Berdosakah Melarang Suami Poligami ?

Berdosakah Melarang Suami Poligami ?

Seorang akhwat bertanya kepada Al-Ustadz Aunur Rofiq Gufron Lc :

Ana punya suami yang baik, jujur dan penuh tanggung jawab. Kami bahagia dengan dua anak kami, walaupun kehidupan kami sederhana. Kini suami ana ingin menikah lagi tapi ana melarangnya karena ana tidak ingin kebahagiaan ini dibagi dengan orang lain.

Berdosakan bila ana melarangnya menikah lagi?

Beliau menjawab:

Ukhti hendaknya bersyukur kepada Allah karena:
(1) ukhti telah menikah
(2) ukhti berbahagia karena suami baik, jujur dan penuh tanggung jawab
(3) sudah mempunyai dua anak.

Itulah nikmat bila ukhti dan suami beriman dan penuh tanggung jawab. Suami ukhti memberitahu kepada ukhti akan menikah lagi, itu merupakan penghormatan suami kepada istri. Andaikan dia tidak memberi tahu pun tidak berdosa, karena tidak ada syarat izin kepada istri. Memang sebaiknya suami memberitahu, bermuka cerah, bicara yang baik dan memberi hadiah kepada istri agar meredakan kesedihannya karena itulah tabiat wanita, jika memang diperlukan keridhoannya.

Jika ukhti tahu bahwa suami dhalim, tidak berbuat adil, tidak bisa menafkahi istri, apalagi menikah lagi, suka main tangan kepada istri, dan perbuatan dhalim lainnya; sedangkan ukhti termasuk istri yang taat kepada suami, melayani dia pada saat membutuhkannya, maka ukhti tidak berdosa bila melarang suami poligami, karena akan menambah kedholiman suami, sedangkan melarang berbuat dholim jika mampu hukumnya wajib.

Tetapi bila suami ukhti baik, jujur, bijak, bertanggung jawab, memberi nafkah; maka ukhti berdosa bila melarang suami menikah lagi dengan alasan “ana tidak ingin kehidupan ini dibagi dengan orang lain”, karena ukhti menghalangi hak suami untuk berbuat baik kepada wanita yang lain, padahal hak ikhti telah dipenuhi suami, secara fitroh dan akal yang sehat ukhti keliru dan berdosa. Alasan lainnya, berarti ukhti melarang apa yang dibolehkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Nabi Shalallahu alaihi wasallam.

a. Laki-laki boleh ta’addud.

فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. (QS an-Nisa:3)

Adapun hikmah laki-laki boleh taaddud atau poligami akan dijelaskan keterangan berikutnya.

b. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam, para Sahabat ra, dan ulama Sunnah menikah lebih dari satu.

Jika kita sholat dan ibadah lainnya mengikuti sunnah Nabi Shalallahu alaihi wasallam mengapa ukhti tidak meniru istrinya yang ridho dimadu dan mengapa suami dilarang mengikuti Sunnah Nabinya Shalallahu alaihi wasallam.

c. Tidak ada ulama yang melarang poligami, mengapa kita melarangnya?.

d. Suami Syahwatnya tidak terputus.

Yakni karena tidak mempunyai kebiasaan yang dialami oleh wanita. Wanita mengeluarkan darah pada waktu haid setiap bulan yang membutuhkan beberapa hari, darah nifas karena melahirkan yang membutuhkan biasanya empat puluh hari; sedangkan suami dilarang mengumpuli pada saat keluar darah ini. Disamping itu wanita hamil muda kadangkala enggan dikumpuli suami, demikian juga ketika hamil tua; belum lagi bila sakit atau bepergian, kemana suami melampiaskan keinginan syahwatnya, padahal laki-laki hanya dibolehkan mengumpuli istri dan budaknya, tidak boleh onani apalagi lainnya?!

Firman-Nya:

إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela. (QS al-Ma’arij:30)

Jika istri melarang suami taaddud, maka istri berdosa dan akan menambah dosa bila suami berbuat jahat disebabkan hal ini.

Manfaat ta’addud (poligami)

Lajnah Da’imah ulama sunnah Saudi Arabia berfatwa: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan orang Islam menikahi empat istri, ap

abila dia mampu menunaikan kewajiban kepada semua istrinya, yakin bahwa dirinya mampu berbuat adil kepada istrinya, dan aman dari berbuat curang; berdasarkan firman-Nya surat an-Nisa:3 karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu lagi Waspada terhadap urusan hamba-Nya. Dan tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan sesuatu melainkan pasti ada maslahat dan kebaikannya, maka kita wajib menerima dengan baik hati (lapang dada) ... dst.”

Adapun Hikmah ta’addud ialah sbb:

1. Menurut sensus kependudukan, wanita lebih banyak daripada laki-laki. Laki-laki yang meninggal lebih banyak daripada wanita; karena perang, bepergian jauh, dan lainnya, jika mereka dilarang menikah lebih dari satu maka akan banyak wanita hidup tanpa menikah sepanjang hidup.

2. Dengan beristri banyak, jumlah kaum muslimin menjadi banyak, orang Islam bertambah kuat, saling gotong royong, mengurangi perbuatan zina, dan manusia menjadi terhormat.

3. Allah menjadikan wanita haid, hamil, dan melahirkan; darah yang keluar cukup lama. Suami dibolehkan menikah lagi, untuk membendung perbuatan haram, memelihara diri dari godaan nafsu setan.

4. Istri kadangkala mandul, padahal tujuan menikah agar mendapatkan keturunan, dengan menikah lagi diharapkan mendapatkan keturunan dan menjadi penenang hati suami.

5. Mengurangi jumlah perawan tua dan janda. Syaikh Sholih al-Fauzan pernah ditanya: “Apakah dengan dianjurkan menikah lebih dari satu akan mengurangi jumlah perawan tua?” Beliau menjawab: “Ya benar, untuk mengurangi jumlah perawan tua dengan menikah lebih dari satu, agar wanita segera ada yang menanggungnya, terlindungi kehormatannya, dan akan lahir keturunan yang sholih.

6. Pada umumnya wanita berharap ingin segera menikah. Syaikh Syinqithi berkata: “Semua wanita ingin menikah, penghalangnya tidak ada; berbeda dengan laki-laki tidak semua yang ingin menikah mampu menikah karena ada penghalangnya, misalnya fakir dan lainnya. Jika laki-laki dilarang menikah lebih dari satu , maka sia-sia keinginan wanita.”

7. Wanita kadangkala jemu melahirkan. Sebagian wanita jemu melahirkan, padahal suami ingin banyak anak; sedangkan istri kadangkala tidak mau dikumpuli karena khawatir punya anak, atau istri sudah tua, maka dengan menikah lagi istri pertama memberikan haknya kepada saudarinya.

Bagaimanakah sikap yang benar?


Adapun sikap yang benar adalah ukhti tidak perlu bersedih hati, Allah-lah yang menenangkan jiwa setiap orang yang taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Biarpun perasaan sedih sementara waktu untuk berbahagia selanjutnya. Jika persyaratan diatas dipenuhi suami, sedangkan ukhti menyadari hikmah poligami serta kasihan pada suami, maka jangan ukhti menghalangi suami menikah lagi; kalau perlu dia disuruh menikah lagi dan dicarikan, itu lebih utama. Bukankah ukhti dengan menikah menjadi bahagia? Maka Insya Allah ukhti lebih berbahagia setelah suami menikah lagi. Tetapi jika suami tidak mampu menafkahi, dikhawatirkan dholim dan tidak adil, dan tidak memenuhi syarat lainnya; nasehati dia agar menanti sampai mampu.

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. (QS an-Nur:33)

Adakah contoh sikap Istri Rasulullah / Sahabat ketika suami menikah lagi?

Semua istri Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat tidak ada masalah ketika suami mereka mau menikah lagi, karena mereka tahu dalil dan mereka orang yang beriman. Itulah hikmah orang yang punya ilmu.

Apakah poligami membuat keluarga lebih bahagia ataukah makin sengsara?

Perhatikan kaidah dibawah ini:

1. Tidaklah sesuatu yang dibenci manusia pasti jelek, dan tidaklah yang disenangi manusia pasti baik.
Allah berfirman:

وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui. (QS al-Baqarah:216)

2. Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan sesuatu melainkan pasti ada maslahat dan kebaikannya; sebaliknya tidaklah melarang sesuatu melainkan pasti ada bahayanya dan mudlorotnya. (lihat kitab al-qowaid wal ushul jamiah : 9 oleh syaikh Abdurrohman as-sa’di); sedangkan ta’addud atau poligami adalah syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jadi yang menentukan baik dan buruk sehubungan dengan perbedaan pendapat didalam hidup berkeluarga bukanlah pendapat suami atau istri, tetapi dibenarkan oleh syariat Islam. Maka poligami termasuk yang dibolehkan dan dianjurkan, dalilnya sudah jelas sebagaimana disebutkan diatas.

Adapun pertanyaan ukhti apakah poligami atau taaddud itu membahagiakan atau sebaliknya? 

Menurut asal hukum, adalah membahagiakan dengan berdalil dua kaidah diatas, tentunya bila niat sang suami poligami ingin melaksanakan sunnah, mampu menafkahi istrinya, mampu fisiknya, jujur, tanggung jawab, adil, dan tidak ingin mendholimi yang lain. Akan tetapi, bila sang suami mengkhianati syarat taaddud, tentu istri terkena imbasnya. Namun, hal ini tidaklah mengurangi pahala seorang istri bila bersabar ketika menghadapi cobaan hidup.

Ukhti! Kami ingin bertanya sekali lagi: Bukankah ukhti berbahagia dengan menikah? 

Demikian juga, ukhti akan lebih berbahagia setelah suami menikah lagi, karena nikah dan poligami keduanya tuntunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Insya Allah, Ukhti akan lebih menghargai suami bila dia sudah menikah lagi, ukhti akan lebih ramah kepada suami, ukhti akan menahan marahnya, segala tindakan negatif akan menjadi pertimbangan sebelumnya karena ukhti punya ‘saingan’. Demikian juga suami yang bijak akan berkurang kemarahan dan maksiatnya karena kebutuhan dirinya terpenuhi pada saat memerlukannya. Kenikmatan taaddud ini telah diraih istri Nabi Shalallahu alaihi wasallam, para sahabat, dan ulama sunnah sesudahnya. Semoga ukhti termasuk golongan yang beruntung.

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar: