Materi Khuthbah Penjelasan Arba’in Nawawi (Hadits Pertama)

KHUTHBAH PERTAMA

[1]- Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- telah memberikan tugas kepada Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa salllam- untuk menjelaskan Al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau.

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

{...وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِـتُـبَـيِّـنَ لِلنَّاسِ مَا نُـزِّلَ إِلَـيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ}
“…Dan Kami turunkan Adz-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)

Maka Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa salllam- menjelaskan Al-Qur’an dengan perkataan, perbuatan, dan persetujuan beliau.

Terkadang dengan:

(1)- menguatkan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an; seperti:

- di dalam Al-Qur’an terdapat perintah untuk Shalat, maka beliau pun memerintahkan untuk Shalat,

- di dalam Al-Qur’an terdapat perintah untuk Zakat, maka beliau pun memerintahkan untuk zakat, dan seterusnya.

(2)- Atau beliau menjelaskan hukum yang masih global dalam Al-Qur’an, seperti:

- di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan bagaimana tata cara Shalat, maka beliau pun menjelaskannya dengan perkataan, perbuatan, dan persetujuan beliau,

- di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan tentang rincian Zakat dan Manasik Haji, maka beliau pun menjelaskannya.

(3)- Dan juga beliau membawakan hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an, seperti:

- beliau melarang menikahi seorang wanita beserta (mempoligaminya dengan) bibinya, di dalam Al-Qur’an hanya terdapat larangan menikahi seorang wanita berserta (mempoligaminya dengan) saudarinya.

Ketiga bentuk di atas beliau ini harus diambil dan tidak boleh ditolak.

[2]- Maka semua hadits shahih yang berasal dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa salllam-adalah harus kita terima dan kita amalkan, karena beliau memang diperintahkan untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dan orang yang taat kepada beliau; maka dia telah taat kepada Allah. Allah -Ta’aalaa- berfirman:

{مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ...}
“Barangsiapa yang menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah…” (QS. An-Nisaa’: 80)

Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- telah memerintahkan kepada kita untuk mengambil semua yang dibawa oleh beliau, dan menjauhi segala yang dilarang oleh beliau -‘alaihish shalaatu was salaam-. Allah -Ta’aalaa- berfirman:

{...وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْـدُ الْعِقَابِ}
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7)

[3]- Dari sini kita mengetahui bahwa: sangat penting bagi kita untuk mempelajari hadits-hadits Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa salllam- karena besarnya kedudukan hadits-hadits beliau dalam syari’at Islam.

Dan para ulama menasehatkan bagi siapa saja yang ingin mulai mempelajari hadits-hadits Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa salllam-: untuk memulai dengan mempelajari: HADITS ARBA’IN NAWAWI, yaitu 42 (empat puluh dua) hadits yang dikumpulkan oleh Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi rahimahullaah (wafat th. 676 H), yang SETIAP HADITSNYA MENGANDUNG SEBUAH KAIDAH DARI KAIDAH-KAIDAH AGAMA; sebagaimana setiap haditsnya juga mencakup faedah-faedah yang besar dan melimpah.

Sehingga, seorang yang diberikan taufik untuk menghafal dan memahaminya; maka ia telah mendapatkan bagian yang besar dari warisan kenabian, dan ia menjadi seorang yang menguasai kadar yang lumayan dari perkara-perkara agamanya.

Oleh karena itulah, kaum muslimin sejak dulu sampai sekarang: mempunyai perhatian terhadap Arba’in ini; dari segi penghafalan untuk generasi muda di sekolah-sekolah, sebagaimana para ulama juga mempunyai perhatian dalam pengajaran dan penjelasannya untuk orang-orang awam maupun orang-orang khusus.

[4]- Maka di sini khathib akan menjelaskan hadits pertama yang dibawakan oleh Imam Nawawi dalam Kitab Arba’in-nya:

عَنْ أَمِـيْـرِ الْمُـؤْمِـنِـيْـنَ أَبِـيْ حَـفْـصٍ عُـمَـرَ بْـنِ الْـخَـطَّـابِ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-، قَالَ: سَـمِـعْـتُ رَسُـوْلَ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَـقُـوْلُ: ((إِنَّـمَا الْأَعْـمَـالُ بِـالـنِّــيَّـاتِ، وَإِنَّـمَا لِـكُـلِّ امْــرِئٍ مَـا نَــوَى، فَمَنْ كَانَـتْ هِجْرَتُـهُ إِلَـى اللهِ وَرَسُـوْلِـهِ؛ فَهِجْرَتُـهُ إِلَـى اللهِ وَرَسُـوْلِـهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِـدُنْيَا يُـصِــيْـبُهَا أَوِ امْــرَأَةٍ يَنْكِحُهَا؛ فَهِجْرَتُهُ إِلَـى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ)) رَوَاهُ الْـبُخَـارِيُّ وَمُسْـلِمُ
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khaththab -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa salllam-bersabda: “Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh (dari Allah) sesuai dengan apa yang diniatkannya. Maka, barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya; maka (pahala) hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya diniatkan untuk kepentingan harta dunia yang hendak dicapainya atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya; maka hijrahnya menurut apa yang ia hijrah kepadanya.” HR. Al-Bukhari dan Muslim.

[5]- Hadits ini menjelaskan tentang pentingnya niat dalam berbagai amalan.

Dan para ulama ketika membahas tentang niat; maka terbagi menjadi 2 (dua) pembahasan:

Pembahasan Pertama: Niat yang dibahas oleh para ulama Ahli Fiqih. Yaitu: Niat untuk membedakan antara satu ibadah dengan yang lainnya; seperti: niat untuk membedakan antara Shalat Zhuhur dengan Shalat Ashar, atau niat untuk membedakan antara puasa Ramadhan dengan puasa yang lainnya, dan contoh-contoh lainnya. Atau niat untuk membedakan antara amalan ibadah dengan yang bukanibadah; seperti: niat untuk membedakan antara mandi janabah dengan mandi biasa, dan lain-lain.
Materi Khuthbah Penjelasan Arba’in Nawawi

Pembahasan Kedua: Niat untuk siapa seorang hamba melaksanakan ibadahnya. Yakni: dalam artian: ikhlas atau tidaknya seorang hamba dalam menjalankan suatu amalan ibadah, apakah karena Allah saja atau untuk selain Allah. Inilah yang sering disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

[6]- Maka sabda Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa salllam-:

((إِنَّـمَا الْأَعْـمَـالُ بِـالـنِّــيَّـاتِ))
“Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada niatnya”

Maknanya: Tidak ada seorang pun yang melakukan suatu amalan; melainkan ia memiliki niat. Akan tetapi niat orang itu berbeda-beda; sehingga Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa salllam-sabdakan selanjutnya:

وَإِنَّـمَا لِـكُـلِّ امْــرِئٍ مَـا نَــوَى
“dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh (dari Allah) sesuai dengan apa yang diniatkannya”

Yakni: Kalau ia niatkan dengan amalannya tersebut karena Allah dan untuk mendapatkan balasan di akhirat; maka ia akan mendapatkannya. Sedangkan kalau ia niatkan untuk urusan kedunian -baik harta, kedudukan, maupun wanita-; maka ia terkadang mendapatkannya dan terkadang tidak. Karena Allah -Ta’aalaa- berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا * وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا}
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi); maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) Neraka Jahannam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman; maka mereka itulah yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS. Al-Israa’: 18-19)

Maka pada ayat ini disebutkan bahwa: tidak semua orang yang mencari dunia mendapatkannya, yang mendapatkannya hanyalah orang-orang yang dikehendaki Allah saja. Kemudian orang-orang yang mendapatkannya pun tidak mendapatkan sesuai dengan keinginan mereka, akan tetapi mereka hanya mendapatkan apa yang Allah kehendaki saja. Dan barangsiapa yang akhirat menjadi niatnya dan beramal untuk akhirat menjadi puncak tujuannya; maka akhirat menjadi miliknya; yakni: ia akan mendapatkan balasannya dari Allah.

[7]- Masalah niat berlaku pada semua amalan hamba, yakni: barangsiapa yang ikhlas dalam amalannya; maka akan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah, dan yang tidak ikhlas atau yang berbuat syirik; maka ia akan mendapatkan balasan jelek.

Kemudian Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa salllam- menyebutkan sebuah contoh amalan yang sama bentuknya akan tetapi beda niatnya:

((فَمَنْ كَانَـتْ هِجْرَتُـهُ إِلَـى اللهِ وَرَسُـوْلِـهِ؛ فَهِجْرَتُـهُ إِلَـى اللهِ وَرَسُـوْلِـهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِـدُنْيَا يُـصِــيْـبُهَا أَوِ امْــرَأَةٍ يَنْكِحُهَا؛ فَهِجْرَتُهُ إِلَـى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ))
“Maka, barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya; maka (pahala) hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya diniatkan untuk kepentingan harta dunia yang hendak dicapainya atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya; maka hijrahnya menurut apa yang ia hijrah kepadanya”

Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa salllam- menyebutkan bahwa hijrah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan maksud dan niatnya:

- Maka orang yang berhijrah ke negeri Islam karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, ingin mempelajari agama Islam, dan menampakkan keislamannya -karena ia tidak mampu melakukannya di negeri syirik (kafir)-; maka orang inilah yang benar-benar berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.

- Adapun orang yang hijrah ke negeri Islam karena harta dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya; maka hijrahnya menurut niatnya.

Maka yang pertama adalah “muhaajir” (orang yang berhijrah) yang sebenarnya, adapun yang kedua: adalah “taajir” (pedagang) dan “khaathib” (peminang). Yang kedua ini bukanlah muhaajir(orang yang berhijrah) yang sebenarnya.

[8]- Hijrah ada 2 (dua):

(1)- Hijrah badan, yakni:

اَلْاِنْـتِـقَالُ مِنْ بَلَدِ الشِّرْكِ إِلَى بَلَدِ الْإِسْلَامِ
Berpindah dari negeri syirik ke negeri Islam.

(2)- Hijrah hati menuju kepada Allah dan Rasul-Nya.

- Hijrah menuju kepada Allah mengandung konsekuensi: meninggalkan apa-apa yang Allah benci, dan melaksanakan apa-apa yang Allah cintai dan ridhai.

- Dan hijrah menuju kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa salllam- adalah dengan berhukum dengan apa yang beliau bawa dalam setiap permasalahan agama.

Sehingga hijrah menuju kepada Allah merupakan tuntutan syahadat “Laa Ilaaha Illallaah” (tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah) dan hijrah menuju kepada Rasulullah merupakan tuntutan syahadat Muhammad Rasulullah (utusan Allah).

KHUTHBAH KEDUA

[9]- Setelah kita mengetahui pentingnya -bahkan wajibnya- mengikhlaskan niat dalam berbagai amalan ibadah; maka yang juga harus kita perhatikan adalah bahwa manusia sering terkecoh dengan niat baik mereka dan melupakan amalan lahiriyahnya: apakah sudah baik juga ataukah belum baik?

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa salllam- telah memberikan dua kaidah -dalam dua haditsnya- yang menjadi timbangan untuk amalan lahir dan batin.

Maka, sabda Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa salllam-:

((إِنَّـمَا الْأَعْـمَـالُ بِـالـنِّــيَّـاتِ، وَإِنَّـمَا لِـكُـلِّ امْــرِئٍ مَـا نَــوَى))
“Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh (dari Allah) sesuai dengan apa yang diniatkannya.

Adalah sebagai timbangan amalan batin.

Sedangkan sabda beliau -shallallaahu ‘alaihi wa salllam-:

((مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَـيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُـوَ رَدٌّ))
“Barangsiapa melakukan suatu amal (ibadah) yang tidak ada contohnya dari urusan (agama) kami; maka ia tertolak.” [HR. Muslim]

Sebagai timbangan amalan lahiriyah.

Jadi, kebaikan harus dilakukan dengan cara yang benar.

Maka, (1)niat yang ikhlas -yakni: beribadah hanya karena Allah saja-; harus disertai dengan (2)ittibaa’; yakni: mengikuti tata cara yang diajarkan oleh Nabi Muhammad -shallallaahu ‘alaihi wa salllam-.

Inilah dua syarat agar amalan itu bisa diterima oleh Allah -Subhaanaahu Wa Ta’aalaa-. Kalau seseorang hanya mengandalkan keikhlasan dan niat yang baik, akan tetapi tanpa dibarengi dengan usaha agar tepat dengan syari’at; maka amalannya akan tertolak dan dia tidak akan mendapatkan apa yang dia inginkan berupa kebaikan.

Hal ini telah diingatkan oleh Shahabat yang mulia: ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallaahu ‘anhu- dengan perkataannya:

وَكَـمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَـيْـرِ لَنْ يُصِــيْبَـهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan; akan tetapi tidak mendapatkannya.” Diriwayatkan oleh Ad-Darimi.

[10]- Maka kita senantiasa berusaha agar segala amalan kita ikhlas karena Allah saja, dan sesuai dengan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa salllam-.

Dan selain mengusahakannya; maka kita juga senantiasa berdo’a agar diberi keikhlasan dan dijauhkan dari kesyirikan, serta minta petunjuk dan kelurusan dalam amalan.

اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مُـحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُـحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَـمِيْدٌ مَـجِيْدٌ، اللّٰهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُـحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُـحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَـمِيْدٌ مَـجِيْدٌ

اللّٰهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَــيْــئًا نَعْلَمُهُ، وَنَسْتَغْفِرُكَ لِـمَ لَا نَعْلَمُهُ

اللّٰهُمَّ إِنَّـا نَسْـأَلُكَ الْـهُدَى وَالـسَـدَادَ

اللّٰهُمَّ إِنَّـا نَسْـأَلُكَ الْـهُدَى وَالـتُّقَى، وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

اللّٰهُمَّ إِنَّـا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُـجِيْبُ الدَّعْوَاتِ

رَبَّــنَــا آتِــنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِــنَا عَذَابَ الــنَّــارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُـحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ، وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. وَآخِرُ دَعْوَانَا: أَنِ الْـحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Maraaji’:

1. Jaami’ al-‘Uluum Wal Hikam, karya Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali -rahimahullah-.
2. Qawaa-‘id wa Fawaa-id min al-Arba’iin an-Nawawiyyah, karya Syaikh Nazhim Sulthan -hafizhahullaah-.
3. Syarh Riyaadhish Shaalihiin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-.
4. Ar-Risaalah at-Tabuukiyyah, karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-.
5. ‘Ilmu Ushuul al-Bida’, karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah-.
5. Syarah Arba’in An-Nawawi, karya Ustadz Yazin bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-.
6. Syarah Ushulus Sunnah, karya Ahmad Hendrix.

Disampaikan oleh: Ahmad Hendrix, 8 Syawwal 1439 H / 22 juni 2018 M, di Masjid Al-Ihsan Ponpes Riyadhush Shalihin Pemalang - Jawa Tengah

source fanpage Ponpes Riyadhush Shalihin Pemalang

Tidak ada komentar: