Qunut Shubuh Terus Menerus Adalah Bid’ah Dalam Syari'at

Qunut Shubuh Terus Menerus

Bismillahirrahmanirrahim. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasih

PERTAMA, Yang perlu diketahui bahwasannya Qunut Shubuh secara terus menerus adalah Bid’ah dalam Syariat.

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dari Khalaf bin Khalifah dari Abu Malik Al Asyja'i dari bapaknya, Thariq bin Asyyam bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

“Aku pernah shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak qunut (Subuh). Aku juga pernah shalat di belakang Abu Bakar, dan ia tidak qunut. Aku pernah shalat di belakang Umar, dan beliau tidak qunut. Aku pernah shalat di belakang Utsman, dan beliau tidak qunut. Aku juga pernah shalat di belakang Ali, dan beliau tidak qunut.” Kemudian ia (Thariq bin Asyyam bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) berkata, “Wahai anakku, itu adalah Bid’ah.”

- HR. Nasa’i no. 1070 | no. 1080. Shahih. Semua perawinya ada rijal Bukhari dan Muslim.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani' berkata : telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun dari Abu Qilabah Al Asyja'i, ia berkata : aku pernah bertanya kepada ayahku,

“Wahai ayah, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di Kuffah ini sekitar selama lima tahun, maka apakah mereka membaca Qunut (Shubuh) ?” Kemudian ia (Thariq bin Asyyam bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) berkata, “Wahai anakku, itu adalah Bid’ah.” hadits ini diamalkan oleh banyak ulama dan sufyan ats tsauri memilih untuk tidak melakukan qunut. demikian juga ibnu al-mubarak, ia tidak melakukan qunut dalam shalat shubuh.

- HR. Tirmidzi no. 368 | 402, 403, Ibnu Majah no. 1231 | no. 1241 dan Ahmad no. 15317. Shahih. Lafazh dan sanad diatas lafazh Tirmidzi
Dalam dua hadits mulia di atas disebutkan bahwasannya Qunut Shubuh secara terus menerus yang diyakini terikat (muqayyad) dengan jenisnya dan waktunya dikhususkan dalam shalat Shubuh adalah Bid’ah dalam Syari’at, dan setiap Bid’ah dalam Syari’at sudah selayaknya untuk ditinggalkan, dijauhkan, ditolak dan tidak diamalkan bagi setiap Muslim yang diberi taufiq dan hidayah oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

KEDUA, Dan hal tersebut adalah Sunnah terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana di dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Para Khulafa Rasyidin yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ajma’in tidak melakukan Qunut Shubuh, dan sudah sangat dapat dipastikan bahwasannya Para Khulafa Rasyidin mengamalkan Sunnah-Sunnah terbaru dan terakhir yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan Ad Dimasyqi berkata : telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata : telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al 'Ala` berkata : telah menceritakan kepadaku Yahya bin Abi Al Mutha' ia berkata; aku mendengar 'Irbadl bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu berkata : Pada suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri di tengah-tengah kami. Beliau memberi nasihat yang sangat menyentuh, membuat hati menjadi gemetar, dan airmata berlinangan. Lalu dikatakan : “Wahai Rasulullah, engkau telah memberikan nasihat kepada kami satu nasihat perpisahan, maka berilah kami satu wasiat” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

"Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meski kepada seorang budak Habasyi. Dan sepeninggalku nanti, kalian akan melihat perselisihan yang sangat dahsyat, maka hendaklah kalian berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah para Khulafa Rasyidin yang mendapat petunjuk. gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham, dan jangan sampai kalian mengikuti perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya semua Bid'ah itu adalah sesat.”

- HR. Ibnu Majah no. 42 | no. 42, Abu Dawud no. 3991 | no. 4607, Tirmidzi no. 2600 | no. 2676, Ahmad no. 16521, 16522 dan Darimi no. 95 | no. 96. Kitab ash-Shahihah no. 2735 dan no. 937 (1746 dan 2474). Sanad dan Lafazh di atas milik Ibnu Majah
Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah (wafat 751 H) berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kewajiban mengikuti Sunnah mereka, menyatu dengan penyebutan tentang kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan arti bahwa mengikuti Sunnah Khulafa Ar-Rasyidin al-Mahdiyin merupakan bagian dari ketaatan untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

- I’lamul Muwaqi’in Rabb al-A’lamin, II/337

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah (wafat 751 H) berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menggabungkan Sunnah Sahabatnya dengan Sunnahnya, dan memerintahkan untuk mengikutinya seperti memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya, sampai-sampai beliau memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini meliputi apa yang mereka fatwakan dan apa yang mereka contohkan walaupun sebelumnya Nabi mereka tidak melakukannya. Karena jika tidak, maka itu juga termasuk Sunnah beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Hal itu juga meliputi apa yang difatwakan mereka atau sebagian mereka karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkannya dengan apa yang disunnahkan oleh Khulafa Rasyidin al-Mahdiyin. Dan sudah dimaklumi bahwa mereka tidak mencontohkan hal itu pada saat yang bersamaan, maka hal itu bisa diketahui bahwa Sunnah tiap orang dari mereka pada (khilafah) mereka masing-masing adalah termasuk Sunnah Khulafa ar-Rasyidin al-Mahdiyin.”

- I’lamul Muwaqi’in Rabb al-A’lamin, V/581

As Syathibi rahimahullah (wafat 790 H) berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggandeng Sunnah Khulafa Rasyidin dengan Sunnah beliau -shallallahu ‘alaihi ajma’in, dan bahwa di antara tanda mengikuti Sunnah beliau adalah mengikuti Sunnah para Khulafa Rasyidin. sedangkan perkara-perkara Bid’ah adalah yang bertolak belakang dari itu, bukan bagian dari sunnah sama sekali. Karena dalam menetapkan Sunnah itu, Khulafa Rasyidin mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau mengikuti apa yang mereka pahami dari Sunnah beliau.”

- Al-I’tisham I/104-106
.
Kemudian, Asy-Syathibi rahimahullah (wafat 790 H) menerangkan untuk selalu mengamati amalan Para Al Khulafa Rasyidin Al Mahdiyyin radhiyallahu ‘anhu ajma’in agar diketahui bahwa itulah Sunnah terakhir yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa ada nasikh atau hukum yang menghapus. Karena mereka, Al Khulafa Rasyidin Al Mahdiyyin radhiyallahu ‘anhu ajma’in, mengambil Sunnah yang paling terbaru dari yang beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- ajarkan. (Lihat Al-Itisham, I/104-106).

Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu ‘anhu (wafat 36 H) berkata,
.
"SETIAP BENTUK IBADAH YANG TIDAK PERNAH DIAMALKAN OLEH PARA SAHABAT RASULULLAH SHALLALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM MAKA JANGANLAH KALIAN BERIBADAH DENGANNYA. Karena generasi awal Islam tidaklah menyisakan suatu ucapan bagi umat belakangan (yang belum tersampaikan). Maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para pembaca al Qur’an (orang-orang alim dan yang suka beribadah) dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu”.

- Asy-Syathibi, Al I'tisham, II/132

Umar Bin Abdul Aziz rahimahullah (wafat 110 H) berkata,

“Berhentilah dimana mereka (Para Sahabat -as-Salaf ash-Shalih-) berhenti, karena mereka berhenti berdasarkan ilmu, mereka menahan diri berdasarkan pandangan yang tajam, mereka lebih mampu untuk menguaknya, mereka lebih patuh meraih keutamaan. Jika kalian berkata, Bid’ah itu muncul sesudah mereka, maka ia tidak muncul kecuali di tangan orang-orang yang menyelisihi petunjuk mereka, tidak menyukai Sunnah mereka, padahal mereka telah menjelaskan dengan sangat memadahi, telah berbicara dengan sangat mencukupi.”

- HR. Abu Dawud no. 3996 | no. 4612

Umar Bin Abdul Aziz rahimahullah (wafat 110 H) berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Sunnah, dan para pemimpin sesudah beliau (Al Khulafa Ar Rasyidin Al Mahdiyyin) juga menetapkan Sunnah. Berpegang teguh kepada Sunnah tersebut merupakan sikap membenarkan Kitab Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menyempurnakan-Nya, serta mendatangkan kekuatan bagi agama Allah. Tidak seorang pun yang berhak mengubahnya dan menggantinya, tidak pula meneliti pendapat yang menyelisihinya. Barangsiapa yang mengikuti apa yang mereka Sunnahkan, maka dia mendapat petunjuk. 

Barangsiapa yang melihat (suatu masalah) dengan menggunakannya, maka penglihatannya tepat dan barangsiapa yang menyalahinya dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menimpakan hal buruk kepadanya dan memasukkannya ke neraka Jahannam, dan itu merupakan seburuk-buruknya tempat kembali.”

- Al Lalika’i, Kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, I/134, Al-Ajurri, Asy-Syariah, I/461, Al Khathib Al Baghdadi, Al Faqih Wal Mutaffaqih, I/73 dan Asy Syathibi, Kitab Al-Muwafaqaat, IV/460

Al Barbahari rahimahullah (wafat 329 H) berkata,

“Termasuk diantara Sunnah adalah senantiasa bersama Al-Jama’ah dan siapa yang berpaling dari al-Jama’ah dan berpisah darinya, maka ia melepas ikatan Islam dari lehernya dan ia telah tersesat dan menyesatkan manusia. Adapun yang melandasi Al-Jama’ah adalah para Sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (as-Salaf ash-Shalih). Mereka (Para Sahabat) adalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Siapa yang tidak mengambil sumber (agama/Islam) dari mereka, maka ia telah sesat dan berbuat bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan beserta pelakunya berada di neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan Sunnah ini kepada umatnya dan menerangkannya kepada para Sahabatnya, yang notabene mereka adalah al-Jama’ah dan as-Sawaad al-A’zham, yang dimaksud as-Sawaad al-A’zham adalah kebenaran dan pengikutnya.”

- Syarhus Sunnah no. 2-4

Dan telah menjadi Kaidah Fiqh bahwa suatu perkara, amalan, petunjuk, anjuran dan tuntunan baru dalam agama/syariat yang diada-adakan, dibuat-buat dan diciptakan atau bahkan yang diserupakan seperti syariat yang tidak pernah ada contoh, petunjuk, anjuran dan tuntunan sebelumnya, baik itu dari sebabnya, jenisnya, tata caranya, kadarnya, waktunya dan tempatnya dari Para Sahabat radhiyallahu ‘anhu ajma’in, KHUSUSNYA Khulafa Rasyidin, SERTA tidak pernah dilakukan oleh Para Sahabat radhiyallahu ‘anhu ajma’in, KHUSUSNYA Khulafa Rasyidin, sedang tidak ada faktor penghalang bagi mereka untuk melakukannya adalah Bid’ah dalam Syari’at dan setiap Bid’ah dalam syariat adalah kesesatan.

”SEMUA IBADAH YANG TIDAK DILAKUKAN oleh As Salaf Al Ummah dari kalangan Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in, atau mereka tidak menukilnya (tidak meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka atau tidak pernah menyinggung masalah itu dalam majelis-majelis mereka, maka jenis ibadah itu adalah bid’ah dengan syarat faktor penuntut untuk mengerjakan ibadah itu ada dan faktor penghalangnya tidak ada."

- At Targhib min Shalatir Raghaib Al-Maudhu’ah, hlm. 9 dan Al-Ba’its ’alaa Inkaril-Bida’ wal-Hawadits, hlm. 47
Maka diketahui bahwasannya Qunut Shubuh secara terus menerus adalah Bid’ah dalam Syariat sebagaimana yang terdapat dalam dzahir hadits, sehingga ketika dikatakan Bid’ah dalam Syariat maka wajib ditinggalkan, dijauhkan, ditolak dan tidak diamalkan bagi setiap Muslim yang diberi taufiq dan hidayah oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
.
Adapun yang masih mempertahankan Qunut Shubuh secara terus menerus yang diyakini terikat (muqayyad) dengan jenisnya dan waktunya dikhususkan dalam shalat Shubuh adalah Bid’ah dalam Syari’at BERDALIH DENGAN HADITS-HADITS MUNKAR yang sama sekali tidak dapat dijadikan landasan dalil dan hujjah dalam keyakinan dan beramal sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini

PERTAMA, Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq berkata : telah menceritakan kepada kami ABU JA'FAR AR-RAZI dari Ar-Rabi' bin Anas dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masih selalu mengerjakan qunut subuh hingga meninggal dunia."

- HR. Ahmad no. 12196, Abdurrazaq,‘Al-Mushanaf’, III/110, Daruquthni, As-Sunan, II/39, Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushanaf, II/312, Al-Bazzar, Kasyful Astar no. 556, Ath-Thahawi Syarh Ma’ani Al-Atsar, I/143, Al-Hakim dalam Al-Arbain, Al-Baihaqi, As-Sunan, II/201
HADITS INI MUNKAR sehingga tidak bisa dijadikan landasan keyakinan dan beramal, dikarenakan dalam Sanadnya terdapat Abu Ja’far Ar Razi

Abu Ja’far Ar-Razi, namanya Isa bin Mahan Ar-Razi, beliau dilemahkan oleh banyak ulama. Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : “Tidak kuat dalam hadits.” Yahya bin Main rahimahullah berkata : “Menulis haditsnya, tapi keliru.” Amr bin Ali rahimahullah berkata : “Padanya terdapat kelemahan, sebenarnya dia jujur, tapi buruk hafalannya.” Abu Zur’ah Ar Razi rahimahullah berkata : “Orang tua yang banyak keliru.” An-Nasai rahimahullah berkata : “Tidak kuat.” Ibnu Hibban rahimahullah berkata : “Dia sering sendirian meriwayatkan riwayat-riwayat munkar, saya tidak suka menjadikan haditsnya sebagai landasan kecuali jika sesuai riwayat yang tsiqah (dipercaya). Al-Ajali berkata : “Dia tidak kuat”

- Tahzib At-Tahzib, XII/57

Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menilainya : “Shaduq sayyi’ul hifzh (jujur tetapi hafalannya lemah), terkhusus kalau meriwayatkan dari Mughirah.” Dan beliau, Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah, juga berkata : “Hadits semacam ini tidak bisa dijadikan hujjah (dalil)”.

- Taqrib at-Tahdzib, 8077

Adz-Dzahabi rahimahullah menukilkan penilaian Abu Zur’ah rahimahullah terhadapnya : “Yahimu katsiran (sering keliru).” Adapun penilaian an-Nasa’i terhadapnya, “Laisa bil qawi (tidak kuat betul).”

- Al-Kasyif, 6563

Ibnu Hibban rahimahullah berkata : “Dia bersendiri dalam meriwayatkan dari orang orang yang terkenal dengan sesuatu yang diingkari oleh para ulama. Tidak mengagumkan saya untuk berhujah dengan haditsnya kecuali apabila sesuai dengan hadits orang-orang yang tsiqah. Riwayatnya tidak boleh dianggap kecuali yang tidak menyelisihi para perawi yang tsiqah.”

- Al-Majruhin, II/120
.
KEDUA, Telah diriwayatkan dari ISMAIL AL-MAKKY dan AMR BIN UBAID dari Al-Hasan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam qunut, begitu juga Abu Bakar, Umar dan Utsman, dan aku mengira dia berkata yang keempat, hingga mereka meninggal.”

- HR. Ath-Thahawi, Syarah Ma’anil Atsar, I/243, Ad-Daruquthni, As-Sunan, II/40), Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, II/202

HADITS INI MUNKAR sehingga tidak bisa dijadikan landasan keyakinan dan beramal, dikarenakan dalam Sanadnya terdapat Ismail bin Muslim Al-Makky dan Amr bin Ubaid Al-Mu’tazili, keduanya adalah lemah, haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Berikut ini adalah ucapan-ucapan ulama tentang keduanya

Ismail bin Muslim Al-Makky, disebutkan biographinya dalam kitab Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : “Haditsnya munkar” Yahya bin Main rahimahullah berkata : “Tidak ada apa-apanya” Ali bin Al-Madini rahimahullah berkata : “Tidak mencatat haditsnya.” Abu Hatim Ar Razi rahimahullah berkata : “Haditsnya lemah dan bercampur.” An-Nasai rahimahullah berkata : “Haditsnya matruk.” Ibnu Hibban rahimahullah berkata : “Dia lemah, meriwayakan riwayat-riwayat munkar dari orang terkenal dan terbolak balik dalam sanad-sanad.”

- Tahzib At-Tahzib, I/332
.
Amr bin Ubaid Al-Mu’tazily, Yahya bin Main rahimahullah berkata : “Tidak ada apa-apanya.” Amr bin Ali rahimahullah berkata : “Haditsnya matruk, pelaku bid’ah.” Abu Hatim Ar Razi rahimahullah berkata : “Haditsnya matruk.” An-Nasai rahimahullah berkata : “Tidak tsiqah dan tidak menulis haditsnya.” Abu Dawud Ath-Thayalisi rahimahullah berkata dari Syu’bah rahimahullah dari Yunus bin Ubaid rahimahullah : “Amr bin Ubaid dusta dalam hadits.” Humaid berkata : ‘Jangan ambil riwayat sedikitpun, karena dia berdusta dari Hasan.” Ibnu Aun rahimahullah berkata : “Amr berdusta atas Hasan.”

- Tahzib At-Tahzib, VIII/62

BAGAIMANA MENYIKAPI IMAM YANG MELAKUKAN QUNUT SHUBUH SECARA TERUS MENERUS .
Setelah diketahui bahwa Qunut Shubuh secara terus menerus yang diyakini terikat (muqayyad) dengan jenisnya dan waktunya dikhususkan dalam shalat Shubuh adalah Bid’ah dalam Syari’at NAMUN bagaimana jika seseorang yang menjadi Imam melakukan Qunut Shubuh secara terus menerus sedangkan terdapat hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasannya Imam harus diikuti.

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata : telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam bin 'Urwah dari Bapaknya dari 'Aisyah Ummul Mukminin, bahwa ia berkata, "Saat sakit Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat di rumahnya sambil duduk. Dan segolongan kaum shalat di belakang beliau dengan berdiri. Maka beliau memberi isyarat kepada mereka agar duduk. Ketika shalat sudah selesai beliau bersabda,
.
"Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, apabila dia rukuk maka rukuklah kalian, bila dia mengangkat kepalanya maka angkatlah kepala kalian. Dan bila dia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian dengan duduk."
.
- HR. Bukhari no. 647 | Fathul Bari no. 688
.
Untuk mempertemukannya dan mengkompromikannya adalah,
.
PERTAMA, Secara umum tidak ada ketaatan kepada siapa pun yang telah jelas-jelas berbuat kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya atau menyerukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutsanna dan Ibnu Basyar sedangkan lafazhnya dari Ibnu Mutsanna, keduanya berkata : telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Zubaid dari Sa’ad bin Ubaidah dari Abu Abdurrahman dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah, hanya saja ketaatan itu dalam kebajikan.”

- HR. Muslim no. 3424, 3425 | Syarh Shahih Muslim no. 1840, Bukhari no. 3995, 6612, 6716 | Fathul Bari no. 4340, 7145, 7257 Ahmad no. 588, 969, Abu Dawud no. 2256 | no. 2625 dan Nasa’i no. 4134 | no. 4205. Lafazh dan sanad di atas milik Muslim

Sebagaimana yang kita ketahui bahwasannya segala perbuatan Bid’ah dalam Syariat merupakan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan dosa besar karena telah mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan Syari’at walaupun manusia memandangnya baik setelah Islam telah sempurna dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat. Sehingga seorang makmun tidak perlu ikut angkat tangan dan mengamininya, cukup berdiri saja.
.
KEDUA, Yang wajib mengikuti Imam dalam shalat adalah yang menyangkut serta berhubungan dengan perkara rukun sahnya shalat yang wajib ditunaikan, BUKAN mengikuti yang bukan rukun sahnya shalat sedangkan Qunut BUKANLAH salah satu bagian rukun sahnya shalat dan shalat tetap sah jika tidak melakukan Qunut sekali pun, sehingga seorang makmun tidak perlu ikut angkat tangan dan mengamininya, cukup berdiri saja.

KETIGA, Tidak semua perbuatan Imam harus diikuti oleh makmum sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari perbuatan Para Sahabat radhiyallahu ‘anhu ajma’in yang melepaskan sandal dengan tujuan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melepas sendalnya ketika sedang shalat.

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il : telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Abu Na'amah As-Sa'di dari Abu Nadlrah dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan shalat bersama para sahabatnya, tiba tiba beliau melepaskan kedua sandalnya lalu meletakkannya di sebelah kirinya. Sewaktu para sahabat melihat tindakan beliau tersebut, mereka ikut pula melepas sandal mereka. Maka tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selesai shalat, beliau bersabda.

"Apa gerangan yang membuat kalian melepas sandal sandal kalian ?" Mereka menjawab : “Kami melihat engkau melepas sandal, sehingga kami pun melepaskan sandal sandal kami. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

"Sesungguhnya Malaikat Jibril 'alaihisallam telah datang kepadaku, lalu memberitahukan kepadaku bahwa di sepasang sandal itu ada najisnya." Selanjutnya beliau bersabda,
.
"Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, maka perhatikanlah, jika dia melihat di sepasang sandalnya terdapat najis atau kotoran maka bersihkan, dan shalatlah dengan sepasang sandalnya itu." Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Aban telah menceritakan kepada kami Qatadah telah menceritakan kepadaku Bakr bin Abdullah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti Hadits ini, beliau bersabda : "Pada keduanya terdapat kotoran."

- HR. Abu Dawud no. 555 | no. 650, 651 dan Ahmad no. 10726

Dengan melihat dalil-dalil di atas maka yang kuat bahkan yang paling kuat adalah jika Imam melakukan Qunut Shubuh maka sikap makmum adalah tidak perlu ikut angkat tangan dan mengamininya, cukup berdiri saja.
.
Memang terjadi perbedaan di antara Para Ulama tentang sikap makmum yang shalat di belakang imam yang berqunut Shubuh.
.
Imam al-Wazîr Ibnu Hubairah rahimahullah berkata,
.
“(Imam) Abu Hanifah dan (Imam) Ahmad berbeda pendapat tentang orang yang shalat di belakang imam yang berqunut waktu Subuh: Apakah makmum tersebut mengikuti imam atau tidak ? (Imam) Abu Hanifah berkata : “Dia tidak mengikuti imam”. (Imam) Ahmad berkata: “Dia mengikuti imam."
.
- Kitab Al-Ifshah karya Ibnu Hubairah 1/324
.
Muhammad Ya’qûb Thâlib ‘Ubaidi rahimahullah menjelaskan alasan masing-masing pendapat di atas dengan berkata,
.
“Abu Hanifah menjelaskan alasan makmum tidak mengikuti imam, yaitu bahwa qunut subuh itu hukumnya mansûkh (telah dihapuskan), sebagaimana takbir ke lima pada shalat jenazah. Walaupun Abu Yûsuf (murid Abu Hanifah) berpendapat bahwa makmum mengikuti imam, sebagaimana pendapat Imam Ahmad, tetapi pendapat yang dipilih pada madzhab Hanafiyah adalah makmum berdiri diam saja. Adapun Imam Ahmad menjelaskan alasan makmum mengikuti imam, yaitu agar makmum tidak menyelisihi imamnya, dan karena para Sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka terus-menerus bermakmum kepada sebagian yang lain, padahal ada perselisihan di antara mereka dalam masalah furu’ (cabang).”

- Kitab Al-Ifshah karya Ibnu Hubairah, I/324

Pendapat yang rajih –Allahu ‘alam– adalah pendapat Hanafiyah, yaitu makmum tidak mengikuti imam, karena QUNUT SHUBUH SECARA TERUS MENERUS YANG DIYAKINI TERIKAT (MUQAYYAD) DENGAN JENISNYA DAN WAKTUNYA DIKHUSUSKAN DALAM SHALAT SHUBUH ADALAH BID’AH DALAM SYARI’AT, sehingga makmum tidak perlu mengikuti imamnya. Hal itu sebagaimana ketika para Sahabat radhiyallahu ‘anhu ajma’in mengikuti perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melepaskan sandal ketika shalat, kemudian beliau menanyakan perbuatan para Sahabatnya yang mengikutinya itu, sebagai isyarat bahwa hal itu tidak perlu diikuti, ditambah, memang Imam itu untuk diikuti namun tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, sedangkan Bid'ah dalam Syari'at merupakan bentuk kemaksiatan yang telah menyelisihi sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk jangan berbuat Bid'ah dalam Syari'at dan juga bentuk kemaksiatan telah mendahului Allah dan Rasul-Nya setelah Islam telah sempurna.

Allahu A’lam Bishawab

Ditulis oleh Atha bin Yussuf
Al Ikhwanul As Sunnah

Tidak ada komentar: