Kesaksian Murid K.H. Ahmad Dahlan tentang Wahhabi Memberantas Kemusyrikan, Khurafat dan Bid’ah di Tanah Suci


Haji Muhammad Soedja’ dalam bukunya berjudul “Pemimpin Hadji” yang terbit pada tahun 1927 M, memberikan kesaksian panjang lebar tentang perubahan-perubahan keadaan Makkah setelah dikuasai oleh Pemerintahan Wahhabi, sebagai berikut (dengan penyesuaian ejaan dan perbaikan kalimat agar lebih mudah dipahami):

“PERUBAHAN DI NEGERI MEKKAH

Di Negeri Mekkah itu pada sebelum dipegang oleh Pemerintah Wahabi adalah satu negeri yang amat makmur sekali segala apa yang terjadi di negeri luar tanah suci itu, terjadi juga di Mekkah. Di Mekkah itu banyak gahwan-gahwan (kafe) yang disitu disediakan rupa-rupa minuman yang dingin dan boleh jadi yang ……….. tapi dengan sembunyi, dan rupa-rupa mainan domino, dam schak dan lain-lain, dan gambusan dengan tandakan, qasidah-qasidan dan lain-lain kesenangan bangsa suara mulut dan alat yang dipukul dengan tangan atau ditiup dengan mulut, demikianlah di sepanjang jalan raya dan di setiap kampung-kampung orang itu selalu bersenang-senang hati, tidak memperhatikan beribadah dalam Masjidil Haram bagi orang bangsa Arab, tetapi Masjidil Haram itu kebanyakan yang memenuhi hanya orang-orang gharib, terutama bangsa Jawa. Demikianlah keadaan sehari-hari di tanah Mekkah mulai sore sampai pada lewat tengah malam.

Maka setelah tanah Hijaz itu dipegang oleh Pemerintah Wahabi, segala rupa perbuatan yang tidak patut atas tanah suci Mekkah dan segala rupa perbuatan yang tidak patut atas Agama Islam itu dilarang dengan sekeras-kerasnya sehingga bersih seperti disapu olehnya. 

Qubbah-qubbah daripada kuburannya Siti Khadijah dan Abdul Muththalib dan lain-lain yang di Ma’la, dan qubbah-qubbah daripada Ma-atsir (petilasan) seperti qubbah maulud Nabi, qubbah maulud ‘Ali, qubbah Fathimah dan qubbah Jabal Nur, semuanya itu dihancurkan (dihapuskan) dan disapu sehingga tiada ada bekas-bekasnya, hanya qubbah Siti Khadijah masih ditinggalkan dinding dan kuburannya. 

Selain daripada qubbah-qubbah, adalah beberapa tempat yang menjadi timbulnya kemusyrikan atau sekurang-sekurangnya menimbulkan khurafat (takhayul/gugoh tuhon), seperti di dalam Masjidil Haram ada sebuah tiang (cagak) daripada Masjid itu yang dari batu marmer ungu, yang pada perasaannya bagi orang-orang haji bangsa Jawa, tiang itu ungunya lantaran pada zaman dulu Haji Saka/Aji Saka (orang budha yang pertama menempati tanah Jawa) bersembahyang i’tikaf disitu. Lalu diantara khurafatnya: barang siapa bermohon kepada Tuhan hendak berhasil maksudnya bermohonlah disitu, niscayalah Tuhan akan memberinya. 

Demikian juga di sebelah Ka’bah ada sebuah batu plester yang merah, lain daripada batu-batu marmer yang banyak, maka batu merah itu khurafatnya pada barangsiapa orang yang tidak fasih akan membaca kalimat atau huruf-huruf Arab, menjilatlah akan batu itu, lambat laun tentu orang-orang atau kanak-kanak itu niscaya akan menjadi fasih mulutnya akan membacakan huruf Arab tadi.

Di tembok daripada kuburnya Siti Khadijah ada sebuah jendela yang pakai gigi (ruji) disitu khurafatnya bagi anak-anak perempuan Mekkah yang dara, bila ada meminang padanya seorang lelaki, mengikatlah kanak dara itu akan gigi jendela dengan benang atau tali kain, agar supaya peminang lelaki tadi tidak sampai menjadi terlepas (urung). 

Banyaklah macam-macam perbuatan manusia yang menyesatkan orang daripada Agama Islam dengan perkataan berkat-berkat (mengambil berkat untuk menghasilkan hajatnya dalam perkara duniawi dan perkara ukhrawi).

Selain daripada itu, Pemerintah Wahabi menghapuskan rupa-rupa perbuatan khurafat dan musyrik seperti tersebut di atas, maka segala perbuatan bid’ah dalam Agama juga dihapuskan olehnya dengan sekeras-kerasnya. 

Seperti berjamaah lima waktu pada tiap-tiap waktu sampai berkali-kali oleh empat Imam dengan berganti-ganti menurut sebagaimana aturan yang telah diatur pada daulat-daulat Mekkah yang dahulu, pada zamannya pemerintah Turki dan pemerintah Raja Husein, maka berjamaah pada tiap-tiap waktu itu sampai empat kali. 

Pada waktu Subuh yang pertama imam dari Madzhab Syafi’i, kedua imam dari Madzhab Maliki, ketiga imam dari Madzhab Hambali dan keempat imam dari Madzhab Hanafi. Demikianlah berganti-ganti sampai empat kali pada tiap-tiap waktu.

Maka setelah dipegang oleh Pemerintah Wahabi, perubahan yang pertama berjamaah di Masjidil Haram itu diubah jalannya cuma 2 kali, yaitu pada waktu Subuh, pertama imam dari Madzhab Hambali, lalu imam dari Madzhab Hanafi. Waktu Dzuhur, pertama imam dari Madzhab Hambali, lalu imam dari Madzhab Maliki. Waktu ‘Ashar, pertama imam dari Madzhab Hambali, lalu imam dari Madzhab Syafi’i. Pada waktu Maghrib dan Isya’, imam dari Madzhab Hambali sendiri.

Dulu shalat tarawih, di dalam Masjidil Haram pada bulan puasa masing-masing Imam setelah bersembahyang fardhu, lalu mengimami tarawih sendiri-sendiri, bahkan tidak hanya imam-imam itu saja, tetapi banyak orang-orang itu yang mengimami sendiri-sendiri, sampai beratus imam tarawih di dalam Masjidil Haram. Keadaan yang demikian itu sampai menjadi riuh suaranya orang bertakbir dan membaca Qur’an masing-masing menurut kemauannya sendiri, sehingga bingung bagi bangsa kita orang haji bangsa Jawa tidak mengerti satu-persatunya siapa imam itu.

Dulu pada tiap-tiap bulan puasa, sekalian menara Masjidil Haram bila pada waktu malam dihiasi dengan beberapa lampu dalam tiap-tiap menara untuk membedakan dan meramaikan Masjid dengan bulan yang tidak puasa.

Maka setelah dipegang oleh Pemerintah Wahabi perhiasan lampu di menara itu dihapuskan sama sekali.

Dulu di atas menara pada tiap-tiap habis adzan kyai modin lalu membaca taslim dengan berlagu-lagi dan mengeraskan suaranya sampai merdu berbareng-bareng tujuh orang di atas menara itu, sampai kira-kira 15-20 menit lamanya. Hanya pada waktu Maghrib kyai modin tidak membaca taslim, tetapi pada setelah sembahyangnya imam dari madzhab Hanafi di atas makam Hanafi dibaca selawat oleh bilal yang ada di situ dengan suara yang amat merdu. Bahkan dikhususkan suaranya kanak-kanak muda yang tidak lebih 18 tahun umurnya. Dan pada waktu sahur kyai modin membaca tadzkir demikian pula sebelum fajar membaca tarhim sampai masuk pada waktu Subuh.

Sungguhpun suara-suara itu bukannya suara yang busuk, tetapi suara yang baik bagi pendengar, artinya: membaca selawat Nabi dan memuji-muji kepada Nabi dan sahabat-sahabat sekalian tabi’in dan mendoa atau dzikir kepada Tuhan yang Maha Mulia serta Maha Tinggi, sehingga suara yang merdu itu sangat menarik hati kepada si pendengar, karena suaranya baik pun lagunya menarik hati. 

Akan tetapi oleh karena yang demikian itu sesungguhnya bukan jalannya Nabi kita dan sekalian sahabat Khulafa’ur Rasyidin, maka yang demikian itu diberhentikan oleh Pemerintah Wahabi yang menguasai Mekkah pada sekarang ini.

Di Jabal Qubais, di Ma’la dan di lain-lain tempat sekelilingnya Mekkah pada tiap-tip malam, terutama malam Jum’at banyak sekali daripada bangsa penduduk Mekkah itu sama berkumpul-kumpul membaca wirid dzikir Naqsyabandiyah, Syatariyah dan Qadiriyah dan lain-lain dan dzikir Syekh Saman dengan bersyi’ir, dan bertandak atau membaca manaqib daripada Syekh Abdul Qadir Jailani dan lain-lain sebagainya. 

Oleh karena yang demikian itu bukan pula kelakuan Nabi dan sekalian sahabatnya, bahkan kelakuan itu kebanyakan oleh yang gemar sehingga menjadi tersesat kepada Allah, maka yang demikian itu juga dihapuskan dan dilarang oleh Pemerintah Wahabi. 

Tetapi penduduk Mekkah pada waktu sekarang ini diperintahkan supaya melazimkan sembahyang berjamaah pada tiap-tiap waktu, terutama di Masjidil Haram. Sehingga di ancam kepada penduduk Mekkah itu, barang siapa yang meninggalkan sembahyang berjamaah pada tiap-tiap waktu dengan sengajanya, maka dihukum 24 jam dalam penjara.

Dalam Masjidil Haram pada musimnya banyak orang Haji sewaktu-waktu diperkenankan bagi segala bangsa yang hendak mengajarkan Agama Islam dengan bahasanya sendiri, bahkan disediakan mimbar-mimbar yang teruntuk kepada kepada bangsa-bangsa yang akan mengajar itu sampai 4 buah mimbar, dan pada waktu malam tiap-tiap mimbar disediakan juga satu lampu pompan yang tergantung untuk menerangi tempat itu. Yang mengajar 1 orang Mesir, 2 orang Hindustan, 3 orang Jawa, dan 4 ulama dari bangsa Sudan.

Air zamzam, dulu air zamzam itu tersedia bagi sabil umum dengan kendi-kendi yang terletak di halaman Masjid kalau waktu sore-sore dan waktu malam. Tetapi sekarang siqayah (peminuman) di empat penjuru di dalam Masjid itu, dengan beberapa Zier dalam tiap-tiap penjuru itu dengan dinaungi dengan heimah (tenda) penahan panas supaya air minum itu selalu dingin diminumnya. 

Banyaklah perubahan yang kecil-kecil itu sehingga tidak dapat dimuatkan di sini.

Tetapi pangkal perubahan yang paling terbesar bagi tanah Hijaz, yaitu keamanan tentang pembunuhan orang Badui kepada orang Haji dan rampasan bekalnya orang Haji di seluruh penjalanannya di Hijaz itu dengan seketika dapat dilenyapkan oleh Pemerintah Wahabi. Itu sudah menjadi keuntungan dan kesejahteraan yang besar sekali bagi segenap kaum muslimin yang melakukan kewajiban dalam Agama Islam yang suci.

(selesai nukilan)

==========================================

Haji Muhammad Soedja’ (1885 – 1962) merupakan merupakan salah satu murid pertama K.H. Ahmad Dahlan bersama dengan saudaranya dan pemuda Kauman lainnya seperti H. Fachroddin, Ki Bagus Hadikusumo, H. Hisyam, H. Zaini, H. Mukhtar, H.A. Badawi, H. Hadjid dan lainnya. Beliau merupakan putra dari Raden Lurah Hasyim yang lahir di Kauman. Lurah Hasyim merupakan lurah keagamaan pada masa Sultan Hamengkubuwono VII. Soedja’ merupakan murid K.H. Ahmad Dahlan yang diamanahi untuk membesarkan bidang PKU (Penolong Kesengsaraan Umum). Karya tulis Beliau selain “Pemimpin Haji”, diantaranya adalah buku berjudul “Islam Berkemajuan” yang didalamnya banyak menceritakan kisah perjuangan guru Beliau, K.H. Ahmad Dahlan.

==========================================

Soedja’ adalah diantara murid K.H. Ahmad Dahlan yang meriwayatkan kepada kita bagaimana perhatian K.H. Ahmad Dahlan terhadap pemurnian aqidah tauhid, yakni pemurnian tauhid ibadah dari praktik-praktik penyimpangan aqidah yang menjurus kepada perbuatan syirik, yang saat itu marak terjadi di masyarakat tempat Kyai Dahlan tinggal.

Diantara kisah yang diceritakan oleh Soedja’ yang dimuat dalam buku “Islam Berkemajuan” adalah tentang kritik K.H. Ahmad Dahlan terhadap praktik ziarah kubur yang dilakukan masyarakat sekitarnya saat itu, sebagai berikut:

“Pada tahun 1906, K.H.A. Dahlan memproklamirkan UUD yang mengejutkan perasaan kaum muslimin pada umumnya; ialah ziarah kubur kufur, ziarah kubur musyrik, dan ziarah kubur haram.

Sungguh peluru yang dilepaskan itu tepat mengenai sasaran yang dimaksud sehingga kaum muslimin gempar, lebih-lebih para alim-ulamanya mereka dari jauh sama mengatakan Haji Ahmad Dahlan sekarang sudah jadi orang Muktazilah, sudah ingkar kepada sunah Rasulullah, sudah menjadi Wahabi, dan lain-lain sebagainya.

K.H.A. Dahlan mendengar sambutan orang banyak yang beraneka warna yang berupa tuduhan atau dakwaan atas pribadinya itu, Beliau terima dengan senyum tenang dan sabar, karena Beliau menginsyafi bahwa mereka memang sungguh-sungguh belum sadar daripada tidurnya yang nyenyak itu. Buktinya, Beliau telah membuka pintu kamar tamunya untuk menerima barang siapa saja di antara mereka yang hendak menentang atau membantah soal ziarah kubur yang dikufurkan, yang dimusyrikkan, dan yang diharamkan oleh Beliau. 

Tetapi, tidak ada seorang pun dari mereka yang datang di kamar tamunya K.H.A. Dahlan untuk menentang atau membantah soal yang diumumkan tersebut. Hanya beberapa orang yang datang untuk menyatakan ketegesan (maksud) kedudukan orang ziarah kubur menjadi kufur, orang ziarah kubur menjadi musyrik, dan orang ziarah kubur haram. Padahal, paham Islam pada umumnya ziarah kubur adalah sunah.

Setelah mereka diberi penjelasan dengan dalil keadaan kaum muslimin Indonesia pada umumnya dan kaum muslimin di Yogyakarta pada khususnya, serta kaum muslimin di Kauman lebih khusus lagi, terutama kepada yang minta penjelasan sendiri (kepada hatinya) bagaimana rasa yang terkandung dalam hatinya di waktu ziarah kuburnya para yang dipandang wali, keramat, saleh, dan bagaimana pula bila berziarah kuburnya keluarganya sendiri.

Dengan penjelasan-penjelasan ini si peminta penjelasan merasa puas dan menginsyafi bahwa soal ziarah kubur oleh kaum muslimin pada umumnya sangat dengan mesti mengandung salah-satu dari tiga anasir di atas, atau malah mungkin mengandung tiga-tiganya sama sekali.

Dengan datangnya beberapa orang yang minta ketegesan soal ziarah kubur itu, dapat dimengerti bahwa kaum santri pada umumnya, dan haji-haji pada khususnya, banyaklah sesungguhnya belum sama memiliki tauhid suci murni khalis dan mukhlis. Bahkan, masih banyak terlihat orang-orang itu masih gemar memakai jimat-jimat dan kemat-kemat untuk macam-macam maksud yang baik dan maksud yang tidak baik.

Maka itu K.H.A. Dahlan merasa perlu giat berusaha menanam bibit tauhid yang sesuci semurni-murninya kepada para pemuda-pemuda di masa itu supaya dapat mempertumbuhkan iman yang teguh dan bakuh serta kuat untuk mengamalkan amalan-amalan agama Islam baik yang mengenai masyarakat dan yang mengenai akhirat.”

(selesai nukilan)

==========================================

Perhatian K.H. Ahmad Dahlan terhadap pemurnian aqidah tauhid seperti disinggung di atas, diwariskan juga kepada murid-murid Beliau, termasuk Soedja’. 

Ini terlihat pada Soedja’, diantaranya ketika Soedja’ mengkritisi praktik ziarah makam Nabi di Madinah dalam bukunya “Pemimpin Hadji”, sebagai berikut:

“Tuan-Tuan dan Saudara tentu akan mengetahui benar-benar, betapa sifat dan kelakuannya orang-orang yang sama ziarah kepada kuburnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Di situ adalah beberapa sifat dan kelakuan daripada orang-orang muslimin yang sama berziarah itu, amat mengkhawatirkan sekali mereka itu akan i’tiqad ilahiyahnya. 

Bukan ratusan saja daripada mereka itu yang sama ziarah, tetapi ribuan daripada bangsa-bangsa muslimin yang sama memelekatkan dirinya kepada pagar makam Kanjeng Nabi, sambil mendoa dan menangis, mohon ampun daripada segala dosanya, atau mohon berkat dan syafaat daripada Kanjeng Nabi supaya dihilangkan daripada kesusahannya dan dihilangkan daripada kemalangannya, dan mohon dilapangkan tentang perihal penghidupannya, dan dijauhkan daripada kesukaran dan kealpaan dirinya kepada segala keperluan-keperluan yang dianggap olehnya sendiri. 

Dan mohon kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW hendaklah diberi berkat dan syafa’at akan beroleh ilmu yang manfa’at i’tiqad yang kuat dan iman yang teguh kepada Tuhan, dan kepada Agama Islam, yang membawa kebahagiaan dan kesejahteraan pada hari kemudia, kelak mendapat keridaan Tuhan, bermukim dalam surga yang indah serta mulia akan selama-lamanya.

Tuan-Tuan Saudara! Betapa orang sama berebut hendak menutup pagar makamnya Kanjeng Nabi atau hendak mengusap-usap pagar itu dengan kedua tangannya, lalu diusapkannya kepada seluruh tubuhnya masing-masing, yang seolah-olah mendapat berkat daripada segala yang diusapnya itu, sehingga tiang lampu yang ditaruh di luar halaman pagar itupun tiada ketinggalan orang sama mengusap-usapnya. 

Cobalah Tuan-Tuan Saudara memfikirkan sendiri. Jika seandainya pagar yang mengelilingi halaman makamnya Kanjeng Nabi itu dibukanya, dan orang dibiarkan mengecup dan mencium atau mengusap-usap akan kuburannya Kanjeng Nabi, sudah tentu tidak sedikit darah yang mengalir daripada mereka itu, karena berebut lebih dulu akan mengecup atau menciumnya. Sedang pagar atau tiang lampu pun tiada dapat disunyikan daripada ciuman dan kecupan atau usapan, sehingga penjaga-penjaga yang mencegah keadaan yang demikian itu sama sekali tiada diindahkannya.

Tuan-Tuan Saudara tentu dapat mengira betapa i’tiqad dan iman (kepercayaan) mereka itu kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi?

Selanjutnya seandainya Kanjeng Nabi Muhammad yang dikunjungi makamnya itu, bangun kembali hidup sebagai kita di dunia ini, betapakah Kanjeng Nabi akan menerima kedatangan mereka itu? Dengan gembirakah? Atau dengan berdukacitakah? Atau dengan nafsukan?

Tuan-Tuan Saudara tentu mengerti! Betapakah Kanjeng Nabi telah berulang-ulang mengajarkan Agama Islam kepada ummatnya tentang Ziarah Kubur dan meminta kepada orang yang mati atau kepada selain daripada Tuhan.”

(selesai nukilan)

Selanjutnya, Soedja’ mengutip beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi, kemudian mengatakan:

“Maka setelah mengetahui yang demikian itu, maka teranglah apa yang telah dilakukan oleh junjungan kita Kanjeng Nabi Muhammad SAW tentang amal ziarah kubur.

Sesungguhnya ziarah kubur itu sunnat, karena mengingatkan akan keadaan di alam akhirat dan memberik kebaikan kepada mayat, dengan mendoakan baginya dan memintakan rahmat dan ampunan baginya akan Tuhan, sebagaimana yang telah tersebut dalam Shahih Muslim.”

(selesai nukilan)

Selanjutnya Soedja’ mengutip hadits “laa tusyaddu ar-rihal”, dan mengakhiri penjelasannya dengan peringatan dan nasihat terkait ziarah ke Kota Madinah dengan mengatakan sebagai berikut:

“Maka daripada itu, berhati-hatilah hai Tuan-Tuan Saudara yang berziarah ke Madinah, akan menjaga Agama Tuhan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ziarah itu disunnatkan pokoknya karena ingat dan mengambil ‘ibarat kepada yang terkubur itu (mayatnya) supaya membangunkan hati Tuan hendaklah rajin akan perbuatan kebajikan di dalam dunia, untuk berbekal Tuan kalau pulang ke lobang kubur sampa ke alam yang baka.

Berhubung dengan itu, baiklah Tuan-Tuan Saudara janganlah bersiap ke Madinah dengan niat dan maksud ziarah ke makam kuburnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan lain-lain kuburan yang ada di kota Madinah. 

Tetapi niatlah Tuan-Tuan Saudara berziarah kepada Masjidnya Kanjeng Nabi, dan bersembahyanglah di situ menghormat kepada Masjid itu. Karena sembahyang di situ adalah pahala yang berlipat ganda daripada di lain Masjid tiga tersebut di atas (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha). 

Adapun niat dan maksud Tuan-Tuan Saudara akan berziarah ke makam kuburnya Kanjeng Nabi itu pangkal yang kedua setelah Tuan-Tuan Saudara ada di sana (kota Madinah). 

Maka dengan begitu mudah-mudahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Murah dan Belas Kasihan menerima akan segala kebajikan Tuan-Tuan Saudara, dan mengampuni segala dosa dan kesalahan Tuan-Tuan Saudara adanya. 

Amien.

(selesai nukilan)

Wahyu Indra Wijaya

Repost from Rendi Apriyano

Tidak ada komentar: