MENGAPA WANITA BUKAN PEMIMPIN?

MENGAPA WANITA BUKAN PEMIMPIN?

Alasan Pertama : Akibat dari mengangkat pemimpin wanita.

Abu Bakrah berkata, “Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ”Tidak akan bahagia suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR. Bukhari no. 4425)

Alasan Kedua : Wanita kurang akal dan agama.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” (HR. Bukhari no. 304)

Alasan Ketiga : 
Wanita ketika sholat berjama’ah menduduki shof paling belakang.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik shof untuk laki-laki adalah paling depan sedangkan paling jeleknya adalah paling belakang, dan sebaik-baik shof untuk wanita adalah paling belakang sedangkan paling jeleknya adalah paling depan.” (HR. Muslim no. 440)

Alasan Keempat : Wanita tidak dapat menikahkan dirinya, tetapi harus dengan wali.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101 dan Ibnu Majah no. 1880. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).

Alasan Kelima :
Wanita menurut tabiatnya cenderung pada kerusakan.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Nasehatilah wanita untuk berbuat baik karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun, jika kamu membiarkan wanita, ia akan selalu bengkok, maka nasihatilah dia.” (HR. Bukhari no. 5184)

Alasan Keenam : Wanita mengalami haidh, hamil, melahirkan, dan menyusui.

Jika datang waktu seperti ini, maka di mana tanggung jawab wanita sebagai pemimpin?

Alasan Ketujuh : Wanita mudah putus asa dan tidak sabar.

Kita telah menyaksikan pada saat kematian dan datangnya musibah, seringnya para wanita melakukan perbuatan yang terlarang dan melampaui batas seperti menampar pipi, memecah barang-barang, dan membanting badan. Padahal seorang pemimpin haruslah memiliki sifat sabar dan tabah.

KEPEMIMPINAN LAKI-LAKI TERHADAP WANITA

Setiap rumah harus ada pemimpin yang mengatur urusan rumah tangga, mengurusi, menjaga, mengayomi seluruh anggota keluarga* yang ada di dalam rumah. Dan pemimpin sepatutnya untuk didengar dan ditadikhususkan, tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah ta’ala.

Pemimpin dalam rumah tangga adalah suami. Dan yang menjadikan seorang suami sebagai pemimpin rumah tangga adalah Allah Ta’ala.

Sebagaimana firman-Nya,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.“ [Qs. An Nisa : 34 ]

Dijadikannya suami pemimpin atas istrinya (sebagaimana ayat di atas) adalah karena dua sebab :

1. Allah telah memberikan kelebihan bagi laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Yaitu kelebihan sejak pada penciptaanya; berupa kekuatan, kecerdasan, keuletan dan kesabaran. Serta dengan apa yang dikhususkan oleh Allah kepada kaum laki-laki seperti,

Diutusnya para Nabi dari kaum laki-laki.
Kepemimpinan suatu negara.
Persaksian seorang laki-laki sebanding dengan 2 orang perempuan.
Dalam warisan, anak laki-laki mendapatkan dua kali bagian perempuan.
Laki-laki boleh menikahi 4 istri, sedangkan istri hanya boleh menikah dengan 1 orang suami.
Allah menjadikan pernikahan, rujuk dan cerai ada di kekuasaan laki-laki.
Seorang anak dinasabkan kepada ayahnya.
Jihad diwajibkan bagi kaum laki-laki

2. Allah menjadikan kepemimpinan pada suami disebabkan karena nafkah yang diberikan suami kepada istri.

Seorang suami memiliki kewajiban untuk menafkahi istri sejak terjadinya aqad nikah. Suami juga wajib untuk memberikan mahar, makanan, pakaian, tempat tinggal serta kebutuhan lainnya. Bahkan ketika istri sudah dicerai dan masih dalam masa iddah, seorang suami tetap berkewajiban untuk memberikan nafkah.

Dan untuk menguatkan besarnya hak seorang suami atas istrinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا.
“Seandainya aku berhak memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada manusia, sungguh aku akan memerintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya” [ HR. At-Tirmidzi 1159, dishahihkan oleh Syekh Al-Albani ]

Diringkas dari pembahasan pertama kitab : فقه التعامل بين الزوجين [Fikih pergaulan suami istrikarya Syekh Musthafa Al-Adawy حفظه الله]

Ustadz Andy Fahmi Halim, Lc hafizhahullah
www.suaraaliman.com

Tidak ada komentar: