Hal-Hal Yang Boleh Dilakukan Oleh Orang Yang Berpuasa - Seri 1

• Bersiwak

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak melaksanakan shalat.” [HR. Al-Bukhari]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan hal itu hanya pada orang yang tidak berpuasa saja. Namun secara umum berlaku untuk orang yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa. Dan bahkan, bersiwak ini sangat dianjurkan.

bersiwak ini sangat dianjurkan

• Masuk Waktu Fajar dalam Keadaan Junub (Belum Mandi)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bangun pagi ketika fajar, sedangkan beliau dalam keadaan junub setelah bercampur dengan istrinya, lalu beliau mandi setelah terbit fajar dan kemudian berpuasa. Hal ini berdasarkan hadits, dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiallahu ‘anhuma, mereka berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.” [HR. Bukhari]

• Berkumur dan Memasukkan Air ke dalam Hidung (Ketika Wudhu)

Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkumur dan memasukkan air ke hidung saat beliau berpuasa. Hanya saja beliau melarang orang yang berpuasa untuk berlebih-lebihan dalam melakukan kedua hal tersebut. Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung saat berwudhu’) kecuali bila kalian berpuasa.” [HR. At-Tirmidzi no. 788, Abu Dawud no. 142, Ibnu Abi Syaibah no. 84, Ibnu Majah no. 407, dan Nasa'i dalam Al-Mujtabaa no. 87, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaa'ul-Ghalil no. 935]

• Bercumbu dan Berciuman Bagi Suami Istri yang Sedang Berpuasa

Hal ini ditegaskan oleh hadits berikut. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya ia berkata,
كان رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ وهُو صَائِمٌ وَيُباشِر وَهُو صَائِمٌ ولَكِنَّه كَان أَملَكَكُم لأَرَبِه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium dan bercumbu pada saat beliau sedang berpuasa. Namun beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya di antara kalian.” [HR. Al-Bukhari no. 1927, dan Muslim no. 1106, ini adalah lafadh Muslim]

Hal itu dimakruhkan bagi orang yang masih muda dan tidak bagi yang sudah tua. Telah diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma ia berkata, Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba seorang pemuda mendekati beliau seraya berkata, 

“Wahai Rasulullah, bolehkah aku mencium istriku sedangkan aku dalam kondisi berpuasa?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak boleh.” Kemudian datang seorang yang telah tua seraya berkata, “Apakah aku boleh mencium (istriku) sedangkan aku dalam kondisi berpuasa?” Beliau menjawab, “Boleh.” Abdullah berkata, “Lalu kami saling berpandangan, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang sudah tua tersebut mampu untuk menahan nafsunya.” [HR. Ahmad 2/185, dan 2/220. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 1606]

• Tranfusi Darah dan Suntikan yang Tidak Dimaksudkan Sebagai Makanan

Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang hukum suntikan untuk pengobatan yang dilakukan di siang hari bulan Ramadhan bagi orang yang berpuasa, maka beliau menjawab, Suntikan pengobatan ada dua:

ⓐ Pertama, suntikan infus di mana dengan suntikan ini bisa mencukupi kebutuhan makan dan minum. Maka dalam hal ini orang yang melakukannya termasuk dalam orang yang telah berbuka (batal puasanya). Nash-nash syar'i bertemu dengan satu makna yang mencakup satu bentuk dari keumuman bentuk-bentuk hukum dalam nash, maka hal itu dihukumi dengan nash tersebut.

ⓑ Adapun jenis yang kedua adalah suntikan yang tidak mengandung makanan dan minuman. Maka orang yang melakukannya ini bukan termasuk orang yang berbuka (tidak batal puasanya). Hal itu disebabkan karena suntikan tersebut tidak tercakup dalam konteks nash secara lafadh maupun makna. Ia bukanlah termasuk cakupan makan dan minum. Bukan pula sesuatu yang mempunyai makna makan dan minum. Hukum asal (seseorang yang melakukan puasa) adalah sah puasanya hingga tetap adanya sesuatu yang menyebabkan rusaknya berdasarkan dalil syar'i. [Fataawaa Ash-Shiyaam oleh Ibnu Utsaimin, hal. 58, dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnad]

Dinukil melalui perantaraan kitab Al-Fataawaa Asy-Syar'iyyah fil-Masaailil-‘Ashriyyah min Fataawaa ‘Ulamaa Al-Baladil-Haraam oleh Dr. Khalid Al-Juraisy, hal. 295-296.
والله أعلم… وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم. وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Referensi:
• Ensiklopedi Fiqh Praktis Menurut Al-Quran dan As-Sunnah. Karya Syaikh Husain bin ‘Audah Al-'Awaisyah.
• Meneladani Rasulullah dalam Berpuasa & Berhari Raya. Karya Syaikh Ali bin Hasan & Syaikh Salim bin Ied al Hilali.

Disusun oleh: Akhukum Fillah Abu Muhammad Royhan hafidzahullah
Web: http://permatasunnah.com

Tidak ada komentar: