Kaedah Ahlus Sunnah Dalam Berdalil (Kajian Manhajiyyah Bag ke-1)


Didalam metode beragama dan memahami dalil dalil agama, Ahlus sunnah memiliki KAEDAH yang kuat dan PIJAKAN yang kokoh, sehingga tidak mudah goyah ketika datangnya badai FITNAH dan berbagai macam KERANCUAN (Syubhat).

Diantara Kaedah kaedah tersebut :

(١)-اَلْاِيْمَانُ بِجَمِيْعِ نُصُوْصِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ :
(1)-MENGIMANI SEMUA DALIL DALIL DARI AL QURAN DAN AS SUNNAH

Artinya wajib mengimani dan membenarkan semua dalil dalil yang datang dari Al Quran atau Sunnah yang sahih walaupun tidak faham maknanya atau tidak masuk akal.

Mengimani dalil itu ada 2 (dua) macam :

(a)-Fardhu 'Ain, yaitu setiap orang islam wajib mengimani dalil baik faham ataupun tidak faham maknanya, masuk akal ataupun tidak, dan ini bagi kalangan awam kaum muslimin.

(b)-Fardhu Kifayah, yaitu mengimani secara terperinci dari dalil dalil , yang hal ini khusus bagi kalangan yang tegak padanya dalil, dan faham maknanya maka iman terhadapnya menjadi wajib secara personal (wajib 'Ain).

Dalil atas kaedah ini adalah Firman Allah Ta'ala :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتّٰى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِىٓ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa' : 65)

Kaedah Ahlus Sunnah

Dalam musnad Imam Ahmad , dari 'Amer bin Syu'aib -radhiyallahu anhu- disebutkan tentang kisah para sahabat yang saling berbantahan tentang suatu ayat al Quran, dengan saling mengeraskan suara diantara mereka, maka Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- keluar dengan wajah memerah tanda beliau marah sambil bersabda :

مَهلًا يا قومُ بهذا أُهلِكَتِ الأُمَمُ مِن قبلِكم باختِلافِهم على أنبيائِهم وضَربِهمُ الكتُبَ بعضَها ببعضٍ إنَّ القرآنَ لم يَنزِلْ يُكَذِّبُ بعضُه بعضًا بل يُصَدِّقُ بعضُه بعضًا فما عرَفتُم منه فاعمَلوا به وما جَهِلْتُم منه فرُدُّوه إلى عالِمِه
"Tenang wahai kaum, dengan sebab perbuatan seperti ini kaum sebelum kalian dibinasakan mereka menyelisihi terhadap Nabi mereka, dan membenturkan (mempertentangkan, pen) kitab kitab antara yang satu dengan yang lain, sesungguhnya Al Quran tidak diturunkan untuk saling mendustakan yang satu atas yang lainnya, namun saling membenarkan antara yang satu terhadap yang lainnya, maka apa yang kalian tahu darinya amalkanlah, dan apa yang kalian tidak tahu darinya maka kembalikan kepada ahlinya (para ulama)" (HR Ahmad 10/174, Syaikh Ahmad Syakir menyatakan Sanadnya shahih)

Oleh sebab itu syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata :

فَهَذَا الْحَدِيْثُ وَنَحْوُهُ مِمَّا يُنْهَا فِيْهِ عَنْ مُعَارَضَةِ حَقٍّ بِحَقٍّ وَالْوَاجِبُ التَّصْدِيْقُ بِهَذَا الْحَقُّ وَهَذَا الْحَقُّ
"Hadits ini dan yang semisalnya dari perkara yang dilarang mempertentangkan kebenaran dengan kebenaran, adapun yang wajib adalah membenarkan bahwa ini adalah kebenaran dan itupun kebenaran" (Dar-ut Ta'arudh 8/404)

Diantara praktek para salaf dalam masalah ini adalah Pembenaran Abu Bakar As Shiddiq -radhiyallahu anhu- atas peristiwa Isra dan Mi'rajnya Rasulullah -sahallahu alaihi wasallam- sehingga beliau di gelari oleh Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- dengan As Shiddiq (Lihat kitab Dalailun Nubuwwah 2/111 , Al Baihaqi).

Demikian pula Imam Malik -rahimahullah- ketika ditanya tentang BAGAIMANA sifat Istiwanya Allah diatas 'Arasy, maka beliau pun menjawab :

الْاِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَاْلاِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ 
"Istiwa MAKNANYA diketahui, namun BAGAIMANANYA tidak diketahui, beriman kepada (istiwanya Allah diatas Arasy) wajib dan bertanya tentang BAGAIMANANYA bid'ah" (Kitabul Asma Was Sifat, Imam Al Baihaqi, hal. 408)

Imam Az Zuhri -rahimahullah- berkata ketika ditanya tentang hadits :

لَيْسَ مِنَّا مَنْ شَقَّ الْجُيُوْبَ ...
"Bukan golongan kami, orang yang merobek baju (ketika dapat musibah, pen) , beliau -rahimahullah- menjawab :

مِنَ اللهِ العِلْمُ وَعَلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ الْبَلاَغُ وَعَلَيْنَا التَّسْلِيْمُ
"Dari Allah lah (datangnya) ilmu, atas Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- kewajiban menyampaikan, dan kewajiban kita pasrah menerima" (Fathul Bari 13/504).

Artinya wajib bagi kita untuk menerima dan meyakini serta mengimani dan membenarkan dalil dalil yang datang baik dari al Quran atau dari Hadits hadits yang shahih walaupun kita tidak mengetahui hakekatnya, tidak faham maknanya, inilah metode AHLUS SUNNAH dalam mensikapi dalil.

Hal ini berbeda dengan AHLI BID'AH yang berani menolak dalil dalil yang sudah shahih apabila dalil dalil tersebut bertentangan dengan akal atau hawa nafsunya, bahkan tidak segan segan menolak dalil dalil dari al Quran atau As Sunnah ketika dalil dalil tersebut berbeda atau menyelisihi pendapat gurunya, ulamanya, atau bahkan imamnya.

Padahal Imam Syafi'i -rahimahullah- telah berkata :

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun" (I'lamul Muwaqi'in, Ibnu Qoyyim 2/282)

Maka orang yang menerapkan qaedah ini dalam beragama, yaitu mengimani seluruh dalil yang datang baik dari al Quran atau Sunnah yang sahih, baik masuk akal ataupun tidak, baik faham maknanya ataupun tidak, maka ia telah MEWUJUDKAN keimanannya kepada Allah, telah MENGIKUTI petunjuk Rasulullah -sahallahu alaihi wasallam- dan SELAMAT dari jalan kebinasaan yang telah ditempuh oleh umat umat terdahulu serta SELAMAT dari metode sesatnya ahli bid'ah yang mendahulukan AKAL dan HAWA NAFSU daripada WAHYU, wal'iyadzu billah , semoga bahasan ini bermanfaat, Wallahu waliyyut Taufiq

(Merujuk kepada risalah "Manhajus Salaf Fit Ta'amul Ma'an Nushush", dari kitab "Durusun Fil 'Aqidati Wal Manhaj", karya, Syaikh Ibrahim bin Abdullah bin Saif al Mazru'i, hal. 133-134)

✍ Abu Ghozie As Sundawie

Tidak ada komentar: