Kesabaran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Di zholimi Penguasa

SYAIKHUL ISLAAM 'IBNU TAIMIYYAAH SANG ULAMA DAN JENDERAL SERTA NARAPIDANA YANG MENJADI GURU NEGARAWAN DUNIA 

Oleh Abu Taqi Mayestino

Bismillaah.

Ada banyak para Imaam, Ulama, Syaikh, dsb., yang pernah dipenjarakan oleh Umaro (pemerintahan) yang dholim, dengan cara yang tidak adil, dholim. Kebanyakan terjadi di masa Kerajaan peradaban Islaam (yang disangka kebanyakan orang adalah Kekholifahan Islaam).

Padahal Ulil Amri yang harus ditaati kaum beriman itu adalah: (1) Ulama dan (2) Umaro, yang itu pun sepanjang mereka masih mentaati Allah dan Rosulnya, sebagaimana tasfir sahabat nabi Abu Hurairoh (*) - rodhiyollohu 'anhu - dan ini diikuti pula para Imaam, Ulama Salafus Sholih, Salafiyyiin (*), seperti 'Ibnul Qoyyim, An Nawawi, dst.; tentang ketetapan Al Qur'aan surah An Nisaa' ayat 59 mengenai sikap Muslimiin terhadap Ulil Amri itu.

Kesabaran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

(*) Lihat: Syarh Muslim [6/467] cet. Dar Ibnu al-Haitsam, Adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/235 dan 238], dan Fath al-Bari [8/106]

Hingga sekelas para Imaam, seperti Ahmad bin Hanbal (Imaam Fiqh Hanbali), rahiimahulloh, pun, pernah dipenjarakan Umaro. Bahkan juga, tentu saja, Nabi Yusuf (Yosef) - 'alaihis salaam - pernah dipenjarakan, sebelum kemudian menjadi Menteri islami dalam pemerintahan Fir'aun.

Di Indonesia, kita mengenal dua tokoh besar bangsa dari Masyumi (Majelis Syuro Muslimiin Indonesia) yakni Buya Prof. DR. HAMKA dan Buya DR. M. Natsir, yang pernah merasakan kedholiman dan dipenjarakan rezim Orde Lama.

Dan Allah kemudian justru memuliakan mereka yang pernah didholimi Umaro itu.

Dicatat, metode Fiqh Imaam Hanbali mendunia, dan muridnya juga mencakup Imaam Bukhori dan Imaam Muslim, dua nama besar pengumpul hadits yang terbaik (selain mereka juga belajar kepada Imaam Asy Syafi'i). Juga Syaikhul Islaam Ibnu Taimiyyaah, dalam cakupan tulisan ini.

Dicatat, Buya HAMKA sang ulama, sastrawan, tokoh Muhammadiyah itu menulis kitab tafsir fenomenalnya semasa di dalam penjara, dan kemudian menjadi Ketum MUI pertama di masa Orde Baru, juga mendirikan Perguruan Al Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta, yang aktif hingga kini.

Dicatat, Buya M. Natsir sang mantan Perdana Menteri RI dan tokoh ulama internasional, kemudian mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (1967) di Jakarta, yang kiprah para da'inya masih dapat dirasakan mendasar dan ke pelosok, di Republik Indonesia.

Mereka juga: para narapidana.

Dan kali ini, marilah kita simak, salah seorang dari mereka, para narapidana, yang namanya, ajarannya, harum dan dilaksanakan mendunia hingga kini. Diikuti kaum Muslimiin, Ahlus Sunnah wal Jama'ah, As Salafiyyiin, hingga kaum Barat, kaum pemikir Sekuler, negarawan, dst.

Beliau adalah:

Syaikhul Islaam 'Ibnu At Taimiyyaah.

Alias Abu Abbas Taqiyuddiin Ahmad bin 'Abdus Salaam bin 'Abdullah Taimiyyaah al Harrani. Lahir 10 Rabiul Awwal 661 H (22 Januari 1263) – wafat 22 Dzulqadah 728 H (26 September 1328)), dari Harran, Turki.

Sang Syaikh, Sang Jenderal, Sang Narapidana yang wafat di penjara (*).

(*) Biografi beliau: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Taimiyah

Karena seringnya pula beliau masuk penjara, Syaikhul Islaam 'Ibnu Taimiyyaah - rahiimahulloh - juga mendapatkan waktu menuliskan pemikirannya.

Tidaklah kurang dari 500 jilid buku yang berbobot, yang mengagumkan, telah dituliskannya, dalam berbagai bidang keilmuan.

Sebagian besar darinya memanglah telah lenyap dimusnahkan penguasa (Umaro). Namun sebagian lainnya berhasil diselundupkan ke luar penjara. Dan isi kitab yang hilang pun, masih lah dilaksanakan murid-muridnya, dari generasi ke generasi, tentu, dalam tradisi belajar islami.

Berbagai karya 'Ibnu Taimiyah yang berhasil diselundupkan keluar penjara, disalinkan, dan disebarkan ke mana-mana oleh kaum Muslimiin. Saat itu, sekolah-sekolah tinggi, universitas kaum Muslimiin memang juga menerima murid dari berbagai penjuru dunia. Dan memang universitas pertama dunia, didirikan kaum Muslimiin, yakni Al Qarawiyyiin di Maroko, dan Al Azhar di Mesir, dua yang pertama, jauh ratusan tahun sebelum Cambridge, Oxford, apalagi Harvard, Yale, MIT, dsb., itu.

Hingga salinannya pun berhasil menyeberang ke Eropa, menjadi bahan bacaan dan pelajaran dasar bagi para filsuf pemikir Eropa, kenegaraan, khususnya di Perancis. Menjadi bahan pembaharuan, juga peletak dasar Renaissance (dan ini bersamaan dengan timbulnya Kristen Protestan yang dimulai di Jerman), dan kemudian Masa Modern. Yang pengaruhnya pun dirasakan hingga detik masa kni, di masa Post-Modern, New Age, dalam Globalisasi Dunia, dalam Megatrend.

Karya 'Ibnu Taimiyah di bidang kenegaraan berjudul "Al Siyaasah Asy Syariyyaah", misalnya, amat sangatlah digemari para pemikir dan negarawan Perancis, dan mengihami mereka tentang gagasan negara-bangsa. Dan Revolusi Perancis mereka yang menumbangkan Kerajaan itu pun akhirnya sukses membentuk negara Republik Perancis kini.

Filsuf Perancis bernama Montesque yang terkenal dengan gagasan "Trias Polica" - konsep pemerintahan 3 pihak Eksekutif, Legislatif, Yudikatif - disebut-sebut mendapatkan inspirasi pula dari gagasan syaikh 'Ibnu Taimiyah tentang sistem pemerintahan yang bersih, adil, serta merakyat.

Di dunia Barat, jamak tersedialah kajian kumpulan tulisan pemikiran 'Ibnu Taimiyah baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Perancis.

Studi pemikiran dan gagasan 'Ibnu Taimiyah dalam bahasa Inggris, antara lain dituliskan oleh Qomaruddin Khan, berjudul ”The Political Thought of Ibn Taimiyah”.

Edisi Perancisnya, dituliskan oleh Henri Laoust yang berjudul, ”Les Doctrines Socialales et Politiques d’Ibn Taimiyah'.

Menarik bahwa di dalam kitab Siyaasah itu, Syaikh 'Ibnu Taymiyyaah pun menggunakan kata "Imaroh" (pemerintahan atau penguasa), daripada kata "Khilafah".

Begitu pun ketika beliau menggunakan kata "Wilayah", maka yang dimaksudkan beliau, adalah yang berarti sangat luas, tidak hanya terbatas pada kholifah atau imaam (lihat Siyaasah Syariyyaah, halaman 170 dan 6).

Berkaitan dengan cara dan proses pengangkatan kepala negara, pemimpin, maka daripada berkonsep "Ahl al halli wa al 'aqdi", syaikh 'Ibnu Taimiyyah pun mengajukan konsep "Ahl al syaukah", satu pemikiran akan pemerintahan yang terdiri dari semua kelompok masyarakat yang memiliki otoritas, baik dari unsur rakyat jelata, petani, militer, pengusaha, hakim, dan lain-lainnya.

Dan ini, sebenarnya, pun telah dimulai oleh para Khulafahur Rosyidiin, yakni para sahabat nabi kholifah Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali - rodhiyollohu 'anhum - di masa Salafush Sholih. Lihatlah kitab "Al Bidayah Wan Nihayah" oleh Imaam 'Ibnu Katsir, di antaranya. Sistem pemerintahan mereka, adalah berdasarkan musyawaroh semua unsur, yang dengan tetap tunduk kepada dalil-dalilNya.

Di Indonesia, menurut hemat kami, ini juga menjadi dasar pemikiran Pancasila, khususnya Sila IV Pancasila itu mengenai pemerintahan oleh rakyat melalui para wakil rakyat yang bermusyawaroh, bermufakat berdasarkan dalil-dalil, berdasarkan "al hikmah" (*) hingga mereka jugalah yang memilih pemimpin, yang ini jelas sebenarnya bukanlah Demokrasi Liberal, melainkan cara Islaam. Atau amat mendekatinya.

(*) Imaam Asy Syafi'i terkenal menyatakan bahwa setiap kata "hikmah" (yang ini ditetapkan di Al Qur'aan) adalah sama dengan As Sunnah (Nabi). Dan kita tahu, 124.000 nabi dan rosul adalah juga penguasa, raja, pangeran, menteri, panglima, hakim, ekonom, teknokrat, pebisnis, dsb.; yang harus diteladani Muslimiin jika ingin selamat di Dunia dan ke Surga.

Ingatlah juga, para tokoh pendiri negara ini, utamanya, pada dasarnya, adalah para cedik-pandai dan ulama Muslimiin. Mereka, utamanya pula, adalah murid-murid didikan organisasi Islaam nusantara Jam'iyatul Khoir (1901), Sarekat Islam (1905), Muhammadiyah (1912), Al Irsyaad (1914), Persis (1923), dan Nahdlotul Ulama (1926). Misalnya: Sukarno, Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Ki Kasman Singodimejo, A. R. Baswedan, Haji Agus Salim, dkk.

Hal itu juga dirumuskan oleh Syaikhul Islaam 'Ibnu Taimiyyaah berlandaskan pada ketetapan persamaan hak dan kewajiban manusia, apapun etnisnya, latar-belakangnya, dalam kealamian Islaam, agama sejak awal jaman. Bahkan bagi yang Kafir pun, tetap ada peraturan yang mengatur, menjamin haknya. Misalnya, di masa pemerintahan Rosuululloh Muhammad - shollollohu 'alaihi wa sallam - di Madinah, dalam Piagam Madinah. Sampai Fathu Makkah (pemenangan Makkah), dan setelahnya. Hingga setelah wafatnya beliau - shollollohu 'alaihi wa sallam - saat diteruskan para Khulafahur Rosyidiin, dst.

Yakni, karenanya pula, adalah dengan adanya partisipasi seluruh unsur masyarakat dalam menangani masalah-masalah yang menyangkut kehidupan bersama. Ini lah juga sebenarnya bentuk Khilafah dan ajaran Islaam itu. Khilafah, jelaslah bukanlah Kerajaan, apalagi kekuasaan yang turun-temurun. Bahkan sebagian ulama meyakini bahwa konsep jaringan a la Khilafah ini juga mengihami networking dan persekutuan a la Commonwealth Inggris, Uni Eropa, Megatrend, dst.

Dan untuk membantah konsep Imamah buatan Al Hilli seorang tokoh aliran sesat (*) bernama Syi’ah, maka 'Ibnu Taymiyyaah merasa perlu untuk kengemukakan syarat kualifikasi sahnya seorang imaam.

(*) Hal kesesatan Syi'ah, gerakan politik-militer yang ber'aqiidah mengkafirkan Sahabat dan Istri Nabi dan para pengikutnya serta berlebihan ghuluw terhadap Ahlul Bait Nabi, dsb., sudah dinyatakan jelas oleh para Imaam Madzhab seluruh dunia bahkan sejak 1.000 tahunan lalu. Di banyak kitab. Di Asia Tenggara, Malaysia dan Brunei Daaruussalaam pun tegas menolak Syi'ah. Demikian pula MUI. Dan Umaro propinsi Jawa Timur telah resmi menyetujuinya, di antara contoh ketegasan akannya.

Dengan demikian, otomatis pula syaikh 'Ibnu Taimiyyaah dengan jelas menolak kualifikasi ‘Ishmah - apalagi ajaran Itsna Asy'ariyah dan Wilayatul Faqih - yang disyaratkan oleh (bervariasinya) kelompok Syi’ah.

Namun beliau juga tak cukup setuju dengan kualifikasi pemimpin yang dibuat oleh pemikir-pemikir Ahlus Sunnah seperti al-Mawardi yang ditegaskan oleh Imaam al-Ghazali pula.

Bagi Syaikhul Islaam 'Ibnu Taymiyyaah, tujuh kualifikasi al-Mawardi tidak dapat ditemukan pada masa sekarang, dan hanya dapat ditemukan di masa Salafush Sholih, yakni para generasi Sahabat Nabi, Tabi'iin, dan Tabi'ut Tabi'iin.

Maka syaikh Ibnu Taymiyyaah memberikan definisi syarat yang sederhana, realistis, dan fleksibel:

Seorang imaam, pemimpin - bagi beliau - dalam ketatanegaraan, bukanlah pemimpin yang absolut, universal, dan tunggal. Itu, dalam tafsir akan berbagai Bisyaroh Hadits (pemberitahuan akan masa depan), tentu baru lah akan terjadi lagi, kelak saat Rosuululloh 'Isa (Yeshua, Yesus) Al Masih - 'alaihis salaam - diperintahkan Allaah untuk datang kembali ke Bumi, dan membai'at Imaam Al Mahdi, dan mengalahkan Dajjal (atau Anti Christ). Dan menegakkan keadilan, kesejahteraan dunia.

Mengulangi Khilafah 'Alaa Minhaj Nubuwwah (kekholifahan dengan metode pemamahan seperti ajaran Kenabian) sebagaimana di masa awal Salafush Sholih, setelah tahapan Mulkan Adhaan (penguasa yang menggigit), Mulkan Jabriyyaan (penguasa yang memaksa, menekan). Sebelum Kiamat. Lihat Hadits riwayat Ahmad, shohih, mengenai tahapan-tahapan ini.

Sesuai dengan batasan ketatanegaraan yang dipakai syaikh 'Ibnu Taimiyyaah, yakni "kerja sama antar berbagai unsur masyarakat", maka kerjasama semua unsur tersebut, seperti dari unsur imaam, menteri, gubernur, hakim, panglima perang, guru, ahli teknik, ekonom, pebisnis, dan lainnya; diperlukan.

Syarat terpenting yang harus dimiliki oleh semua unsur tersebut, dalam bermasyarakat dan bertatanegara, adalah:

(1) Kekuatan (berdasarkan ilmu, dan sesuai fungsinya).

(2) Amanah (dengan disiplin ketakwaan kepada Allah, dan sikap tidak takut kepada makhluk, hanya tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, lihat Al Qur'aan surah Al Qasash (28) ayat 26), dinyatakan di kitab Siyaasah, halaman 12.

Ini juga, adalah amanah kaum generasi Salafush Sholih. Tentu saja. Dan Syaikh 'Ibnu Taimiyyaah juga menekankan agar kita meneladani mereka.

Demikian.

Maka, tidak kah anda dapat rasakan, betapa ajaran beliau telah dilaksanakan dunia, dan masih pula relevan, hingga kini?

Dan ini barulah dalam hal ilmu politik dan ketatatanegaraan islami saja. Masih lah banyak ajaran beliau - rahiimahulloh - di berbagai bidang lainnya. Alhamdulillaah.

Demikianlah, maka, sekelumit tentang amanah dan ajaran beliau, sang Narapidana, yang ternyata dimuliakan Allah, dan diikuti dunia hingga kini, yakni:

Syaikhul Islaam 'Ibnu At Taimiyyaah, rahiimahulloh.

Wallohua'lam. Wastaghfirulloh. Walhamdulillaah.

Tidak ada komentar: