Kapan Tasyabuh (menyerupai kaum) Terlarang dan Tercela ?

Kisah lucu, ada oknum yang tersinggung merasa dituduh menyerupai Amitabacan .

Di salah satu kota, saya berkesempatan menyampaikan kajian untuk masyarakat umum.

Pada sesi tanya jawab: ada pertanyaan yang menggelitik: ustadz mengenakan songkok hitam, apa itu tidak termasuk tasyabbuh dengan ahlul bid'ah?

Sontak pertanyaan ini menarik perhatian saya dan saya tertantang untuk mencoba meluruskan pemahaman hadirin tentang tasyabbuh.

Tasyabbuh yang diharamkan itu bukan sekedar ada kesamaan, namun harus memenuhi beberapa kriteria, sehingga layak dicela.

Kalau sekedar menyerupai, maka terlalu banyak kita menyerupai orang kafir: memakai mobil merek Jepang menyerupai orang Jepang, menggunakan HP merek Amerika atau Korea menyerupai orang Amerika atau Korea.

Memakai baju Pakistan atau India juga menyerupai pemain film film India semisal Amitabacan, atau Jamaah Tabligh.

Memakai surban Yaman, juga menyerupai para penyembah kuburan yang ada di Yaman dan seterusnya.

Memakai Jubah juga bisa dianggap menyerupai pemabuk yang ada di negri Arab.

Bila demikian cara pikir kita maka kacaulah hidup.

Kapan Tasyabuh (menyerupai kaum) Terlarang

Tasyabbuh itu terlarang bila memenuhi beberapa kriteria:

1. Hal yang kita lakukan tersebut baik pakaian yang kita kenakan, atau perbuatan yang kita lakukan merupakan ciri khas orang yang tercela.

Dengan demikian bila itu bukan ciri khas mereka, maka tidak mengapa kita mengenakan hal yang serupa, semisal surban orang Yaman, Jubah orang Emirat atau Saudi, bukan ciri khas pemabuk, tapi itu pakaian yang dipakai semua orang di sana, orang baik atau orang jelek juga mengenakan pakaian yang sama.

Demikian pula halnya dengan pakaian Pakistan atau India, itu dipakai oleh semua orang, orang baik maupun orang buruk.

Namun bila hal tersebut tidak lagi menjadi ciri khas, semisal rumah Joglo dahulu adalah rumah penduduk Jawa Tengah yang semula beragama Hindu atau Buda. Namun kini mayoritas telah beragama Islam, maka tidak dapat dikatakan tasyabbuh

Terlebih rumah joglo tidak ada kaitannya dengan keyakinan, itu dibangun hanya berdasarkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi pulau jawa yang beriklim tropis, curah hujan tinggi dan alasan serupa lainnya.

2. Hal tersebut, baik pakaian atau tindakan tersebut tidak termasuk amalan yang diajarkan dalam syari'at Islam. Bila suatu hal diajarkan dalam syari'at Islam, maka tidak mengapa mengamalkannya walau terbukti hal itu juga dilakukan oleh orang kafir, bahkan diajarkan dalam agama mereka.

Karena itu, mendirikan shalat, berpuasa Ramadhan, menunaikan Haji, menikah, memanjangkan jenggot dan lainnya tetap wajib kita jalankan, walau terbukti meyakinkah bahwa hal hal itu juga diajarkan dan diamalkan oleh penganut agama agama selain Islam.

3. Tidak ada alasan yang mendesak atau dapat dibenarkan secara syari'at untuk melakukan hal tersebut, sehingga keserupaan ini berpotensi besar membangkit keserupan dalam hal batin (iman dan kecintaan).

Sebagai contoh, menunaikan shalat subuh atau asar, menjelang matahari terbit atau terbenam itu menyerupai perilaku orang orang munafiq.

Namun bila ada orang yang lupa shalat, dan baru teringat menjelang matahari terbit atau terbenam, maka ia harus segera mendirikan shalat, dan tidak boleh menundanya hingga matahari benar benar terbit lalu meninggi atau hingga benar benar terbenam.

Tindakannya mendirikan shalat pada saat itu tidak dianggap sebagai bentuk tasyabbuh yang tercela.

dan masih ada beberapa ketentuan lain yang kurang tepat untuk disampaikan di sini.

Namun yang namanya gagal paham itu tetap saja gagal paham, apalagi bila sudah sampai pada level "waton suloyo" alias "tetap kambing walau sudah terbukti terbang".

Sampai sampai ada sebagian oknum yang menuduh saya mencela orang yang pakai jubah, dan menganggapnya tasyabbuh dengan Amitabacan .

Padahal andaipun Amitabacan terbukti makan ayam goreng kalasan, dan kita juga penggemar ayam goreng kalasan, maka kita tidak bisa dituduh tasyabbuh dengannya, lalu kita dicela. Yang lebih tepat, sebaliknya Amitabacanlah yang tasyabbuh dengan kita. he he he.

Kembali pada tema "songkok hitam", saya kembali melontar pertanyaan kepada hadirin: memangnya songkok hitam tasyabbuh dengan siapa, alias ciri khas siapa, sehingga yang memakainya tercela?

Ada dari hadirin yang menjawab: ahlul bid'ah.

Mendengar jawab ini, saya mengelus dada, sambil berkata: betapa kasihannya bangsaku dan ummatku sendiri, pakaian lokal dianggap tasyabuh dengan ahlul bid'ah, tapi pakaian Pakistan, India atau ubel ubel Yaman, baju Koko, atau pakaian negri lain, yang juga mayoritas penduduknya penganut tasawuf, thariqoh, atau sekte tertentu, bahkan kafir, namun demikian bisa diterima bahkan dianggap sebagai simbol sebagai seorang agamis, tanpa sensor "tasyabbuh" sedangkan pakaian bangsa sendiri harus disensor dengan "tasyabbuh".

Padahal para ulama' sebatas yang saya pelajari malah menganjurkan kita untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan pakaian masyarakat setempat, agar tidak tampil nyentrik, alias syuhroh, yang itu juga haram hukumnya.

He he he, selamat merenung dan semoga bermanfaat....

Tidak ada komentar: