Menanam Demokrasi, Berbuah Persekusi | DR. Ahmad Sastra

Oleh : DR. Ahmad Sastra

Bagi pembaca yang sering membaca goresan pena penulis, pasti sudah memahami dengan baik bahwa penulis memang selalu memberikan kritik tajam terhadap sistem demokrasi. Bahkan banyak yang menilai bahwa penulis adalah anti-demokrasi.

Kritik terhadap demokrasi bukan tanpa alasan. Al Qur’an sendiri menganjurkan umatnya untuk menjadi generasi ulil albaab yang senantiasa memperdalam ilmu dan kritis terhadap informasi, teori, proposisi atau postulat yang dikemukakan orang lain, terlebih Barat.

Dalam Al Qur’an kata ulil albab disebutkan sebanyak 16 kali, diantaranya QS Al Baqarah : 179, 197, dan 269. Ali Imran : 7 dan 190, Ibrahim : 52, Al Ra’d : 19, Al Mukmin : 54, Shad : 29 dan 43, Al Maidah : 100, Yusuf : 111, Al Zumar : 9, 18 dan 21, Al Thalaq : 10.

Menanam Demokrasi, Berbuah Persekusi

Secara genealogis, sebagaimana sering penulis ungkapkan, bahwa demokrasi berasal dari paradigma barat yang sekuler dan anti agama. Lebih dari itu, demokrasi adalah sebuah hegemoni politik barat untuk melumpuhkan negeri-negeri muslim. Karena itu secara genetic, demokrasi adalah anti Islam.

Faktanya, meski slogan demokrasi adalah kebebasan berpendapat, namun jika umat Islam mulai bangkit dan sadar dengan agamanya, oleh demokrasi justru dihadang dan dilumpuhkan. Jika ada seruan umat Islam untuk bersatu, maka demokrasi langsung bereaksi memecah belahnya. Maka adu domba, fitnah, kriminalisasi hingga persekusi terhadap Islam dan kaum muslimin telah menjadi fenomena umum belakangan ini.

Yang dimaui oleh kebebasan demokrasi adalah kebebasan yang sesuai dengan paradigmanya. Hak asasi manusia yang digaungkan oleh demokrasi adalah hak asasi untuk melakukan perbuatan maksiat. Jika yang dilakukan oleh umat Islam adalah mendakwahkan Islam, maka demokrasi akan menuduh radikal dan intoleran. Sementara perilaku maksiat dibiarkan tumbuh subur.

Kebebasan kepemilikan ala demokrasi dimaksudkan untuk melakukan imperialisme dan kolonialisme terhadap sumber daya alam negeri-negeri muslim. Sementara Islam mengharamkan privatisasi atas sumber daya milik umum. Dengan dalih privatisasi, demokrasi sejatinya adalah penjajahan itu sendiri. Akibatnya negeri-negeri muslim terjerat hutang ribawi dan mengalami kebangkrutan, meski kaya akan sumber daya alam.

Itulah mengapa para pemuja demokrasi begitu membenci kebangkitan Islam atau membenci gerakan rakyat yang dianggap merugikan hegemoni yang sedang mereka bangun. Celakanya, banyak bercokol di negeri-negeri muslim, para pemuja demokrasi yang meraup materi dengan proyek-proyek demokratisasi.

Hingga tak jarang kita temukan kaum muslimin yang justru berlomba ikut mendeskriditkan Islam dan kaum muslimin yang ingin memperjuangkan Islam. Tak segan mereka membebek barat dengan membangun narasi radikal atas segala upaya kaum muslimin menegakkan Islam. Bisa jadi karena telah kenyang dengan proyek, bisa juga karena ketidaktahuan mereka.

Padahal Al Qur’an telah mengingatkan bahwa hanya Islam yang benar dan harus berhati-hati terhadap informasi yang [tabayun] terhadap proposisi yang berasal dari kaum fasik. Jangan sebaliknya, mencurigai perjuangan Islam dan membanggakan demokrasi sekuler. Lebih celaka lagi jika ada muslim yang memilih demokrasi dan menolak Islam.

Padahal secara genealogis sudah jelas, bahwa Islam berasal dari Allah Yang Maha Benar dan demokrasi dari Barat yang tidak benar. Tuhannya Islam jelas, Allah namanya, sementara demokrasi, siapa tuhannya ?. Islam, tuhannya jelas, kitabnya jelas, nabinya jelas, kiblatnya jelas, benderanya jelas, dan negaranya jelas. Sementara demokrasi, semuanya serba absurd. Karena itu upaya demokratisasi tentu berbeda dengan islamisasi, seperti langit dan bumi.

Postulat Islam demokrasi atau demokrasi Islam adalah interpretasi hermeneutik yang kacau balau. Intinya Islam ya Islam, demokrasi ya demokrasi, dua term yang berbeda 180 derajat dan tidak bisa dicampur aduk. Islam melarang umatnya mencampuraduk antara yang hak dan batil, hukum Allah dan hukum jahiliyah. Batil artinya kesalahan, kemungkaran dan kejahatan.

Dan janganlah kamu campur aduk kebenaran dan kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya [QS Al Baqarah : 42] Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS. Al Maidah : 50).

Sebagai contoh, yang akhir-akhir ini terjadi adalah bukti kebusukan sistem demokrasi. Secara teoritis demokrasi menebarkan kebebasan berpendapat, namun faktanya justru mempersekusi pendapat yang berbeda itu. Para pemuja demokrasi melarang persekusi, tapi merekalah pelaku persekusi itu. Mereka melarang sikap intoleran, justru mereka sendiri yang intoleran terhadap perbedaan.

Dalam istilah gaulnya demokrasi itu maling teriak maling, radikal teriak radikal, intoleran teriak intoleran, persekusi teriak persekusi. Kasus yang menimpa Neno Warisman dan Prof Suteki serta kriminalisasi terhadap para ulama hanyalah segelintir betapa busuknya demokrasi. Mulut demokrasi bukan hanya busuk tapi penuh dusta.

Rakyat Indonesia oleh panjajah diminta untuk menanam demokrasi, namun justru kini panen persekusi. Para ulama dan intelektual yang menyuarakan Islam justru dipersekusi secara tidak adil. Jika diukur oleh sila pancasila, maka demokrasi itu tidak berperikemanusiaan, tidak berkeadilan dan tidak beradab.

Jika ditimbang dengan Islam, demokrasi adalah sistem kufur yang haram diadopsi, disebarkan dan diterapkan karena menetapkan kebenaran atas suara manusia. Kekuasaan demokrasi seringkali menjadi tuhan baru yang menetapkan kebenaran atas manusia dan mengabaikan kebenaran wahyu, padahal mereka dusta.

Dan jika kamu mengikuti kebanyakan manusia di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan (QS Al An’am : 116).

Melakukan perbandingan antara Islam dengan demokrasi adalah perbandingan yang buruk. Sebab Islam adalah masalah perintah Allah, sementara demokrasi adalah kebebasan manusia. Studi perbandingan seperti ini dipelopori oleh Iblis, saat diperintahkan oleh Allah untuk ‘sujud’ kepada Adam, malaikat langsung tunduk perintah. Sementara Iblis membangkang, dengan apologi perbandingan antara penciptaan Adam dari tanah dengan dirinya yang diciptakan dari api. [lihat : Kitab Qashash Al Anbiyaa’, 2002 : 20-21].

Karena itu membandingkan Islam dengan demokrasi, selain perbandingan buruk, studi perbandingan ini adalah metode Iblis untuk membangkang perintah Allah. Kebebasan ala demokrasi akan menjauhkan manusia dari ketundukan kepada Allah. Apakah kita mau menjadi pengikut iblis dengan membenarkan demokrasi dan mempersekusi Islam ?.

Tapi umat Islam harus terus berjuang, jangan pernah takut, kecuali hanya kepada Allah. Karena sudah menjadi sunnatullah, manusia dan setan akan saling bermusuhan, sejak Nabi Adam hingga kiamat.[QS Al A’raf : 24]. Iblis berjanji akan terus menyesatkan manusia. [QS Al A’raf : 16-17].
Saat Rasulullah mengalami berbagai persekusi dalam dakwahnya oleh rezim berkuasa, maka Allah mengingatkan agar tetap tawaqal. Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang- orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pelindung. (QS Al Ahzab : 48).

Tapi yang pasti, tidak ada manusia yang bisa memberikan mudharat, kecuali atas kehendak Allah. Semakin banyak persekusi oleh demokrasi, maka sesungguhnya ideologi ini sedang sekarat dan mendekati kehancuran. Islam tidak akan pernah kehabisan pejuang hingga hari kiamat. Maka dengan terus istiqomah memperjuangkan Islam, meski didera oleh persekusi, suatu saat kebenaran Islam pasti dimenangkan oleh Allah.

Sebab ketika kebenaran Islam telah datang, maka kebatilan demokrasi akan lenyap, maka tetaplah bersabar di jalan Allah. Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al Hasyr : 7).

[AhmadSastra, KotaHujan, 30/08/18 : 24.30 WIB]

artikel konfrontasi.com

Tidak ada komentar: