Semangat dan niat yang baik saja tidak cukup dalam berdakwah, karena dakwah itu ibadah yang harus ada dua syarat agar dia menjadi ibadah;
[1] niat yang baik (keikhlasan) dan
[2] yaitu sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (mutaba’ah).
[1] niat yang baik (keikhlasan) dan
[2] yaitu sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (mutaba’ah).
Salah satu tuntunan Rasulullah shallahu alaihi wasallam dalam berdakwah adalah hendaknya dakwah harus dibangun di atas ilmu. Allah berfirman:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Namun maaf, saat ini banyak di antara kita yang tidak mau meniti jalan dan tuntunan Nabi ini. Kita sembrono dalam urusan dakwah, sehingga dakwah kita itu hanya dibangun di atas akal dan perasaan. Maka ketahuilah bahwa dakwah yang dibangun diatas hal seperti ini telah menyelisihi tuntunan Rasulullah shallahu alaihi wasallam. Ketahuilah, dakwah yang tidak dibangun di atas ilmu pasti akan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-utsaimin rahimahullah pernah ditanya berkaitan dengan kasus seperti ini.
Soal: Disana kita sering menemukan sebagian da’i memiliki perhatian terhadap dakwah ke jalan Allah dan ukhuwah di jalan Allah serta saling mencintai di dalamnya, namun mereka tidak fokus dan tidak perhatian dengan ilmu dan tafaqquh dalam perkara-perkara agama dan aqidah serta tidak perhatian dalam menghadiri majlis-majlis ilmu, maka apa komentar anda wahai Syaikh terhadap hal ini ?
Syaikh rahimahullah menjawab, komentarku terhadap hal itu adalah: Aku mengatakan bahwa bekal paling pertama yang wajib dimiliki oleh seorang da’i adalah hendaknya ia menjadi seorang yang ‘alim (berilmu). Karena meremehkan ilmu sama artinya seorang akan tetap dalam kondisi bodoh, dan dakwahnya menjadi buta tanpa mengetahui apa yang benar di dalamnya.
Jika dakwah itu berdiri di atas kebodohan maka setiap orang akan memberikan hukum sesuai dengan apa yang didiktekan oleh akalnya, yang ia sangka benar padahal salah. Maka saya berpendapat bahwa pandangan ini adalah salah ! Wajib ditinggalkan, dan hendaknya seseorang tidak berdakwah kecuali setelah mempelajari (apa yang akan ia dakwahkan). Oleh karena itu Imam Al-Bukhari Rahimahullah telah membuat bab yang semakna dengan ini dalam kitab Shahihnya dengan menuliskan :
Jika dakwah itu berdiri di atas kebodohan maka setiap orang akan memberikan hukum sesuai dengan apa yang didiktekan oleh akalnya, yang ia sangka benar padahal salah. Maka saya berpendapat bahwa pandangan ini adalah salah ! Wajib ditinggalkan, dan hendaknya seseorang tidak berdakwah kecuali setelah mempelajari (apa yang akan ia dakwahkan). Oleh karena itu Imam Al-Bukhari Rahimahullah telah membuat bab yang semakna dengan ini dalam kitab Shahihnya dengan menuliskan :
بَابُ العِلْمِ قَبْلَ القَوْلِ وَالعَمَلِ
“Bab ilmu sebelum berkata dan beramal.”
Lalu beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala.
Lalu beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala.
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan” [Muhammad/47 : 19]
Maka seseorang haruslah mengetahui terlebih dahulu lalu kemudian mendakwahkannya.
Adapun dakwah tanpa landasan ilmu tidak akan istiqomah (lurus) selamanya. Tidakkah anda melihat jika kita keluar dari Jeddah dan berangkat menuju Riyadh, lalu kita menunjuk seseorang yang kita ketahui sebagai orang yang memiliki perilaku dan niat yang baik, lalu kita katakan padanya :
“Kami ingin anda menunjukkan pada kami jalan ke Riyadh”. Namun ia sebenarnya tidak mengetahui jalannya. Maka iapun membawa kita menempuh sahara dan rimba sawang, hingga kita dan dia pun menjadi letih, dan hasilnya adalah bahwa kita tidak sampai ke kota Riyadh. Kenapa ? Karena orang itu tidak mengetahui jalannya.
Maka seseorang haruslah mengetahui terlebih dahulu lalu kemudian mendakwahkannya.
Adapun dakwah tanpa landasan ilmu tidak akan istiqomah (lurus) selamanya. Tidakkah anda melihat jika kita keluar dari Jeddah dan berangkat menuju Riyadh, lalu kita menunjuk seseorang yang kita ketahui sebagai orang yang memiliki perilaku dan niat yang baik, lalu kita katakan padanya :
“Kami ingin anda menunjukkan pada kami jalan ke Riyadh”. Namun ia sebenarnya tidak mengetahui jalannya. Maka iapun membawa kita menempuh sahara dan rimba sawang, hingga kita dan dia pun menjadi letih, dan hasilnya adalah bahwa kita tidak sampai ke kota Riyadh. Kenapa ? Karena orang itu tidak mengetahui jalannya.
Maka bagaimana mungkin dapat menjadi petunjuk jalan untuk (mengetahui) syari’at seseorang yang tidak mengetahui syari’at tersebut ? Ini tidak mungkin (mustahil) selama-lamanya. (Ash-Shahwah Al-Islamiyyah Dhawabith wa Taujihat: 145-146)
Semoga bermanfaat.
Ditulis oleh: Zahir al-Minangkabawi
artikel maribaraja.com
Semoga bermanfaat.
Ditulis oleh: Zahir al-Minangkabawi
artikel maribaraja.com
Tidak ada komentar: