Penyebab Adanya Yang Membolehkan Pelafazan Niat

Penyebab timbulnya was-was adalah karena niat terkadang hadir di hati si orang ini dengan keyakinan bahwa niat itu tidak ada di hatinya.

Maka ia pun berusaha menghadirkannya dengan lisannya.

Sehingga terjadi apa yang terjadi. Abu Abdillah Az Zubairi, ulama Syafi’iyah, telah salah dalam memahami perkataan Imam Asy Syafi’i rahimahullahu ta’ala yaitu ketika menyimpulkan bahwa wajib melafazkan niat dalam shalat dari perkataan beliau.

Ini disebabkan oleh buruknya pemahaman terhadap ungkapan imam Asy Syafi’i berikut:

إذا نوى حجّاً وعمرة أجزأ، وإنْ لم يتلفّظ وليس كالصّلاة لا تصح إلا بالنّطق 
“Jika seseorang berniat haji atau umrah maka itu sah walaupun tidak diucapkan. Berbeda dengan shalat, shalat tidak sah kecuali dengan pengucapan”

Imam An Nawawi berkata:

قال أصحابنا: غلط هذا القائل، وليس مراد الشافعي بالنّطق في الصّلاة هذا، بل مراده التكبير 
“Para ulama madzhab kami berkata, yang berkata demikian telah salah. Bukanlah maksud Imam Asy Syafi’i itu melafazkan niat dalam shalat, namun maksudnya adalah takbir” (Al Majmu’, 3/243)


Pelafazan Niat

Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi berkata:

لم يقل أحد من الأئمة الأربعة، لا الشّافعيّ ولا غيره باشتراط التلفّظ بالنيّة، وإنما النيّة محلّها القلب باتّفاقهم، إلا أن بعض المتأخرين أوجب التلفّظ بها، وخرج وجهاً في مذهب الشافعي! قال النووي رحمه الله: وهو غلط، انتهى. وهو مسبوق بالإجماع قبله 
“Tidak ada seorang imam pun, baik itu Asy Syafi’i atau selain beliau, yang mensyaratkan pelafazan niat. Niat itu tempatnya di hati berdasarkan kesepakatan mereka (para imam). Hanya segelintir orang-orang belakangan saja yang mewajibkan pelafazan niat dan berdalih dengan salah satu pendapat dari madzhab Syafi’i. Imam An Nawawi rahimahullah berkata itu sebuah kesalahan. Selain itu, sudah ada ijma dalam masalah ini” (Al Ittiba’, 62)

Ibnul Qayyim berkata:

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika memulai shalat beliau mengucapkan الله أكبر dan tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya. Beliau juga tidak pernah sama sekali melafazkan niat. Beliau tidak pernah mengucapkan ushallli lillah shalata kadza mustaqbilal qiblah arba’a raka’atin imaaman atau ma’muuman (saya meniatkan shalat ini untuk Allah, menghadap qiblat, empat raka’at, sebagai imam atau sebagai makmum). 

Beliau juga tidak pernah mengucapkan ada-an atau qadha-an juga tidak mengucapkan fardhal waqti. Ini semua adalah bid’ah. Dan sama sekali tidak ada satu pun riwayat yang memuat ucapan demikian, baik riwayat yang shahih, maupun yang dhaif, musnad, ataupun mursal. Juga tidak ada dari para sahabat. Juga tidak ada istihsan dari seorang tabi’in pun, atau dari ulama madzhab yang empat.

Ucapan demikian hanya berasal dari orang-orang belakangan yang menyalah-gunakan perkataan imam Asy Syafi’i tentang shalat:

إنها ليست كالصّيام ولا يدخل فيها أحدُ إلا بذكر
‘Shalat itu tidak seperti puasa, memulainya harus dengan dzikir’

Mereka menyangka bahwa dzikir di sini adalah melafazkan niat. Padahal yang dimaksud Asy Syafi’i adalah takbiratul ihram. Tidak mungkin tidak. Bagaimana mungkin Asy Syafi’i menganjurkan hal yang tidak pernah sekalipun dilakukan Nabi Shallallahu’alaihi Wa sallam dalam shalat? Juga tidak pernah dilakukan sahabatnya juga para khalifah. Demikianlah petunjuk dan kebiasaan mereka. Andai kita menemukan satu huruf saja dari mereka, maka tentu akan kita terima. Bahkan kita terima dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang paling sempurna selain dari mereka. Dan tidak ada sunnah kecuali apa yang datang dari sang pembawa syari’at, Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam” (Zaadul Ma’ad, 1/201)

Tidak ada komentar: