Tidak Isbal Itu Lebih Ringan, Tapi Bagi Kamu Lebih Ringan Isbal

Semasa kuliah dulu, seorang teman dari kalangan harakah saya pertanyakan kenapa celananya isbal. Kami dulu belajar fiqh muqaran (fiqh perbandingan). Kami tahu itu masalah khilafiyyah. Jadi, yang saya persoalkan saat itu bukan kenapa ulama berbeda pendapat. Yang saya tanyakan, kenapa kok isbal.

Maka teman saya -hafizhahullah- menjawab, "Ana kalau di kampung tidak isbal, dakwah ana tidak diterima."

Sebenarnya saat itu, jawaban semacam itu sudah menggelitik.

Orang berilmu tentu perlu menjadi contoh sebagai muttabi'. Mencontohkan bagaimana agama itu sesuai arahan dan sikap Nabi. Mencontohkan ittiba'. Tidak menjadikan ridha manusia sebagai hal yang karenanya dengan mudah ia menjadikan hal yang diyakini haramnya serta merta halal. Perlu sangat meninjau seberapa besar madharat sehingga perlu melakukan yang diyakini haramnya.

Di sana ada kaedah:

الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف
"Keburukan yang lebih besar harus dihilangkan (dengan melakukan) keburukan yang lebih ringan."

Dan kaedah-kaedah semisal. Namun kaedah itu ketika hanya ada dua pilihan yang sama-sama buruk.

Bagi Kamu Lebih Ringan Isbal

Jika ada pilihan:

[1] Tidak isbal namun dakwah (katanya) tidak diterima, dan
[2] Isbal namun dakwah (katanya) diterima

Kedua pilihan sifatnya zhanny. Tidak absolut. Justru kerap kali tidak isbal, dakwah malah diterima. Caranya? Pakai sarung.

Lagipula, saya bertanya kepada teman tersebut, ketika beliau sedang studi di Jakarta dan isbalnya di Jakarta. Tapi alasan yang dipakai alasan versi kampung (di luar Jakarta). Ini menambah kerancuan alasan.

Sebagian insan berisbal dengan alasan ini dan itu. Selagi itu, dia sangat khawatir jika dianggap mirip dengan orang Salafy. Padahal saudara kita dari kalangan Jama'ah Tabligh banyak yang tidak isbal (walau auranya beda). Bahkan engkong-engkong Betawi jaman kolot, mereka justru tidak mau isbal. Rata-rata cingkrang.

Apa iya, dengan mengikuti Sunnah Nabi, maka dakwah Sunnah jadi tidak diterima?

Jika iya, lalu buat apa mendakwahkan orang-orang agar mengikuti Nabi, sementara sendirinya terang-terangan tidak mengamalkannya?!

Ini disebabkan mindset awal yang salting (salah setting), bahwa dalam dakwah -sekalipun ada wasilah-wasilah agar manusia menerima-, point pertama yang menjadi tujuan adalah BENAR terlebih dahulu. Bahkan, diterima atau tidaknya oleh orang bukanlah tujuan utama.

Karena betapa banyaknya manusia yang menentang para Nabi dan Rasul. Apakah mereka gagal? Tidak.

Ukuran sukses atau gagalnya dakwah itu bukan di seberapa yang ikut dan ridha. Tapi ukurannya di: [1] Benar materinya, dan [2] Istiqamah seterusnya.

Adapun jika belum mulai dakwah sudah kepingin isbal duluan, maka ini step menuju kegagalan. Bahkan ini sudah boleh dibilang gagal sebelum mulai. Karena jangankan istiqamah, belum-belum sudah tidak benar.

Dan oh ya, apakah pembaca yang isbal sambil mendakwahkan Sunnah Nabi menyukai tulisan ini?

Pasti...ini masalah khilafiyyah! Toleransi! Lapang dada! Saling menghargai!

Nah, jika pikiran itu yang keluar, menunjukkan ketidakfahaman. Coba baca ulang. Waffaqakumullah.

Ustadz Hasan Al Jaizy

Tidak ada komentar: