Politik Uang: Kandidat Beri, Timses Fasilitasi, Pemilih Nikmati, Laknat Dinanti

Politik Uang

Segala puji hanya untuk Allah, Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga tercurah bagi Muhammad Rasulillah, para sahabat dan pengikutnya.

Tak lama lagi musim pemilu. Jelang pemilihan caleg, bupati, walikota, gubernur, presiden dan jabatan lainnya, orang yang ikut mencalonkan diri (kandidat) biasanya berusaha memenangkan pemilu dengan menggunakan uang sebagai senjata utama. Strateginya banyak, di antaranya:

Pengadaan fasilitas masjid (karpet, sound system dan lainnya) lalu minta takmir mengumumkan fasilitas itu adalah dari si kandidat.

Kampanye di majelis ta’lim wanita, memberikan ‘bantuan’ seragam kajian dan rebananya.
Mendatangi para ketua RT dan menjanjikan semenisasi gang dan posyandu.

Ada strategi yang murah meriah, seperti:

Membagikan kaos oblong bergambar wajah sendiri, sembako dan sabun cuci yang sudah ditempeli stiker diri kepada masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

Membagikan amplop berisi stiker diri dan sejumlah uang di pagi hari pemilu di halaman rumah masyarakat (biasa disebut serangan fajar).

Adapun teknis penyalurannya bisa dengan membentuk tim sukses (timses) calon yang akan membantu pembagiannya, memanfaatkan tokoh masyarakat, bahkan ‘menyalurkan’ langsung.

Politik Uang

Kandidat tidak akan ‘memberi’ secara cuma-cuma. Tujuan mereka satu: Terpilih. Mereka berharap akan memperoleh dukungan yang lebih luas sehingga probabilitas terpilih akan lebih besar. Dalam dunia politik, ini disebut politik uang (money politics). Apa hukumnya menurut Islam?

Politik uang (suap) adalah haram, melakukannya berdosa

Di antara dasar pengharamannya:

Di Indonesia, politik uang dilarang, misalnya dalam UU No. 3 tahun 1999 pasal 73 ayat 3: “Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang (…) dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap (…)” Dengan demikian, praktek politik uang supaya kandidat dipilih adalah ilegal dan termasuk tindak kejahatan. Pelakunya yang terbukti melakukannya akan dijatuhi hukuman.

Karena ada ancaman hukuman, maka secara umum pelakunya berada dalam kondisi:

Ragu dan khawatir sebelum mengerjakannya
Sembunyi-sembunyi (takut ketahuan) saat melakukannya
Merasa gelisah/cemas setelahnya.

Pelaku akan berusaha menghilangkan jejak suapnya, misalnya dengan memberi tanpa hitam di atas putih. Terkadang mereka gunakan sandi khusus untuk mengaburkan, seperti dengan menamai jenis-jenis barang suap dengan nama buah-buahan.

Dari sini, kita katakan politik uang adalah haram dan melakukannya berdosa, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Dosa itu adalah yang menimbulkan kegelisahan/kecemasan di hatimu dan engkau tidak suka apabila manusia mengetahui engkau melakukannya.” (HR. Muslim no. 2553, At-Tirmidzi no. 2565, Ibnu Hibban no. 397, Al-Hakim no. 2132 dari sahabat Nawwas bin Sam’an Al-Anshariy radhiallahu ‘anhu)

Dalam riwayat lain:

وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِى الصَّدْرِ
“Dosa itu adalah yang menimbulkan kegelisahan/kecemasan pada jiwa dan menimbulkan keraguan di dalam dada.” (HR. Ad-Darimy no. 2588, Ahmad no. 18386 dari sahabat Wabishah bin Ma’bad radhiallahu ‘anhu)

Politik uang termasuk pemberian dengan harapan atau kepentingan terhadap suatu jabatan. Ini jelas termasuk bentuk risywah (suap) yang diharamkan dalam agama.

Terdapat hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang risywah:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi risywah (yang menyuap) dan penerima/peminta risywah (yang disuap).” (HR. Abu Daud no. 3582, At-Tirmidzi no. 1386, Ahmad no. 6689 dari sahabat Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. At-Tirmidzi menilai hadits ini hasan shahih.)

Dalam riwayat lain:

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى
“Laknat Allah atas pemberi risywah (yang menyuap) dan penerima/peminta risywah (yang disuap).” (HR. Ibnu Majah no. 2401 dari sahabat Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma)

Para ulama, di antaranya yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (Komite Tetap Penelitian Ilmiah dan Fatwa) Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa haramnya kandidat memberi sesuatu kepada pemilih supaya ia dipilih dalam pemilu (politik uang). Fatwa tersebut tercantum dalam kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ jilid 23 (Bab Al-Aiman, Al-Nudzur, Al-Imamah) hal. 541, fatwa no. 7245, dengan teks sebagai berikut:

Pertanyaan:

ما حكم الإسلام إذا قام المرشح في الانتخابات النيابية بإعطاء الناخب مالاً مقابل أن يدلي له بصوته في الانتخابات، وما عقوبة هذا؟ أفيدونا جزاكم الله خيرًا وجعلكم ذخرًا للإسلام؟
Apa hukum dalam Islam, jika kandidat dalam pemilu wakil rakyat memberi sejumlah harta kepada pemilih dengan tujuan agar ia memberikan suaranya kepada si kandidat dalam pemilu? Apa sanksi atas perbuatan ini? Mohon jawaban untuk kami. Semoga Allah membalas Anda sekalian dengan kebaikan dan menjadikan Anda semua orang-orang yang berharga di dalam Islam.

Jawaban:

إعطاء الناخب مالاً من المرشح من أجل أن يصوت باسمه نوع من الرشوة، وهي محرمة. وأما النظر في العقوبة فمرجعه المحاكم الشرعية. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Pemberian harta kepada pemilih oleh kandidat dalam pemilu dengan harapan agar ia memberikan suaranya kepada si kandidat merupakan risywah (suap). Hukumnya haram. Adapun sanksi atas perbuatan itu rujukannya adalah pengadilan syar’iyyah. Wa billahi at-taufiq. Semoga Allah memberikan shalawat dan keselamatan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz (ketua), Syaikh Abdurrazzaq Afifi (wakil ketua), Syaikh Abdullah bin Ghudayyan (anggota) dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud (anggota)).

Fatwa di atas berlaku dalam pemilu legislatif (anggota dewan), pejabat eksekutif (bupati, walikota, gubernur, presiden dan jabatan lainnya), bahkan dalam pemilihan pimpinan dalam organisasi atau perusahaan swasta.

Laknat dalam politik uang untuk kandidat, tim sukses dan pemilih yang meminta/mengambil

Dalam hadits yang lalu telah disebutkan bahwa laknat Allah dan Rasul-Nya karena berlaku bagi:

1. Ar-Raasyi atau pemberi risywah (yang menyuap)
2. Al-Murtasyi atau penerima/pemintarisywah (yang disuap).
Lalu bagaimana dengan tim sukses (timses) yang menjadi fasilitator suap antara penyuap dan yang disuap?

Terdapat riwayat hadits dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

لَعَنَ اللهُ الرَّاشِي وَ الْمُرْتَشِي وَ الرَّائِشَ الَّذِيْ يَمْشِيْ بَيْنَهُمَا
“Allah melaknat yang menyuap, yang disuap dan perantara yang menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad 2/279, Al-Hakim no. 7068, Al-Bazzar no. 1353, Ath-Thabraniy dalam Al-Kabir no. 1415. dari sahabat Tsauban radhiallahu ‘anhu. Al-Haitsamiy berkata dalam Al-Majma’ (4/198) bahwa dalam riwayat ini ada Abu Al-Khaththab dan dia majhul. Sanad hadits ini dinilai hasan oleh Al-Munawiy dalam At-Taisir bi Syarh Ash-Shaghir (2/292) dan Al-‘Ajluniy dalam Kasyf Al-Khafa’ 2/186 (2048))

Dalam hadits di atas, Allah juga melaknat seorang raaisy (perantara risywah). Walaupun diperselisihkan derajat sanadnya oleh sebagian ulama, namun hadits ini tetap bisa dijadikan dalil bahwa timses yang memfasilitasi suap juga mendapatkan dosa dan laknat–Nya.

Hal ini juga didukung oleh argumentasi lain:

1. Membantu proses suap-menyuap adalah bentuk tolong menolong dalam perkara yang diharamkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maaidah: 2)

2. Timses yang ikut membagikan suap hakekatnya adalah pengganti kandidat penyuap. Ada kaidah fiqih yang berbunyi:

يَقُوْمُ الْبَدَلُ مَقَامَ الْمُبْدَلِ
“Pengganti menempati posisi yang diganti.”

Timses juga merupakan sarana terlaksananya risywah, sementara hukum sarana sama dengan hukum tujuannya. Ada kaidah fiqih yang berbunyi:

الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ
“Hukum sarana sesuai dengan hukum tujuan.”

Dengan demikian, jika kandidat penyuap mendapatkan dosa dan laknat, maka timses yang bertindak selaku pengganti kandidat dan sarana dalam suap juga akan mendapatkan dosa dan laknat yang sama.

Kesimpulan

1. Banyak kandidat pemilu yang berusaha memenangkan pemilu dengan politik uang (money politics).

2. Politik uang dilarang di dalam undang-undang pemerintah di Indonesia. Karenanya, politik uang adalah ilegal dan termasuk tindak kejahatan yang pelakunya jika terbukti melakukannya akan dijatuhi hukuman.

3. Di dalam Islam, politik uang adalah haram, melakukannya berdosa, pelakunya diancam laknat Allah dan Rasul-Nya, karena termasuk suap-menyuap (risywah) demi mendapatkan jabatan.

4. Laknat Allah dan Rasul-Nya dalam politik uang berlaku bagi kandidat penyuap, tim sukses yang menjadi fasilitator dan pemilih yang meminta/mengambil suap.

5. Menjadi timses fasilitator politik uang merupakan bentuk tolong menolong dalam perkara yang diharamkan.

Semoga Allah merahmati bangsa ini dengan menyadarkan mereka bahaya suap menyuap dalam pemilu dan menganugerahkan mereka dengan pemimpin yang baik di masa mendatang.

Ditulis oleh Ustadz Muflih Safitra MSc, hafidzohulloh

Tidak ada komentar: