Ustadz Yazid: Pentingnya Kejujuran Dalam Beragama



الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
أشهد أن لا إله إلّا الله، وأشهد أنّ محمّدًا عبده ورسوله
اللهم صلّ وسلّم وباركْ على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه أجمعين
[Ada tiga perkara yang harus diperhatikan:] ilmu, pemahaman, kemudian kejujuran.
  • Ilmu yang bermanfaat.
  • Pemahaman yang benar.
  • Kemudian: kejujuran.
[Dan yang ketiga] ini (kejujuran) adalah penting. Dalam kita beragama harus jujur, tidak boleh bohong! Sebab banyak orang bohong, dan banya juga da’i yang bohong, padahal tidak boleh berbohong. Dia (sebagai da’i) harus benar dalam berkata; dengan dasar dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Tidak boleh bohong dan tidak boleh membohongi orang lain! Karena dasar agama ini adalah kejujuran dan juga amanah. Oleh karena itu para nabi dan rasul mengatakan bahwa mereka ini adalah orang-orang yang “amiin” (amanah). Maka harus jujur dan amanah.

[Allah -Ta’aalaa- berfirman mengabarkan perkataan Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Syu’aib -‘alaihimus salaam-:

{إِنِّيْ لَكُمْ رَسُوْلٌ أَمِيْنٌ}
“Sesungguhnya aku ini seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu.” (QS. Asy-Syu’aaraa’: 107, 125 & 178)]

Banyak orang pintar tapi tidak jujur, banyak orang pintar tapi tidak amanah. Padahal dalam kita beragama harus ada kejujuran. Oleh karena itulah Allah berfirman:

{وَالَّذِيْ جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ}
“Dan orang yang membawa “Ash-Shidq”/kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 33)

Jadi, kejujuran adalah penting dalam kita beragama. Ketika kita bohong; maka ini [bisa] termasuk dosa besar, dan juga tidak mengalami ketenangan, tidak mengalami keberkahan ilmu, serta tidak mengalami keberkahan dakwah dengan kebohongan itu.

Antum harus jujur. Antum kalau tidak punya ilmu; maka (tugas) antum adalah belajar, terus belajar.

[Karena] sekarang banyak da’i tidak punya ilmu tapi berdakwah. Sehingga kebohonganlah yang dibawa. [Seharusnya] dia belajar dan terus belajar, jangan menganggap bahwa dirinya berilmu. Ini dinamakan “ruwaibidhah”: orang-orang yang tidak punya ilmu tapi merasa bahwa dirinya punya ilmu [sehingga berani bicara tentang urusan umat]. Maka hal seperti ini tidak dibolehkan.

Saya dan antum adalah sama, kita sama-sama “thaalibul ‘ilmi” (penuntut ilmu), sehingga harus terus menuntut ilmu, harus terus belajar. Ilmu yang Allah berikan kapada kita -para da’i- [walaupun] sedikit; maka wajib kita sampaikan, karena dakwah ini wajib disampaikan. Tapi kalau seorang tidak punya ilmu; maka dia harus belajar dan jangan jadi da’i. Harus belajar dan terus belajar.

Dan ukuran (keilmuan) kita sekarang ini sudah terlalu rendah. Waktu saya belajar di Syaikh ‘Utsaimin -rahimahullaah-; maka murid-muridnya rata-rata hafal Al-Qur-an -walaupun ada yang tidak hafal-. Tapi yang hafal Al-Qur-an tidak bisa langsung ceramah. Adapun sekarang: da’i-da’i tidak hafal Al-Qur-an tapi sudah berani ceramah, dan tidak bisa baca kitab tapi berani ceramah. Maka hal ini tidak boleh dalam Islam. Ini termasuk kebohongan, dan hal seperti ini tidak boleh dalam Islam.

Kejujuran penting dalam kita beragama. Yang mengatakan bahwa kita harus jujur adalah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallaahu ‘anhu-, dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, beliau bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian jujur dan teruslah berlaku jujur, karena jujur (berkata benar dan bersikap benar) akan membawa manusia kepada kebaikan, dan kebaikan akan membawa manusia ke Surga. Dan tetaplah seorang itu jujur; maka Allah akan tulis dia termasuk orang yang jujur. Dan jauhkanlah dirimu dari kedustaan (kebohongan), karena kedustaan (kebohongan) akan membawa kepada kejelekan (keburukan, kejahatan), dan kejelekan (keburukan, kejahatan) membawa manusia ke Neraka. Dan tetaplah seorang itu selalu berdusta (berbohong) sampai Allah tulis dia termasuk “kadzzaab” (seorang pendusta).” HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim.

Harus jujur dalam kita beragama. Dan jujur ada dua: “Ash-Shidqu Ma’allaah” (jujur kepada Allah) dan “Ash-Shidqu Ma’an Naas” (jujur kepada manusia).

“Ash-Shidqu Ma’allaah” (jujur kepada Allah): (contohnya) antum sekarang menuntut ilmu; maka harus jujur:

- Apakah betul antum menuntut ilmu?

- Jujur atau tidak?

- Apakah bersungguh-sungguh ataukah tidak?

- Apakah ikhlas karena Allah ataukah tidak ikhlas?

- Apakah antum ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat ataukah tidak?

- Apakah antum menuntut ilmu karena ingin selamat ataukah tidak?

- Apakah antum ingin masuk Surga dengan menuntut ilmu ini ataukah tidak?

Harus jujur!!!

Tidak boleh bohong!!!

Tidak boleh main-main!!!

Tidak ada menuntut ilmu itu main-main, sambilan, sambil jalan-jalan: tidak ada dalam Islam!!!

Harus ada kejujuran dalam menuntut ilmu.

Ketika antum menghafal Al-Qur-an dan menghafal hadits: jujur atau tidak? Harus jujur kepada Allah.

Ketika antum Shalat; juga harus jujur: apakah benar antum melakukannya karena Allah?

(Dalam segala amalan) harus terus seperti itu: harus jujur, tidak boleh bohong.

Inilah yang diingatkan oleh para ulama: tentang maqam “Ash-Shidq” (kejujuran). Oleh karena itulah semua nabi bersifat dengan kejujuran, dan dakwahnya juga jujur: menyampaikan yang paling asas dalam dakwah; yaitu: Tauhid. Mereka (para nabi) jujur, tidak seperti da’i-da’i sekarang: tidak jujur dalam menyampaikan ilmu kepada umat ini. Allah menyebutkan tentang Nabi Ibrahim -‘alaihis salaam-:

{وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيْقًا نَبِيًّا * إِذْ قَالَ لِأَبِيْهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِيْ عَنْكَ شَيْئًا}
“Dan ceritakanlah (wahai Rasul): kisah Ibrahim di dalam Kitab (Al-Qur'an), sesungguhnya dia adalah seorang yang “shiddiiq” (sangat membenarkan), seorang Nabi. (Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?” (QS. Maryam: 41-42)

Maka Allah sebutkan bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang nabi yang “shiddiiq” (sangat benar/jujur dan membenarkan), dan di antara bentuk kejujuran Ibrahim adalah: mendakwahkan bapaknya, mengajak bapaknya kepada Tauhid. Maka inilah kejujuran.

Allah juga menyebutkan tentang Nabi Isma’il -‘alaihis salaam-:

{وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيْلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلًا نَبِيًّا * وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا}
“Dan ceritakanlah (wahai Rasul): kisah Ismail di dalam Kitab (Al-Qur'an). Dia benar-benar seorang yang benar janjinya, seorang rasul dan nabi.Dan dia menyuruh keluarganya (itstri dan anaknya) untuk (melaksanakan) shalat dan (menunaikan) zakat, dan dia seorang yang diridhai di sisi Rabb-nya.” (QS. Maryam: 54-55)

Maka harus jujur: dalam dakwah harus jujur, dalam menuntut ilmu harus jujur, dan begitu juga dalam kita mu’amalah: harus jujur, jangan bohong. Antum janji dengan orang lain: jangan bohong.

Kejujuran ini penting dalam kita beragama, sebab akan membawa kepada ketenangan. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ، وَإِنَّ الكَذِبَ رِيْبَةٌ
“Jujur itu akan membawa kepada ketenangan, sedangkan dusta akan membawa kepada kegelisahan.” [HR, At-Tirmidzi]

Antum harus berusaha bagaimana caranya antum menjadi orang yang jujur: dalam menuntut ilmu ini, dalam mengamalkan ilmu, dan dalam berdakwah.

Saya cukupkan dulu sampai di sini.

وصلّى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وسلّم
-ditulis oleh Ahmad Hendrix (dengan sedikit tambahan & perubahan)

Tidak ada komentar: