Etos Seorang Muslim (Antara Kerja Dan Mencari Ilmu)

Antara Kerja Dan Mencari Ilmu

Apabila kita mencermati kehidupan para ulama dan imam sunnah, mereka telah memberikan contoh dan teladan sangat mulia dalam menyeimbangkan antara kepentingan mencari ilmu dan kerja mencari nafkah. Bahkan para nabi dan rasul berusaha dan berkarya untuk menopang kelangsungan dalam penyebaran risalah dan dakwah. Nabi Zakaria menjadi tukang kayu, Nabi Idris menjahit pakaian dan Nabi Daud membuat baju perang, sehingga bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunnah para utusan Allah. Maka, berusaha untuk mencari nafkah, baik dengan berniaga, bertani dan berternak tidak berarti menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan sikap tawakkal. [1]

Inilah yang difahami para utusan Allah dan para ulama salaf, sehingga mereka tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha. Meski begitu, mereka juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Tidak mengapa seseorang yang bekerja di bidang dakwah dan urusan kaum muslimlin lalu mendapat imbalan dari pekerjaan tersebut, karena Umar bin Khaththab ketika menjadi Khalifah mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dari baitul mal.

Ibnu Sa’ad meriwayatkan, ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, setiap pagi pergi ke pasar memanggul beberapa helai pakaian untuk dijual. Beliau bertemu dengan Umar dan Ubaidah bin Jarrah. Maka mereka berkata: “Bagaimana engkau berdagang, sementara engkau menjadi pemimpin kaum muslimin?!” Maka beliau menjawab: “Dari mana aku menghidupi keluargaku?” Mereka menjawab: “Kalau begitu, kami akan memberikan jatah untukmu setiap hari separuh kambing dari harta baitul mal”. [2]

Cobalah renungkan kehidupan para utusan Allah dan para ulama salaf; kegiatan mereka dalam mencari ilmu dan berdakwah tidak melalaikan mereka mengais rezeki yang halal untuk menafkahi keluarganya. Oleh karena itu, kita harus bisa meneladani mereka, baik dalam menuntut ilmu maupun dalam mencari nafkah. Tidak malas bekerja, dengan alasan tidak bisa menuntut ilmu. Apapun bentuk usaha seorang muslim, yang penting halal dan diperoleh dengan cara yang benar; maka harus ditekuni dan dijalani dengan penuh suka cita, tidak perlu gengsi dan rendah diri.

Tidak perlu malu terhadap profesinya yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai profesi yang hina dan tidak bermartabat. Karena mulia dan tidaknya sebuah usaha atau profesi, tidak bergantung pada bergengsi atau tidaknya menurut pandangan manusia; misalnya, seperti bekerja di perusahan asing yang ternama, atau posisi jabatan kelas tinggi, atau menduduki tempat yang banyak sabetannya. Namun, kemuliaan sebuah usaha sangat ditentukan oleh kehalalan dan benarnya jenis usaha di hadapan Allah serta terpuji menurut syari’at.

Adanya paradigma yang salah dalam memandang sebuah usaha dan profesi, menyebabkan banyak manusia mengambil jalan pintas dalam memilih jenis pekerjaan, tidak lagi memperhitungkan halal haram, yang penting bisa bekerja mendapatkan duit berlimpah. Banyak di antara mereka yang kemudian terjerumus ke dalam usaha kotor yang sangat dimurkai Allah. Tidak jarang pula, di antara mereka saling bersitegang dalam kompetisi bisnis yang tidak sehat, saling menjatuhkan satu sama lain. Sehingga tujuan pokok dalam berusaha tidak terwujudkan, yaitu usaha untuk menopang hidup agar bisa tenang. Di sisi lain, terdapat sejumlah orang yang hidup bermalas-malasan dan enggan berusaha. Alasan yang dikemukakan karena sibuk mencari ilmu. Atau karena beranggapan bahwa semua bentuk usaha tidak terlepas dari syubhat yang bisa merusak sikap zuhud dan tawakkal. Padahal siapapun yang menyangka bekerja untuk mencari nafkah bisa merusak tawakkal, pasti kebutuhan sehari-hari akan dipasok melalui infaq, sedekah, hadiah, berbagai bentuk patungan dan pemberian dari orang lain; bahkan terkadang mereka juga tidak segan-segan mencela orang mampu yang tidak mau membantunya. [3]

Sungguh sangat naïf bila kita melihat orang yang faham agama dan berakhlak mulia, namun mempunyai kebiasaan meminta-minta, suka mengeluh, menjadi beban orang lain, bermalas-malasan serta menghadapi kenyataan hidup dengan berpangku tangan. Benarlah yang dikatakan Umar bin Al Khaththab: “Sungguh terkadang aku kagum terhadap seseorang. Namun, setelah aku tanyakan apakah dia memiliki pekerjaan? Kalau mereka menjawab “Tidak” maka orang tersebut jatuh harga dirinya di hadapanku”. [4]

Sungguh tidak masuk akal, seseorang yang tidak pernah beranjak dari masjid untuk berdzikir dan i’tikaf, sementara keluarganya terlantar dan kebutuhan hidup dipasok orang lain. Manakah tanggung jawabnya sebagai orang yang faham agama, kalau ternyata kebutuhan hidup terkumpul dari patungan teman dekat dan para tetangga? Jawaban apa yang kita berikan di akhirat kelak, bila ternyata kewajiban rumah tangga kita yang menunaikan orang lain, baik orang tua, mertua, teman dekat atau sanak kerabat, padahal kita masih mempunyai kekuatan untuk bekerja? Maka Imam Syafi’i berkata: “Tidak halal harta sedekah bagi orang yang masih mempunyai kekuatan untuk bekerja”. [5]

Sudahkah kita berkaca dengan pandangan skeptis di atas, sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa sikap dan tindakan seperti itu sebagai kesalahan dan pengingkaran terhadap tanggung jawab? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِي اللَّهُ عَبْدًا رَعِيَّةً يَمُوتُ حِينَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهَا إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba diberi tanggung jawab kepemimpinan Allah, kemudian pada saat ia meninggal, ia curang terhadap yang dipimpinnya, melainkan Allah mengharamkan baginya Surga. [HR Bukhari dan Muslim]

Oleh Ustadz Abu Ahmad Zaenal Abidin

Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426H/2005M.

Catatan kaki :

[1]. Lihat Fathul Bari (4/l358) dan Al Minhaj Syarah Sahih Muslim (15/133).
[2]. Lihat Fathul Bari (4/357).
[3]. Tahdzib Syarah Thahawiyah, hlm. 301.
[4]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 301 dan Faraidul Kalam Min Khulafail Kiram, Asyur Al Hamudah, hlm. 111.
[5]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 380.

Tidak ada komentar: