Adanya Pahala, dosa dan perkasa gaib lainnya, apakah berarti islam tidak ilmiah ?

Surga neraka, pahala dan dosa, bagi sebagian orang dianggap tidak ilmiah. sebab, tak bisa dibuktikan di dunia dan tidak terukur. Menurut mereka, sesuatu dianggap ilmiah jika dapat dibuktikan secara logis dan empiris. Ketika kaidah ilmiah ini dipaksakan untuk meneropong Islam, niscaya akan terjadi gesekan. Sebab, ada hal-hal tertentu dalam Islam yang tidak dapat dilogika apalagi dibuktikan di dunia. Misalnya, eksistensi pahala dan dosa; surga dan neraka. Lantas, apakah itu berarti Islam tidak ilmiah? 

Dalam hal ini, kita memiliki kaidah sendiri. Jika dilihat dari sisi etimologi, kata ilmiah maknanya menisbatkan pada ilmu. Seseorang dikatakan bicara Islam secara ilmiah, jika omongannya berdasarkan ilmu. Sedangkan sumber pokok ilmu dalam Islam ada dua: Al Qur'an dan As Sunnah. Jadi, omongan seseorang tentang Islam dikatakan ilmiah, atau bersandar pada ilmu, jika jika ia bersandar dan mengakar pada Al Qur'an dan As Sunnah.

Kita tak perlu latah memaksakan kaidah ilmiah kaum rasionalis empiris dalam beragama. 

Sandaran mereka logika. Padahal, tidak semua syariat Allah Ta'ala masuk dalam logika manusia. Contoh sederhana: ketika seseorang kentut, maka ia berhadats. Untuk menghilangkan hadats, ia harus berwudhu. Ia basuh wajah, lengan, mengusap kepala, dan kaki. Tapi justru tidak menyentuh lubang tempat keluarnya kentut itu sendiri. 

Logikanya, jika kentut adalah penyebab hadats, mestinya lubang angin itulah yang lebih utama dibersihkan. Jika ini dianggap tidak logis, apakah lantas syariat Allah ini tidak dikerjakan? 

Para pendahulu umat ini: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, para sahabat dari kalangan muhajirin dan anshar, tabi'in, tabi'ut tabi'in, mereka tidak berpusing-pusing menyoal Islam harus logis dan harus selalu bisa dibuktikan secara empiris. Namun demikian, Allah beri mereka kedudukan sebagai generasi terbaik. Sejarah Islam mencatat dan mengenang mereka sebagai sumur ilmu yang tak kering ditimba. 

Sesungguhnya, Islam itu sederhana dan menuntut cara bersikap yang juga sederhana: sami'naa wa atha'naa. Itulah kenapa agama ini disebut Islam, yang artinya berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, ikhlas, dan taat pada-Nya.

Lalu, di mana posisi akal? Seperti kata Allah, ia mestinya digunakan untuk mengenal kebesaran Allah Ta'ala dengan mentadabburi hikmah yang terkandung dalam setiap ketetapan-Nya. Sebab, tidaklah Allah ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Bukan untuk sok keren mengkritisi firman-Nya.

Abunnada 
___
Bacaan: https://ar.islamway.net/article/24223/في-تعريف-العلم-وفضله-وحكم-طلبه
https://binbaz.org.sa/fatwas/14565//معنى-الاسلام
Ilmu dalam Perspektif, YOI, hal. 99-109

Tidak ada komentar: