang pemalu tidak akan meraih ilmu, demikian juga orang yang sombong”.

Dan jika kita menelaah perbuatan salafus shalih, ternyata dalam hal-hal yang biasanya orang-orang malu melakukannya, mereka tidak malu jika itu demi mendapatkan ilmu agama atau demi melakukan yang benar dan terhindar dari kesalahan dan dosa.

Sebagaimana kisah Ummu Sulaim radhiallahu’anha , beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ، ﺇﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻻ ﻳَﺴﺘَﺤِﻲ ﻣﻦَ ﺍﻟﺤﻖِّ ، ﻓﻬﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓِ ﻏُﺴﻞٌ ﺇﺫﺍ ﺍﺣﺘَﻠَﻤَﺖْ ؟ ﻓﻘﺎﻝ : ‏( ﻧﻌﻢْ ، ﺇﺫﺍ ﺭﺃﺕِ ﺍﻟﻤﺎﺀَ
“wahai Rasullah, sesungguhnya Allah itu tidak merasa malu dari kebenaran. Apakah wajib mandi bagi wanita jika ia mimpi basah? Rasulullah bersabda: ‘ ya, jika ia melihat air (mani) ‘” (HR. Al Bukhari 6121, Muslim 313).

Permasalahan mimpi basah tentu hal yang tabu untuk dibicarakan. Namun lihatlah, Ummu Salamah radhiallahu’anha tidak malu menanyakannya demi mendapatkan ilmu dan demi melakukan hal yang benar. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun tidak mengingkarinya. Karena andai ia tidak bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentu ia tidak tahu bagaimana fiqih yang benar dalam perkara ini dan akan terjerumus dalam kesalahan.

Hal ini sebagaimana juga dalam hadits yang dikeluarkan Imam Muslim dalam

Shahih-nya, hadits dari ‘Aisyah radhiallahu’anha , beliau berkata:

ﺇﻥ ﺭﺟﻠًﺎ ﺳﺄﻝ ﺭﺳﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋﻠﻴﻪِ ﻭﺳﻠَّﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞِ ﻳُﺠﺎﻣِﻊُ ﺃﻫﻠَﻪ ﺛﻢ ﻳَﻜْﺴَﻞُ . ﻫﻞ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﺍﻟﻐُﺴْﻞُ ؟ ﻭﻋﺎﺋﺸﺔُ ﺟﺎﻟﺴﺔٌ . ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋﻠﻴﻪِ ﻭﺳﻠَّﻢ ﺇﻧﻲ ﻟَﺄَﻓْﻌَﻞُ ﺫﻟﻚ . ﺃﻧﺎ ﻭﻫﺬﻩ . ﺛﻢ ﻧﻐﺘﺴﻞُ
“ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tentang seorang yang lain, yang ia berjima’ dengan istrinya lalu mengeluarkan mani di luar ( ‘azl ), “apakah ia wajib mandi?”, tanyanya. Ketika itu ‘Aisyah duduk di samping Rasulullah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, ‘ sungguh aku melakukan itu, aku dan wanita ini (‘Aisyah). Lalu kami mandi‘”. (HR. Muslim 350).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat tidak malu membahas hal yang sifatnya privat dalam rangka mengajarkan dan mendapatkan ilmu.

Dalam kisah yang lain di Shahih Muslim juga, suatu hari sekelompok kaum Anshar dan Muhajirin berselisih pendapat mengenai batasan jima’ yang mewajibkan mandi.

Pihak kaum Anshar berpendapat bahwa tidak wajib mandi jika tidak ada mani yang keluar.

Sedangkan pihak kaum Muhajirin berpendapat wajib mandi jika suami dan istri sudah bercampur badan, walaupun tidak keluar mani.

Abu Musa Al Asy’ari melihat perselisihan ini mencoba menengahi dengan cara bertanya kepada istri Nabi, ‘Aisyah radhiallahu’anha . Abu Musa Al Asy’ari berkata kepada ‘Aisyah:

ﻳﺎ ﺃﻣﺎﻩ ! ‏( ﺃﻭ ﻳﺎ ﺃﻡ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ! ‏) ﺇﻥ ﺃﺭﺩ ﺃﻥ ﺃﺳﺄﻟﻚ ﻋﻦ ﺷﻲﺀ . ﻭﺇﻥ ﺃﺳﺘﺤﻴﻴﻚ . ﻓﻘﺎﻟﺖ : ﻻ ﺗﺴﺘﺤﻲ ﺃﻥ ﺗﺴﺄﻟﻨﻲ ﻋﻤﺎ ﻛﻨﺖ ﺳﺎﺋﻼ ﻋﻨﻪ ﺃﻣﻚ ﺍﻟﺘﻲ ﻭﻟﺪﺗﻚ . ﻓﺈﻧﻤﺎ ﺃﻧﺎ ﺃﻣﻚ . ﻗﻠﺖ : ﻓﻤﺎ ﻳﻮﺟﺐ ﺍﻟﻐﺴﻞ ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﺒﻴﺮ ﺳﻘﻄﺖ . ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ” ﺇﺫﺍ ﺟﻠﺲ ﺑﻴﻦ ﺷﻌﺒﻬﺎ ﺍﻷﺭﺑﻊ ، ﻭﻣﺲ ﺍﻟﺨﺘﺎﻥ ﺍﻟﺨﺘﺎﻥ ، ﻓﻘﺪ ﻭﺟﺐ ﺍﻟﻐﺴﻞ “
“wahai Ibu (ibunya kaum mu’minin), aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu, tapi aku malu. ‘Aisyah lalu berkata: ‘jangan engkau malu bertanya, jika engkau bertanya kepada ibu yang melahirkanmu. dan sesungguhnya aku ini ibumu juga. Abu Musa lalu berkata: ‘bagaimana batasan jima’ yang mewajibkan mandi?’. ‘Aisyah berkata: ‘engkau bertanya kepada orang yang tepat, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘ jika seseorang lelaki duduk diantara empat anggota badan istrinya, lalu dua kemaluan saling bertemu, maka wajib mandi‘” (HR. Muslim 349).

Ummul Mu’minin Aisyah radhiallahu’anha , rasa malu tidak menghalanginya untuk mengajarkan ilmu agama kepada umat dan dengannya terkikislah perselisihan.

Demikianlah, seseorang tidak boleh malu dalam melakukan yang haq dan dalam menjauhi kesalahan dan dosa.


Malu ketika akan melakukan yang haq atau malu untuk menjauhi kesalahan dan dosa, pada hakekatnya itu bukanlah malu dalam pandangan syariat.

Coba renungkan kembali makna malu yang disampaikan Ibnu Rajab rahimahullah di atas.

Bahkan yang demikian adalah sifat lemah dan pengecut.

Sifat pengecut ini tercela, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ﺷَﺮُّ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺭَﺟُﻞٍ ﺷُﺢٌّ ﻫَﺎﻟِﻊٌ ﻭَﺟُﺒْﻦٌ ﺧَﺎﻟِﻊٌ
“ Seburuk-buruk sifat yang ada pada seseorang adalah sifat pelit yang sangat pelit dan sifat pengecut yang sangat pengecut” (HR. Abu Daud 2511, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah 560).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga mengajarkan kita berlindung dari sifat pengecut dan lemah.

Beliau mengajarkan doa:

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻋُﻮﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻬَﻢِّ ، ﻭَﺍﻟْﺤَﺰَﻥِ ، ﻭَﺍﻟْﻌَﺠْﺰِ ، ﻭَﺍﻟْﻜَﺴَﻞِ ، ﻭَﺍﻟْﺒُﺨْﻞِ ، ﻭَﺍﻟْﺠُﺒْﻦِ ، ﻭَﻓَﻀَﺢِ ﺍﻟﺪَّﻳْﻦِ ، ﻭَﻗَﻬْﺮِ ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝِ
“ Ya Allah aku memohon perlindungan dari kegelisahan, kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat bakhil dan pengecut, dari beban hutang dan penindasan oleh orang-orang ” (HR. At Tirmidzi 3484, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi ).

Tidak ada komentar: