الْحَمْدُ للهِ الكَرِيمِ المَنَّانِ، صَاحِبِ الفَضلِ وَالجُودِ وَالإِحْسَانِ، يَمُنُّ وَلا يُمَنُّ عَلَيْهِ، سُبْحَانَهُ لا مَلْجَأَ مِنْهُ إِلاَّ إِلَيْهِ، أَحْمَدُهُ بِمَا هُوَ لَهُ أَهلٌ مِنَ الْحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، حَثَّ عِبَادَهُ عَلَى الإِخْلاصِ فِي العَطَاءِ، وَنَهَاهُمْ عَنِ المَنِّ وَالرِّيَاءِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، قَدَّرَ نِعَمَ اللهِ حَقَّ قَدْرِهَا، وَأَجْهَدَ نَفْسَهُ بِالقِيَامِ بِشُكْرِهَا، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَرَضِيَ اللهُ عَنِ التَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا المُؤْمِنُونَ
أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ تَعاَلَى ، وَصِيَّةُ اللهِ لَكُمْ وَلِلأَوَّلِيْنَ. قَالَ تَعَالَى: ( وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللَّهَ وَإِن تَكْفُرُواْ فَإِنَّ للَّهِ مَا فِى السَّمَاواتِ وَمَا فِى الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيّاً حَمِيداً) (النساء:131)
Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah,
Tiada kata henti untuk bersyukur, karena banyaknya nikmat Allah tak terukur. Adalah keliru jika seseorang itu memandang nikmat sebatas pada makanan, minuman, tempat tinggal maupun kemewahan. Betapa seseorang akan sulit merasakan kebahagiaan jika tak mengenali nikmat selain pada kelezatan ragawi dan kenikmatan materi. Imam Hasan al-Bashri berkata, ”Barangsiapa yang tidak mengenali nikmat Allah selain pada makanan, minuman dan pakaian, maka sungguh dangkal ilmunya, dan amat berat penderitaannya.” Tentu saja ia menderita, karena ketika seseorang tidak mengenali nikmat, ia pun tidak mampu merasakan kelezatannya.
Maka jaminan kebahagiaan bukan dari sisi kekayaannya, begitu juga derajat kemuliaan seorang hamba di sisi Allah. Hanya saja, budaya materialistis telah mendorong manusia memandang kemuliaan melulu berdasarkan harta dan kelebihan secara fisik.
Jamaah jumat rahimakumullah
Sapaan pertama yang paling jamak diungkapkan untuk teman lama yang tak lama ketemu adalah “wah…sekarang sudah makmur”, “sekarang sudah jadi orang”, “sekarang sudah bahagia”, atau “sekarang hidupmu sudah mulia.” Itu jika yang didapatkan adalah teman berbadan gemuk, kaya raya, atau kelihatan berpakaian parlente. Memang begitulah rata-rata orang mengukur kemuliaan dan kehormatan, yakni dari sudut harta, tampilan maupun jabatan. Tapi, ayat yang kita bahas ini meluruskan asumsi itu salah tersebut.
Harta tak selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi pemiliknya. Pikiran tegang saat memburunya, memeras keringat ketika mendapatkannya, dan kekhawatiran akan lenyapnya harta yang berada dalam genggamannya adalah indikiasi yang bertentangan dengan kebahagiaan. Bahkan, ujung dari siksa itu adalah penyesalan mendalam saat perpisahan antara dirinya dengan hartanya benar-benar terjadi. Mungkin karena hartanya harus berpindah tangan, lenyap oleh bencana, atau lantaran ajal yang memisahkan ia dengan hartanya. Pintu yang terakhir ini hanya tinggal menunggu waktu, tak satupun manusia yang mampu mengelak darinya.
Kalaupun mereka mampu merasakan manisnya hasil jerih payah yang diupayakannya, toh tak akan bertahan lama. Karena muara harta dari tangan pemburu dunia dan lalai dari agamanya tak akan jauh dari kesenangan yang berbau maksiat. Dan pasti, kesenangan itu akan berbuntut penderitaan di dunia, kesengsaraan di akhirat, kecuali yang bertaubat.
Pergi ke klub malam, menenggak miras, menghisap narkoba, mencari wanita, membanjiri hiburan pemuas syahwat dan aktivitas lain yang berkenaan dengan kenikmatan perut dan bawah perut. Sudah bisa ditebak ‘ending’ dari semua itu. Perselingkuhan, cekcok suami istri yang berujung kepada perceraian dan anak yang terganggu psikisnya. Atau kecanduan narkoba yang dampak paling ringannya masuk bui. Kalaupun tidak, penderitaan karena kecanduan itu sudah merupakan siksa luar biasa.
Belum lagi jika ia tidak bisa menebus barang haram yang meracuninya. Hadirnya penyakit berbahaya akibat maksiat-maksiat itu juga telah mengintainya.
Semua alasan di atas menjadikan kita tidak kesulitan dalam memahami maksud firman Allah,
Tiada kata henti untuk bersyukur, karena banyaknya nikmat Allah tak terukur. Adalah keliru jika seseorang itu memandang nikmat sebatas pada makanan, minuman, tempat tinggal maupun kemewahan. Betapa seseorang akan sulit merasakan kebahagiaan jika tak mengenali nikmat selain pada kelezatan ragawi dan kenikmatan materi. Imam Hasan al-Bashri berkata, ”Barangsiapa yang tidak mengenali nikmat Allah selain pada makanan, minuman dan pakaian, maka sungguh dangkal ilmunya, dan amat berat penderitaannya.” Tentu saja ia menderita, karena ketika seseorang tidak mengenali nikmat, ia pun tidak mampu merasakan kelezatannya.
Maka jaminan kebahagiaan bukan dari sisi kekayaannya, begitu juga derajat kemuliaan seorang hamba di sisi Allah. Hanya saja, budaya materialistis telah mendorong manusia memandang kemuliaan melulu berdasarkan harta dan kelebihan secara fisik.
Jamaah jumat rahimakumullah
Sapaan pertama yang paling jamak diungkapkan untuk teman lama yang tak lama ketemu adalah “wah…sekarang sudah makmur”, “sekarang sudah jadi orang”, “sekarang sudah bahagia”, atau “sekarang hidupmu sudah mulia.” Itu jika yang didapatkan adalah teman berbadan gemuk, kaya raya, atau kelihatan berpakaian parlente. Memang begitulah rata-rata orang mengukur kemuliaan dan kehormatan, yakni dari sudut harta, tampilan maupun jabatan. Tapi, ayat yang kita bahas ini meluruskan asumsi itu salah tersebut.
Harta tak selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi pemiliknya. Pikiran tegang saat memburunya, memeras keringat ketika mendapatkannya, dan kekhawatiran akan lenyapnya harta yang berada dalam genggamannya adalah indikiasi yang bertentangan dengan kebahagiaan. Bahkan, ujung dari siksa itu adalah penyesalan mendalam saat perpisahan antara dirinya dengan hartanya benar-benar terjadi. Mungkin karena hartanya harus berpindah tangan, lenyap oleh bencana, atau lantaran ajal yang memisahkan ia dengan hartanya. Pintu yang terakhir ini hanya tinggal menunggu waktu, tak satupun manusia yang mampu mengelak darinya.
Kalaupun mereka mampu merasakan manisnya hasil jerih payah yang diupayakannya, toh tak akan bertahan lama. Karena muara harta dari tangan pemburu dunia dan lalai dari agamanya tak akan jauh dari kesenangan yang berbau maksiat. Dan pasti, kesenangan itu akan berbuntut penderitaan di dunia, kesengsaraan di akhirat, kecuali yang bertaubat.
Pergi ke klub malam, menenggak miras, menghisap narkoba, mencari wanita, membanjiri hiburan pemuas syahwat dan aktivitas lain yang berkenaan dengan kenikmatan perut dan bawah perut. Sudah bisa ditebak ‘ending’ dari semua itu. Perselingkuhan, cekcok suami istri yang berujung kepada perceraian dan anak yang terganggu psikisnya. Atau kecanduan narkoba yang dampak paling ringannya masuk bui. Kalaupun tidak, penderitaan karena kecanduan itu sudah merupakan siksa luar biasa.
Belum lagi jika ia tidak bisa menebus barang haram yang meracuninya. Hadirnya penyakit berbahaya akibat maksiat-maksiat itu juga telah mengintainya.
Semua alasan di atas menjadikan kita tidak kesulitan dalam memahami maksud firman Allah,
فَلاَ تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلاَ أَوْلاَدُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّـهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia…” (QS. at-Taubah: 55)
Jamaah jumat rahimakumullah
Harta yang Allah tumpahkan atas mereka itu aalah untuk menyiksa mereka, bukan untuk memuliakan mereka.
Jamaah jumat rahimakumullah
Harta yang Allah tumpahkan atas mereka itu aalah untuk menyiksa mereka, bukan untuk memuliakan mereka.
Tidak selalunya pula orang kaya itu terhormat dalam pandangan orang di sekitarnya. Karakter pemburu nafsu adalah bakhil, tidak akan mengeluarkan sesuatu dari hartanya, kecuali jika dengannya mereka mendapatkan kepuasan syahwatnya. Padahal, jika diukur dengan parameter syahwat, tak ada yang nikmat dalam menunaikan zakat dan sedekah. Kenikmatan adalah jika ia bisa memuaskan diri sendiri.
Sikap bakhil ini menjadi bibit munculnya rasa benci orang-orang miskin sekitar kepadanya. Imej orang terhadap merekapun buruk. Doa keburukan akan teralamatkan untuknya, dan tidak menutup kemungkinan, perlakuan jahat akan ia dapatkan dari orang-orang yang nekat ingin mendapatkan sebagian kekayaannya.
Semua kehinaan dan penderitaan yang demikian pahit itu masih belum seberapa dibandingkan kehinaan dan kesengsaraan yang kelak mereka rasakan di akhirat.
إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. al-Mukmin 60)
Jamaah jumat rahimakumullah
Kaya atau miskin bukan ukuran mulia atau hina. Kekayaan bisa berarti siksa, sedangkan kemiskinan boleh jadi menjadi karunia. Keduanya tak lebih sebagai ujian, mana yang mulia, mana yang hina tergantung bagaimana masing-masing menyikapi ujian yang mereka hadapi.
Nabi bersabda,
Jamaah jumat rahimakumullah
Kaya atau miskin bukan ukuran mulia atau hina. Kekayaan bisa berarti siksa, sedangkan kemiskinan boleh jadi menjadi karunia. Keduanya tak lebih sebagai ujian, mana yang mulia, mana yang hina tergantung bagaimana masing-masing menyikapi ujian yang mereka hadapi.
Nabi bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالِ
“Sesungguhnya setiap umat itu menghadapi cobaan, cobaan umatku adalah berupa harta.” (HR Tirmidzi)
Ibnul Qayyim dalam Tafsir al-Qayyim-nya menjelaskan Surat al-Fajr ayat ke 15-17 di atas berkata, «Allah mengabarkan bahwa Dia menguji hambanya dengan memberikan kenikmatan dan melimpahkan rezki atasnya. Allah juga menguji manusia dengan sempitnya rezki. Keduanya adalah ujian dan cobaan. Kemudian Allah menyanggah atas anggapan orang bahwa terbukanya pintu rezki dan melimpahnya harta adalah bukti Allah memuliakan dirinya, dan bahwa sempitnya rezki adalah pertanda Allah menghinakannya.
Allah menyanggah anggapan itu “Sekali-kali tidak demikian!”, yakni, anggapan orang-orang itu tidaklah benar, terkadang Aku menyiksa dengan nikmat-Ku dan memberikan nikmat dengan cobaan-Ku.
Jamaah jumat rahimakumullah
Nilai kemuliaan orang kaya adalah dengan syukurnya. Ia mengakui bahwa semua nikmat itu dari Allah. Ia juga memuji Allah dengan lisannya. Dan yang tak kalah penting, ia menggunakan nikmat Allah sesuai dengan kehendak Sang Maha Pemberi Karunia. Dengannya, dia mampu meraih derajat tinggi di sisi Allah sebagai hamba yang beryukur.
Namun jika ia kufur, maka kekayaannya menjadi sebab kehinaan dirinya, sekaligus ‘modal’ untuk menuai penderitaan dan kesengsaraan.
Sedangkan kemuliaan orang miskin adalah dengan bersabar, tetap berbaik sangka kepada Allah. Kemiskinan tidak membuatnya marah kepada Allah, berputus asa dari rahmat-Nya, ataupun terjun ke dalam dosa untuk mengentaskan diri dari kemiskinan.
Roda terus berputar, namun di manapun posisi kita, semoga kita tetap bisa meraih kemuliaan. Syukur di saat kaya, sabar di saat miskin.
Ibnul Qayyim dalam Tafsir al-Qayyim-nya menjelaskan Surat al-Fajr ayat ke 15-17 di atas berkata, «Allah mengabarkan bahwa Dia menguji hambanya dengan memberikan kenikmatan dan melimpahkan rezki atasnya. Allah juga menguji manusia dengan sempitnya rezki. Keduanya adalah ujian dan cobaan. Kemudian Allah menyanggah atas anggapan orang bahwa terbukanya pintu rezki dan melimpahnya harta adalah bukti Allah memuliakan dirinya, dan bahwa sempitnya rezki adalah pertanda Allah menghinakannya.
Allah menyanggah anggapan itu “Sekali-kali tidak demikian!”, yakni, anggapan orang-orang itu tidaklah benar, terkadang Aku menyiksa dengan nikmat-Ku dan memberikan nikmat dengan cobaan-Ku.
Jamaah jumat rahimakumullah
Nilai kemuliaan orang kaya adalah dengan syukurnya. Ia mengakui bahwa semua nikmat itu dari Allah. Ia juga memuji Allah dengan lisannya. Dan yang tak kalah penting, ia menggunakan nikmat Allah sesuai dengan kehendak Sang Maha Pemberi Karunia. Dengannya, dia mampu meraih derajat tinggi di sisi Allah sebagai hamba yang beryukur.
Namun jika ia kufur, maka kekayaannya menjadi sebab kehinaan dirinya, sekaligus ‘modal’ untuk menuai penderitaan dan kesengsaraan.
Sedangkan kemuliaan orang miskin adalah dengan bersabar, tetap berbaik sangka kepada Allah. Kemiskinan tidak membuatnya marah kepada Allah, berputus asa dari rahmat-Nya, ataupun terjun ke dalam dosa untuk mengentaskan diri dari kemiskinan.
Roda terus berputar, namun di manapun posisi kita, semoga kita tetap bisa meraih kemuliaan. Syukur di saat kaya, sabar di saat miskin.
أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، تَفَضَّلَ وَأَكْرَمَ، وَأَعْطَى وَأَنْعَمَ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، عَطَاؤُهُ مَمْدُودٌ، وَنِعَمُهُ عَلَى عِبَادِهِ بِلا حُدُودٍ، وَكُلُّ شَيْءٍ مِنْهُ وَإِلَيْهِ، لا مِنَّةَ لأَحَدٍ مِنْ خَلْقِهِ عَلَيْهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ البَشِيرُ النَّذِيرُ، أَعْطَاهُ رَبُّهُ مِنَ الخَيْرِ الكَثِيرَ، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَأصَحْابِهِ أَجْمَعِينَ، وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.
هَذَا وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى إِمَامِ الْمُرْسَلِيْن، فَقَدْ أَمَرَكُمُ اللهُ تَعَالَى بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَيْهِ فِي مُحْكَمِ كِتَابِهِ حَيْثُ قَالَ عَزَّ قَائِلاً عَلِيْمًا
(( إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا))
اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
عِبَادَ اللهِ :(( إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ )).وَ أَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ لَذِكْرَ اللهِ أَكْبَرُ وَ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.
هَذَا وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى إِمَامِ الْمُرْسَلِيْن، فَقَدْ أَمَرَكُمُ اللهُ تَعَالَى بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَيْهِ فِي مُحْكَمِ كِتَابِهِ حَيْثُ قَالَ عَزَّ قَائِلاً عَلِيْمًا
(( إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا))
اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
عِبَادَ اللهِ :(( إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ )).وَ أَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ لَذِكْرَ اللهِ أَكْبَرُ وَ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.
Oleh : Majalah ar-risalah
Tidak ada komentar: